Kamis, 08 Juli 2010

Ekses Otda, Sukuisme Mengemuka Nasionalisme Merana (O’RiKe -2)*

Ekses Otda, Sukuisme Mengemuka Nasionalisme Merana (O’RiKe -2)*

Oleh: Pepih Nugraha

Harian Kompas, Jakarta
7 Februari 2009
http://umum.kompasiana.com/2009/02/07/ekses-otda-sukuisme-mengemuka-nasionalisme-merana-orike-2/

BUKAN bermaksud mengagung-agungkan sistem pemerintahan orde baru yang sentralistis. Tidak juga ingin mengatakan bahwa sentralistis lebih baik. Tetapi saya sekedar mamaparkan berbagai persoalan dari ekses buruk penerapan otonomi daerah (otda).

Ekses baiknya tentu saja ada dan bahkan banyak, tetapi ekses buruk ini harus menjadi perhatian kita bersama sebagai warga karena bersinggungan langsung dengan persoalan nasionalisme dan kebangsaan, meski dalam skala kecil dan mungkin tidak penting.

Sewaktu bertugas di Makassar, sekitar tahun 2003, ada persoalan serius di salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Bulukumba. Persoalan yang sebelumnya tidak pernah mengemuka, yakni persoalan proses penerimaan pegawai negeri sipil (PNS) yang dianggap tidak transparan. Tahu sendirilah, menjadi PNS pada sebagian besar masyarakat Indonesia adalah cita-cita dan bahkan harapan.

Ada banyak faktor mengapa menjadi PNS menjadi demikian diminati meskipun gajinya relatif kecil. Faktor mendapat pensiun, adanya jaminan hari tua, jam kerja yang lentur dan bisa diatur, serta bisa nyambi kerja lain, hanyala beberapa pertimbangan mengapa seseorang ingin menjadi PNS.

Di Bulukumba, waktu tempuh empat jam dari Makassar, sekan-akan menjadi cermin pertama ekses buruk dari penerapan otonomi daerah. Waktu itu DPRD dan bupati mendapat protes warga yang datang bergelombang silih berganti. Alasannya serius: terjadi kolusi, korupsi dan nepotisme dalam proses penerimaan PNS.

Warga yang cermat mengamati, dari sekitar seratusan jatah PNS untuk kabupaten itu, tidak ada seorang pun warga biasa yang tersaring menjadi PNS. Mereka yang menjadi PNS adalah anak-anak dan kerabat bupati, anak dan kerabat para pejabat tinggi di kabupaten itu, dan ini…. anak dan kerabat anggota DPRD!

Sekali lagi, saya tidak mengagung-agungkan sistem pemerintahan Orba di bawah kendali Soeharto. Setidak-tidaknya pada zaman Soeharto, ketika penerimaan PNS masih tersentral dan tidak diserahkan ke masing-masing kabupaten dan kota, tidak pernah muncul protes dugaan KKN dalam penerimaan PNS ini. Dulu digunakan merit system, dimana hanya mereka yang bisa lolos seleksi saja yang bisa menjadi PNS, tidak peduli dari daerah atau kabupaten/kota mana dia berasal. Tidak perlu tahu sukunya apa, agamanya apa, kecenderungan partai politiknhya kemana. Tidak perlu. Semua dilakukan secara transparan dan penuh semangat berkompetesi.

Tidak bisa dipungkiri. Ada juga KKN dalam penerimaan PNS di masa orba. Ada istilah titip-titipan dan jalan belakang. Tapi itu dilakukan tidak merusak proporsi. Bagian terbesar tetap jatah untuk publik. Sekarang dengan fenomena yang muncul di Bulukumba, nyatalah bahwa yang cawe-cawe dan minta jatah PNS itu ternyata anggota Dewan!

Jelaslah, tidak mungkin jatah itu hanya diberikan pada satu anggota Dewan. Semua ya harus dapat jatah, bukan begitu? Jadi kalau kabupaten/kota terisi 45 anggota Dewan dan di provinsi 100 anggota (belum lagi di pusat yang 550), bisa kita bayangkan jatah PNS itu jatuh pada kerabat dekat anggota Dewan. Jika dulu yang melakukan KKN itu eksekutif, sekarang ditambah dengan legislatif. Anda mungkin bertanya, apakah para pejabat yudikatif di kehakiman dan kejaksaan tidak minta jatah pula? Saya tidak bisa menjawab. Yang jelas, kasus penerimaan PNS di Bulukumba beberapa tahun lalu itu menjadi contoh kasus yang amat terang benderang dari ekses buruk berpindahnya kekuasaan di tangan daerah.

Apa yang terjadi dalam penerimaan PNS di beberapa kabupaten sekarang? Lebih memilukan lagi, ternyata para pentolan parpol setempat juga cawe-cawe, minimal jadi broker PNS. Motifnya sederhana. Kepada seseorang yang jelas-jelas dinyatakan lolos penerimaan PNS, didekati dan diminta menyerahkan uang Rp 50 juta. Ini kejadian di kabupaten saya sendiri, Tasikmalaya, yang kebetulan menimpa kenalan saya.

Mengapa harus menyerahkan uang? Bukankah sudah ada pengumumannya di Koran sudah diterima? Jawabannya: “Tidak akan ada pengangkatan kalau Rp 50 juta belum turun!” Siapa yang meminta uang itu? Tidak lain dari calo parpol, broker politik di lingkungan kabupaten dan DPRD. Hemmmm… di sini bolehlah saya mengurut dada, menyesakkan!

Belum lama saya berbincang-bincang dengan seseorang yang bergerak di bidang charity dan bersedia membocorkan “kebijakan intern” yang diterapkan oleh satu kabupaten (tidak usah saya sebut nama kabupaten itu, tetapi mungkin terjadi di banyak kabupaten lainnya ) dalam penerimaan PNS. Kebijakan intern itu menekankan: semua PNS harus “putra daerah” kabupaten itu! Kabupaten tetangga atau kabupaten yang jauh, jangan harap bisa menjadi PNS di kabupaten itu. Parahnya, kebijakan intern itu merembet ke soal-soal lainnya, yakni para teknokrat di level kabupaten juga harus putra daerah. Masa Allah!

Bagi saya, dalam skala kecil PNS itu “simbol” negara yang seharusnya dikelola oleh pusat, jangan menjadi bancakan para pejabat dan legislator daerah. Eksesnya terlalu banyak dan sudah sampai taraf memuakkan. Iya kalau yang menjadi PNS itu putra daerah yang berkualitas. Kalau dipaksakan dan hanya terisi oleh orang-orang kurang cakap tetapi bernasib baik karena dekat dengan para pemangku kebijakan, apa yang bisa diharap dari SDM daerah macam itu?

Akhirnya saya mengambil kesimpulan tergesa-gesa, ada persoalan kebangsaan dan nasionalisme yang tergerus dari penerapan Otda ini, dimana warga negara dbenturkan dengan istilah “putra daerah” dan “pendatang”. Dimana pikir dan tindak kebangsaan kalau semua pejabat daerah mendikotomikan “putra daerah” dan “bukan putra daerah”? (Bersambung)

O’RiKe = Obrolan RIngan KEbangsaan



[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]

Tidak ada komentar: