Minggu, 28 November 2010

Sokola Alam Kajang


Anak-anak yang belajar di SOKOLA Pesisir Mariso boleh jadi sangat menikmati belajar di rumah panggung dan di alam terbuka. Jauh berbeda dengan anak-anak binaan di Pedalaman Kajang, Kabupaten Bulukumba, yang memanfaatkan pepohonan hingga rumah-rumah sawah sebagai tempat belajar baca, tulis, dan berhitung.


----------------------------------------------- 
Sokola Alam Kajang

Artikel ini dimuat oleh Hikmah Tahir pada blog http://hikmahtahir.multiply.com/journal/item/17/Sokola_Alam_Kajang. Hikmah Tahir yang akrab disapa Cima' adalah seorang wartawan di Makassar.




Anak-anak yang belajar di SOKOLA Pesisir Mariso boleh jadi sangat menikmati belajar di rumah panggung dan di alam terbuka. Jauh berbeda dengan anak-anak binaan di Pedalaman Kajang, Kabupaten Bulukumba, yang memanfaatkan pepohonan hingga rumah-rumah sawah sebagai tempat belajar baca, tulis, dan berhitung. 

Namanya SOKOLA Alam dan berada di Dusun Pangi, yang masuk wilayah Pedalaman Kajang atau Kajang Dalam. Melirik budaya dan adat istiadatnya, komunitas ini dikenal konservatif. Mereka adalah komunitas marjinal yang menjunjung tinggi norma adat istiadat. 

Masuknya tenaga sukarelawan yang mendidik kalangan anak-anak usia sekolah dasar dan remaja ini kenyataannya tidak mudah dan butuh proses yang cukup panjang. Letak SOKOLA berada di Dusun Pangi, Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang. Di Kajang Dalam, ada lagi beberapa dusun yang dikenal sangat mempertahankan adat hingga listrik  pun belum masuk.
 
Imran, salah satu pengajar sukarela menuturkan, sebelum akhirnya resmi berdiri pada 2007 silam, tim SOKOLA memantau lokasi. Selanjutnya kembali lagi mendata warga yang berminat belajar baca, tulis,dan berhitung. 

Satu upaya lagi sebelum benar-benar mengabdi di tempat ini adalah mempelajari bahasa Konjo yang merupakan bahasa setempat. Masing-masing proses ini membutuhkan waktu sebulan lamanya. Tenaga sukarelawan lainnya bernama Habibi mengungkapkan, komunitas ini lebih mudah didekati secara psikologis jika pandai berbahasa setempat. Bermodal penguasaan bahasa itu pula yang membuat Ammatoa (pemimpin suku Kajang) memberikan izin atas pendirian SOKOLA Alam.

”Hal terpenting dan wajib bagi setiap pengajar adalah mempelajari bahasa Konjo. Ini butuh waktu sebulan juga. Sebab, bahasa itulah modal komunikasi kami dengan warga dan anak-anak. Mereka juga bisa mengerti dan mudah menyerap apa yang kami  ajarkan,” tutur salah satu pengajar sukarela Imran yang diamini kawannya Habibi.

Kenyataannya, menguasai bahasa daerah membuat pendekatan, terutama ke anak-anak usia sekolah dasar lebih mudah. Metode mengajar santai dengan mengikuti ritme mereka dan bermodal literatur seadanya, membuat sebagian besar anak-anak Kajang ini akhirnya bisa baca, tulis, dan berhitung.

Apalagi, jika melihat anak-anak yang diajar sebagian besar adalah penggembala sapi dan kerbau. Praktis, butuh pendekatan komunikasi yang baik. Butuh pula kesabaran menanti mereka. Akhirnya, jam belajar mereka disesuaikan dengan kesempatan yang mereka punya.
 
Para pengajar yang biasanya dua orang pun harus mengikuti ke mana mereka menggembalakan sapi dan kerbaunya. Sebuah pengalaman seru tentunya untuk tenaga pengajar, seperti Imran dan Habibi. 

”Mengajar di Kajang benar-benar berbeda dibandingkan di sini (Mariso). Di sana, kami mengikuti mereka menggembala sapi. Jadi, tempatnya tidak tentu, kadang di bawah pohon kadang di rumah-rumahan sawah atau di rumah kebun. Kami tunggui sampai sapi mereka aman ditinggal seperti kalau sudah makan. Biasanya itu waktu siang hari. Kami juga maksimal mengajar selama dua jam karena mereka kembali menggembala sapi,” tutur Habibi.
 
Seusai belajar, anak-anak penggembala bersama pengajar biasanya bermain sejenak sebelum kembali menggembala.
 
Bermain dengan permainan anak setempat atau paling disenangi memanjat pohon kelapa. Paling tidak mendapat buah kelapa dan meminum airnya untuk menghilangkan dahaga. Kehangatan dan keakraban dalam gambaran suasana tersebut rasanya menghapus peluh perjuangan para sukarelawan dalam mencapai daerah ini. Sebab, untuk menjangkau Pangi dari Kajang Luar, dilakukan dengan berjalan kaki belasan kilometer. Tidak ada kendaraan yang memasuki daerah tersebut. 

Waktu tiga pekan setiap bulannya sebagai jadwal intens mengajar di SOKOLA Alam Kajang ini pun menjadi tidak cukup. Apalagi melihat perlengkapan belajar yang dibawa dari Makassar yang hanya beberapa alat tulis, white board kecil, beberapa buku gambar, dan buku tulis ataupun dengan menjinjing satu poster huruf abjad. Melalui keterbatasan ini misi pengajaran harus maksimal.


[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]

3 komentar:

Anonim mengatakan...

pengempangan pendidikan yang sangat bagus sekalih.... saya sangat salut

Fi'i mengatakan...

amazing,,,mengingat masa 2007 yg lalu,,blajar bsama dgn anak2 yg lugu n lucu, dgn lingkungan yg msh "perawan", adat istiadat yg msh kental n keramahtamahan warga tanah toa mmbuat kta merasa betah tuk tnggal dsana,,smga alam n kultur masyarakat kajang ttp tjaga

Anonim mengatakan...

secara alamiah, manusia memang selalu merindukan suasana yang alami, natural, yang jauh dari kebisingan dan polusi......