-----------------
Mengenal dan Mengunjungi Objek Wisata di Bulukumba
Oleh: Asnawin
(Pembuat dan Pengeloa Blog Kabupaten Bulukumba)
PELUNCURAN Perahu Phinisi terletak di Desa Tana Lemo, Kecamatan Bontobahari, Bulukumba. Pembuatan perahu yang tidak pernah sepi dari pemesanan ini, merupakan objek wisata tersendiri bagi siapa saja yang berkunjung ke Bulukumba, apalagi lokasinya dilewati (sekitar 30 km dari ibukota Kabupaten Bulukumba) saat berkunjung ke Tanjung Bira. (Foto: Internet)
Pembuatan perahu phinisi sudah dikenal sebagai salah satu objek wisata yang banyak disinggahi atau dikunjungi wisatawan, tetapi sesungguhnya ada kegiatan lain yang menarik dikunjungi di lokasi pembuatan perahu phinisi. Kegiatan tersebut adalah peluncuran perahu ke laut lepas.
Peluncuran perahu phinisi selalu diawali dengan prosesi ritual adat. Ritual adat biasanya dimulai dengan upacara appasili atau tolak bala.
Puncak acara ritual adalah ammossi, yakni penetapan dan pemberian pusat pada pertengahan lunas perahu yang selanjutnya akan dilakukan penarikan perahu ke laut.
Pemberian pusat ini berdasar pada kepercayaan bahwa perahu adalah “anak” punggawa / panrita lopi (pembuat perahu). Berdasar pada kepercayaan itu, maka upacara ammossi merupakan merupakan simbolisasi pemotongan tali pusar bayi yang baru lahir.
RITUAL ADAT. Acara peluncuran perahu phinisi berukuran jumbo di Pantai Panrang Luhu, Desa Bira, Kecamatan Bontobahari, Bulukumba, pada Selasa malam, 8 November 2011, seperti biasanya, diawali dengan prosesi ritual adat. (Foto: bulukumbatourism.com)
Sebelum prosesi ammossi dilakukan, seluruh kelengkapan upacara disiapkan di sekitar pertengahan lunas perahu yang merupakan tempat upacara.
Setelah prosesi ammossi selesai, dimulailah ritual penarikan perahu ke tengah laut. Prosesi ini dahulunya memanfaatkan tenaga manusia yang sangat banyak untuk menarik perahu ke laut, namun karena tonase perahu sangat berat, prosesi ini sudah menggunakan peralatan yang lebih “modern”, yaitu katrol.
Penarikan perahu phinisi menggunakan katrol dan rantai sebagai simbolisasi penarikan perahu. Perahu yang ditarik sudah dianggap masuk ke laut jika badan perahu telah menyentuh air laut.
------------
Pantai Bira
PANTAI BIRA. Setelah singgah sebentar di lokasi pembuatan perahu phinisi, Desa Tana Lemo, Kecamatan Bontobahari, wisatawan dapat melanjutkan perjalanan ke Pantai Bira atau Tanjung Bira yang pasirnya putih dan sejuk, meskipun matahari tengah panas terik. (Foto: Kompas.com/Fitri Prawitasari)
Selain itu, Pantai Bira juga memiliki pemandangan bawah laut yang indah, dengan berbagai model karang dan ratusan ribu jenis ikan di dalamnya. Dengan keindahan tersebut, banyak wisatawan yang mengakui bahwa pemandangan bawah laut Tanjung Bira adalah salah satu yang terindah di dunia.
Sebagai objek wisata yang cukup terkenal di senatero dunia, Bira sudah banyak digunakan sebagai nama bank, nama gedung pertemuan, nama salah satu ruangan pertemuan di hotel, dan lain-lain.
-----------------------
Makam Dato Tiro
MAKAM DATO TIRO. Setelah bermalam minggu dan menikmati suasana di Tanjung Bira, dan sebelum kembali ke Makassar, ada baiknya meluangkan waktu memutar ke Desa Eka Tiro, Kecamatan Bontotiro, dan singgah sejenak di Makam Dato Tiro (salah satu dari tiga pembawa agama Islam di Sulawesi Selatan). (Foto: Asnawin)
Dato Tiro (Datuk Tiro) sebenarnya hanyalah sebuah gelar yang diberikan oleh masyarakat setempat atas penghargaan dan rasa hormat. Nama aslinya adalah Abdul Djawad. Versi lain menyebut nama aslinya adalah Nurdin Ariyani.
Abdul Djawad atau Al Maulana Khatib Bungsu datang ke Sulawesi Selatan bersama dua orang sahabatnya dari Sumatera, yaitu: Khatib Makmur yang lebih dikenal dengan nama Dato ri Bandang, dan Khatib Sulaiman yang lebih dikenal dengan Dato Patimang.
Mereka bertiga adalah murid atau santri dari Pesantren Sunan Giri (salah seorang walisongo atau wali sembilan yang merupakan penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17, dan pendiri kerajaan Guru Kedaton, yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur).
Dalam menyebarkan agama Islam di Bulukumba, khatib Abdul Djawad atau Dato Tiro menekankan pelajaran tasawwuf sesuai dengan keinginan masyarakat yang lebih menyukai hal-hal yang bersifat kebatinan.
----------------
Pantai Samboang
PANTAI SAMBOANG. Tak jauh dari Makam Dato Tiro (Datuk Tiro), terdapat sebuah pantai berpasir putih bernama Pantai Samboang. Pasir pantainya juga berwarna putih dan air lautnya cukup bening. Pantai Samboang juga memiliki tanah lot, mirip di Pulau Bali. Di sepanjang pesisir Pantai Samboang, berjejer pohon kepala yang menjadi pemandangan tersendiri bagi para wisatawan. (Foto: Internet)
Pada pagi hari, wisatawan dapat menikmati keindahan sunrise (matahari terbit). Di Pantai Samboang, juga terdapat sejumlah situs makam tua yang oleh masyarakat setempat dinamai Makam Karaeng Sapo Batu.
Lokasi obyek wisata Pantai Samboang terdiri atas dua kawasan, yakni kawasan Samboang kiri dan Samboang Kanan.
Pantai Samboang kiri terdiri atas kawasan berbukit dengan suasana alamnya yang sejuk dan teduh. Pada ujung lekukan bibir pantainya yang landai terdapat sebuah tanjung yang diberi nama “Tanjung Tiro” lengkap bersama suguhan Pulau Batunya yang sepintas lalu sangat mirip dengan Tanah Lot.
Sementara pada arah Samboang kanan pengunjung dapat menyaksikan keindahan panorama alam desa Tritiro dan Kampung Kalumpang. pasir putih Samboang kanan diperkirakan berketebalan 2-3 meter.
Garis pantainya datar dengan ukuran panjang mencapai empat meter. Garis pantai samboang kanan sewaktu-waktu akan berubah, terutama saat air laut sedang surut. Dikala air laut, surut panjang pantai samboang kanan dapat mencapai tiga ratus meter.
Bibir pantainya ramai ditumbuhi pohon kelapa yang tak pernah berhenti melambai karena terpaan tiupan angin laut. Konfigurasi pemandangan pantai Samboang kanan turut diwarnai oleh keberadaan beberapa kawasan industri pembuatan kapal berukuran kecil.
-----------------
Kawasan Adat Kajang
SUKU KAJANG yang mendiami kawasan adat Kajang Ammatoa di Desa Kajang, Kecamatan Bontobahari, menjadi pilihan berikutnya setelah berkunjung ke Makam Dato Tiro. Suku Kajang dan kawasan adat Ammatowa memiliki ciri khas, antara lain semua orang selalu berpakaian hitam-hitam dan tidak memakai alas kaki.
Orang-orang Kajang juga diyakini banyak yang memiliki ilmu-ilmu kebatinan dan konon ilmu kebatinan tersebut diperoleh secara turun-temurun dari khatib Abdul Djawab atau Dato Tiro (Datuk Tiro) yang pertama kali membawa agama Islam ke Bulukumba dan sekitarnya.
Ammatoa selaku kepala suku atau pimpinan adat tertinggi dipilih melalui upacara yang penuh dengan hal-hal yang "berbau" kebatinan. Siapa pun yang terpilih menjadi Ammatoa, maka orang tersebut akan sangat dihormati, karena diyakini memiliki ilmu kebatinan tinggi, terutama mampu "melihat" segala sesuatu yang tidak bisa "dilihat" oleh orang biasa.
Ammatoa adalah jabatan seumur hidup. Ammatoa hanya boleh digantikan setelah beliau meninggal dunia dan upacara pemilihan Ammatoa baru hanya bisa dilakukan tiga tahun kemudian.
Yang unik, meskipun menjabat Kepala Suku atau Pimpinan Adat, Ammatoa justru menjadi orang termiskin di kawasan tersebut. Keunikan lain, salah satu syarat untuk dipilih menjadi Ammatoa, adalah orang tersebut tidak pernah meninggalkan atau menginjakkan kaki di luar kawasan adat Ammatoa.
Sumber:
-- http://www.rca-fm.com/2011/01/ribuan-warga-serbu-samboang.html
-- http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/2009/08/mengenal-kabupaten-bulukumba-4.html
-- http://lintasterkininews.com/indahnya-surga-bawah-laut-pantai-samboang.php
-- http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/2011/03/bulukumba-bisa-dibuatkan-paket.html
-- http://travel.kompas.com/read/2013/10/04/1717598/Pulang.Kantor.Yuk.Berenang.di.Tanjung.Bira.?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Ktrawp
-----------
[Terima kasih atas kunjungan dan komentar Anda di Blog Kabupaten Bulukumba]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar