Sabtu, 27 Februari 2010

Anak Miskin Juga Bisa Kuliah (Cerita dari Bulukumba)


keterangan foto: Hendriyadi

Sumber tulisan : www.kompasiana.com

Anak Miskin Juga Bisa Kuliah (Cerita dari Bulukumba)

- Hendriyadi Sang Pelukis Langit


August 7, 2007 by hyperventilated

Namanya Hendriyadi, kelahiran 12 April 1989. Ia berasal dari Bulukumba, kota kecil berjarak 150 km dari Makassar. Dari tempat tinggalnya, butuh empat jam untuk mencapai ibukota provinsi Sulawesi Selatan ini.

Hendri anak pertama dari enam bersaudara. Kehidupan keluarganya terbilang prihatin. Bayangkan, delapan anggota keluarga mesti bertahan hidup dengan uang Rp 500 ribu per bulan. Ayahnya, Bahtiar, tak tamat SD. Ibunya, Supriati, hanya tamat SMP. (”Mungkin pendidikan yang rendah ini membuat keluarga kami terperangkap kemiskinan,” katanya menganalisis). Pasangan ini sama-sama lahir tahun 1969. Bahtiar kini bekerja di tempat penggergajian kayu. Sementara pekerjaan Supriati lebih tak menentu. Ia membantu tetangganya di sawah pada musim tanam atau panen. Dalam keadaan hamil tua ia tetap bekerja, sampai nyaris melahirkan adik bungsu Hendri di sawah. Adiknya ini kini berusia dua bulan.

“Hanya sekali seminggu keluarga kami makan ikan. Adik saya sering mengeluh, kenapa kok lauknya daun singkong melulu,” tuturnya padaku. Sebagai anak dari keluarga tak berada, untungnya Hendri tak minder.

Semasa SD, ia berjualan keripik dan kue untuk membantu keluarga. Pulang sekolah, saat teman seusianya bebas bermain, ia justru membantu tetangganya menjajakan es. Tiap mengumpulkan seribu rupiah, ia mendapat upah seratus perak. Saat tamat SMP, Hendri menghadapi pertentangan berat. Ibunya bilang, ia tak sanggup membiayai kelanjutan sekolah Hendri.

Diam-diam, Hendri nekad mengambil formulir pendaftaran di SMA, dan berhasil masuk SMA Negeri 1 Bulukumba. Juara umum beberapa kali disabetnya, ditambah mewakili sekolahnya di berbagai perlombaan tingkat kabupaten. Lulus SMA membenturkannya pada masalah baru, yakni tentang kelanjutan pendidikan. Ia memang pantas resah. Nilai rata-rata ujian sekolahnya yang mencapai angka 9,49 tentu lebih dari cukup untuk sekadar mendapat sebuah bangku di universitas. Hendri yang mengambil jurusan IPA ingin jadi peneliti, namun keuangan keluarga tak mampu menyokongnya.

Saat ia sedang berjalan di depan perpustakaan, kebetulan ia mendapati sebuah koran usang yang mencantumkan iklan beasiswa dari sebuah bank swasta. Hatinya pun melonjak oleh harapan. Satu hal yang merisaukannya adalah, ia mesti mengunduh formulir aplikasi di internet. Padahal, hingga saat itu Bulukumba tak punya sambungan internet. Ia pun meminjam uang untuk pergi ke warung internet di Makassar.

Formulir sudah terkirim, namun belum ada kepastian nasib. Hendri tetap harus ikut SPMB. Lagi-lagi ia mesti pinjam uang dari temannya yang tinggal di Jogja untuk ikut saringan masuk universitas negeri itu.

“Sampai sekarang, utangnya belum saya bayar lho,” cetusnya.

Kami bertemu dua kali di Jakarta, dua-duanya di sebuah hotel berbintang. Ia tak tampak minder atau mengharap belas kasihan. Hadirin yang berdiri di depannya terdiri dari Deputi Gubernur Bank Indonesia, Duta Besar Malaysia, Presiden Direktur Excelcomindo, Presiden Direktur KSEI, dan jajaran direksi dua buah bank swasta terkenal. Ia menyisipkan kata-kata berbahasa Inggris dalam testimoni singkatnya.

Hendri sekarang sudah diterima di jurusan Manajemen, Universitas Trisakti, dan bakal segera mulai kuliah pada akhir bulan ini. Sebenarnya ini pilihan keduanya sesudah jurusan Kimia.

“Karena latar belakang ilmu saya IPA, saya harus mengulang belajar dari awal,” paparnya.

Tapi, setelah bertandang ke kantor cabang suatu bank, ia mulai berubah pikiran dan ingin jadi ahli akuntan.

“Bidang keuangan sepertinya lebih santai, tapi banyak kontribusi yang diberikan pada masyarakat,” simpulnya.

Aku menyalaminya seusai acara. Sepertinya saat ini ia sudah bebas merajut mimpi tentang masa depan. Betapa tidak, beasiswanya mencakup kebutuhan yang cukup lengkap. Ada uang kos, uang kuliah, uang administrasi, uang makan, laptop dan biaya internet, biaya pengobatan jika sakit, dan uang makan tiga kali sehari. Nanti bila ia lulus, ia langsung diterima di perusahaan afiliasi bank tersebut.

“Saya ingin merubah kondisi keluarga,” tekadnya mantap.

Pembicaraan kami bersamaan simpang-siurnya wacana mengenai kewajiban corporate social responsibility (CSR) dalam beleid perseroan terbatas yang paling anyar. Memandang Hendri, dan 42 anak cerdas lain yang mendapat beasiswa yang serupa, serasa menemukan perhentian yang sejuk. Pada hal yang digelari sebagai CSR inilah mereka bergantung. CSR bukan semata-mata kegiatan bagi-bagi uang sebagai hasil kegiatan usaha, setidaknya buat mereka.

Bila semua perusahaan menerapkannya sebagai wujud dari tanggungjawab mereka, anak-anak seperti Hendri bakal sangat terbantu. Semoga mereka tak dianggap semata sebagai obyek untuk memenuhi kewajiban. Apalagi sebagai penghasil insentif pajak, konsekuensi sepadan dari ‘beban’ melakoni CSR. Saat itu, rasanya susah bagiku untuk menolak penerapan kewajiban CSR bagi tiap perusahaan. Bank swasta itu, yang notabene merupakan penyedia jasa dan bukannya sumber daya alam, tahun ini mengalokasikan lebih dari Rp 3 miliar untuk kebutuhan 43 penerima beasiswa. Hendri, apabila tak dapat beasiswa, bagaimanakah kelanjutan ceritamu?

“Saya sudah melamar jadi petugas cleaning service dan pelayan di sebuah rumah makan. Saya mau mengumpulkan uang buat kuliah. Namun sehari sebelum mulai kerja, saya mendapat telepon dari Jakarta,” kenangnya

[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]

Tidak ada komentar: