Sabtu, 27 Februari 2010
Tanaberu, Desa Pemegang Tradisi Perahu di Selatan Bulukumba
keterangan gambar: Bantilang atau Galangan perahu tradisional dapat ditemukan dengan mudah di Tanaberu, Kabupaten Bulukumba. Tanaberu merupakan sentra industri perahu tradisi di Sulawesi. (Donny Rachmansyah)
Tanaberu, Desa Pemegang Tradisi Perahu di Selatan Bulukumba
Sumber: www.92pulau.com
(http://www.92pulau.com/tanaberu-desa-pemegang-tradisi-perahu-di-selatan-bulukumba/)
Posted on 19 November 2009
Teks Oleh Fajar Mahardika
Foto Oleh Donny Rachmansyah
Selasa (17/10), Deretan phinisi, perahu pajala, dan jolor berderet menghiasi pesisir pantai Tanaberu, Kecamatan Bira, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Beberapa pembuat perahu terlihat sedang mengerjakan perahu pesanannya.
Bantilang atau galangan tradisional dalam bahasa Bugis, dapat dengan mudah ditemukan di Tanaberu. Desa ini memang cukup dikenal sebagai desa pembuat perahu tradisional, selain dua desa lain yaitu Tanalemo dan Tanajaya.
Demahindri (50), siang itu ia sedang menancapkan paku di bagian buritan perahu pajala, pesanan seseorang di Madura.
“ Ini pesanan seorang bos perahu di Madura, saya sudah mengerjakan 4 perahu dari 5 “ Katanya. Empat buah perahu pajala sudah dikerjakan Demahindri, dari total seluruhnya 5 buah perahu.
Perahu Pajala adalah perahu nelayan khas Bugis yang biasanya digunakan untuk menangkap ikan. Panjangnya 8 meter dengan lebar 2 meter. Pajala mempunyai atap dan ruangan kecil didalamnya, fungsinya untuk menyimpan jaring dan perlengkapan lain untuk menangkap ikan. Harga jualnya berkisar antara 5 juta hingga 8 juta rupiah.
Tak banyak berbeda dengan pajala, jolor adalah jenis perahu nelayan yang digunakan untuk menangkap ikan. Hanya saja ukuranya lebih kecil. Jolor biasanya berukuran panjang 6 meter dan lebar 1.5 meter.
Pengerjaan perahu perahu kecil seperti pajala dan jolor biasanya dikerjakan oleh kelompok kecil. Biasanya, terdiri dari 2 hingga 4 orang. Proses pengerjaanya memakan waktu 1 sampai 2 bulan. Sebelum pengerjaan pun tak ada proses upacara, berbeda dengan proses pembuatan phinisi.
Masyarakat Bugis percaya ada beberapa hal yang dipercayai secara turun menurun dan dipertahankan hingga saat ini dalam pembuatan phinisi yang disebut Ruling. Ruling memuat tata cara tekhnik pembuatan phinisi, seperti pencarian dan penebangan pohon, pengeringan kayu dan pemotongan kayu, perakitan, pemasangan tiang kapal, dan peluncuran phinisi.
Pembuatan phinisi dipimpin oleh Punggawa (kepala tukang) dan dibantu oleh Sawi (tukang). Selain itu, mereka dibantu oleh calon sawi. Calon Sawi biasanya dilibatkan dalam pemasangan bagian bagian kecil dalam perahu. Sedangkan upacara pembuatan perahu phinisi dipimpin oleh Pandita Lopi, tokoh adat yang juga ahli membuat perahu.
Kayu yang digunakan sebagai bahan pembuat phinisi adalah kayu Bitti, Katonde, dan Welengreng. Ketiga jenis kayu ini terkenal kuat dan tahan air. Pencarian dan penebangan pohon pun dilakukan pada hari yang telah ditentukan. Tanggal 5 dan tanggal 7 setiap bulan dimana perahu mulai dibuat. Orang Tanaberu meyakini bahwa angka 5 (Naparilimai Dalle’na) berarti “rejeki sudah di tangan”, sedangkan angka 7 (Natujuanggi Dalle’na) berarti “selalu mendapat rejeki”.
Setelah pemotongan kayu, ada semacam ritual. Hal ini terlihat dalam peletakan balok lunas. Balok lunas diarahkan menghadap Timur Laut. Balok lunas yang diarahkan ke Timur Laut diartikan sebagai simbol laki laki. Balok lunas yang lain dipasang ke arah yang berlawanan, hal ini diartikan sebagai simbol perempuan. Dalam pemotongan kayu, pantang berhenti sebelum putus. Hal ini dilakukan agar kekuatan kayu tetap terjamin.
Kalebiseang adalah ritual yang dilakukan pada saat pemasangan papan pengapit lunas. Papan papan disusun berdasarkan ukuran dari yang terbesar hingga yang terkecil. Papan yang terkecil diletakkan di bagian bawah, sementara yang terbesar diletakkan di bagian atas. Keseluruhan papan berjumlah 126 lembar. Setelah itu dilanjutkan dengan Anjerreki, yaitu memperkuat lunas.Setelah itu bagian buritan dipasang dan bagian kemudi bawah mulai disusun.
Setelah papan merekat kuat, pekerjaan selanjutnya adalah “allepa” atau mendempul. Bahannya adalah campuran kapur dan minyak kelapa. Campuran tersebut diaduk oleh sedikitnya enam orang selama sekitar 12 jam. Banyaknya dempul yang diperlukan bergantung dari besar-kecilnya perahu yang dibuat. Untuk perahu yang bobotnya mencapai 100 ton, maka dempul yang diperlukan sekitar 20 kilogram. Selanjutnya, badan perahu yang telah dilapisi dengan dempul itu dihaluskan dengan kulit buah pepaya.
Penggunaan bahan-bahan sebagaimana disebut di atas (kulit pohon barruk dan kulit buah pepaya), ada kaitannya dengan mitos penciptaanphinisi yang menggunakan kekuatan magis.
Mengacu kepada mitos itu, orang-orang di Tanaberu merasa bahwa komunitas mereka sebagai mikrokosmos, yaitu bagian dari jagad raya (makrokosmos). Hubungan antara kedua kosmos ini diatur oleh tata tertib abadi, sakral, dan telah dilembagakan oleh nenek moyang mereka sebagai adat istiadat. Kedua kosmos ini dijaga harmoninya, sehingga ada kecenderungan mempertahankan yang lama dan menolak atau mencurigai yang baru. Inilah yang kemudian menjadi penyebab mengapa mereka tidak begitu terpengaruh dengan teknologi modern.
Pemasangan tiang dan layar dilakukan ketika badan dan kerangka perahu selesai dikerjakan. Dua layar besar phinisi disebut Sombala. Layar besar depan berukuran 200 meter persegi, sedagkan layar besar belakang berukuran 125 meter persegi. Setiap layar besar mempunyai layar kecil berbentuk segitiga yang disebut Tanpasere. Letaknya diatas tiang layar besar.
Layar segitiga juga terdapat di haluan kapal. Berjumlah tiga buah, layar ini bernama Cocoro Pantara, Cocoro Tangaa, dan Talengke.Fungsi ketiga layar segitiuga ini adalah untuk menambah kecepatan kapal.
Haji Jafar (73), mengatakan dalam setiap pembuatan kapal terdapat nilai nilai kerjasama, ketelitian, dan kerja keras. Kerjasama bisa dilihat dari hubungan kerja para pembuat kapal yang terdiri dari punggawa, sawi, dan calon sawi. Tanpa kerjasama, kapal tak akan terwujud.
Ketelitian terlihat pada cara pemotongan kayu. Mata gergaji harus tepat mengarah pada urat kayu. Disini estetika kapal akan terlihat dari bentuk dan motif. Sedangkan kerja keras tercermin melalui penebangan kayu. Kayu Bitti, Katonde, dan Welengreng yang berkualitas baik sangat jarang ditemukan. Jika kualitas kayu dinilai kurang baik, pembuat perahu Tanaberu memilih untuk tak menebang pohon. Tak heran pemesan perahu Tanaberu berasal dari berbagai belahan dunia seperti, Amerika, Kanada, Afrika, Malaysia, Singapura dan Belanda.
Saat ini, Haji Jafar (73) sedang mengerjakan perahu pesanan dari Belanda dan Singapura. Bobot kapalnya seberat 100 Ton dengan 12 kamar. Kapal tersebut rencananya digunakan sebagai kapal wisata.
Harga kapal phinisi buatan Tanaberu bervariasi. Berdasarkan berat, kapal berbobot 150 Ton dihargai sekitar 150 Juta. Sedangkan diatas 100 Ton dihargai hingga 4 Miliar.
“Tapi sekarang bahan bakunya sulit didapat.” Ujar Demahindri (50). Demahindri mengungkapkan, pasokan bahan kapal biasanya didapat dari Kecamatan Bontotinu, Kajang, dan Herlang. Ketiganya masih di Kabupaten Bulukumba. Namun dua tahun belakangan ini, bahan kayu mulai sulit.
Maraknya operasi illegal logging, serta berbagai aturan daerah ditengarai menjadi penyebabnya. Demahindri tak memungkiri, kayu yang berasal dari luar Sulawesi mungkin saja hasil illegal logging.
Tradisi pembuatan perahu di Bulukumba sudah ada sejak abad ke 19. Sebelumnya, pembuatan perahu terpusat di Tanalemo dan Tanajaya. Namun karena alasan pasokan bahan baku, para pembuat perahu di Bulukumba memindahkan produksinya ke Tanaberu.
Asal muasal perahu phinisi berawal dari perahu Padewakkang. Padewakkang merupakan perahu utama bangsa Bugis pada abad ke 18. Perahu ini merupakan perahu jarak jauh yang digunakan sebagai perahu perdagangan. Namun Padewakkang tak hanya digunakan sebagai perahu perdagangan. Jagad Maritim, buku yang ditulis oleh Darmawan Salman menyebutkan Padewakkang berlayar hingga ke Persia.
Baru pada pertengahan abad ke 19, perahu phinisi banyak ditemukan di lautan Nusantara. Dalam sebuah buku karya Nooteboom (1940) Haji Daeng Palle menyebutkan, perubahan perahu pandewakkang menjadi phinisi adalah kemudahan dalam pemakaiannya. Bila anginnya bertambah, orang di atas perahu yang menggunakan layar tanjaq harus menggulung layarnya yang begitu besar itu ke atas bom bawahnya, suatu pekerjaan yang berat dan berbahaya. Layar pinis dapat dikurangi bagian demi bagian.
Ini dimulai dengan mentutup layar topser dan layar anjungan. Jika anginnya bertambah lagi, maka agak gampang mengurangi layar besarnya dengan menariknya ke arah tiang, sehingga perahu dengan menggunakan layar yang ditutup setengah itu dan satu atau lebih layar anjungan masih bergerak secukupnya supaya daya kemudi tak hilang. Selain ini, terdapat pula perbedaan dalam kemampuan berlayar, yakni bahwa layar phinisi itu dapat berlayar lebih dekat ke arah angin. Dan yan paling penting adalah bahwa perahu dapat berbalik haluan dengan lebih gampang bila beropal-opal.
Dalam kesulitan bahan baku kini, para pembuat Tanaberu tetap berpegang teguh pada tradisi. Seperti kata Demahindri “Itu identitas kami sudah…”
Tanaberu adalah tempat singgah pertama tim ekspedisi dalam mendata 28 pulau terdepan Wilayah Timur Indonesia. Rencananya tim ekspedisi singgah sehari di Tanaberu sebelum memulai perjalanan ke Selayar dan Takabonerate.
[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
-
IKAN DUYUNG. Jumaning (60), membersihkan tubuh ikan duyung yang ditemuinya di tepi pantai saat mencuci bentang (tali rumput laut) di pesi...
-
Andi Sultan Daeng Radja bersama tujuh orang lainnya telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui Surat Keputusan Presiden RI (Sus...
-
BUNDARAN PHINISI. Kabupaten Bulukumba yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, terdiri atas 10 kecamatan dan 126 ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar