Antara Adat dan Modernitas: Politik Masyarakat Kajang (bagian 2 dari 2 tulisan - habis)
Saturday, 21 March 2009
Oleh Ilham Hamudy
(Peneliti Litbang Departemen Dalam Negeri)
Pengantar redaksi: tulisan ini adalah sebagian catatan dari penelitian etnografis yang dilakukan penulis selama hampir tiga bulan di tengah masyarakat Kajang, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Tulisan ini dimuat berseri dalam dua bagian.
Saya berusaha mencerap pelbagai informasi di luar Tana Toa, tidak jarang saya menginap di Desa Pattiroang atau di Desa Tambangan untuk sekadar berkenalan dan mencari informan yang saya anggap mengetahui persoalan tersebut.
Perkenalan saya dengan Pak Desa Sapanang dan Pak Desa Pattiroang di Desa Pattiroang, memberikan nafas segar dalam penelitian saya, yang sempat mandeg karena tidak mendapatkan informasi yang berarti di Tana Toa. Pada satu malam yang dingin di kediaman Pak Desa Pattiroang, Pak Desa Sapanang bercerita dengan gamblang.
Berikut penuturannya:
***
''Hari itu dini hari pertengahan Maret 2003. Saya lupa tanggal persisnya kapan. Kami mengadakan pa’nganro untuk memilih Ammatoa yang baru. Saat itu, calon Ammatoa hanya dua orang, Puto Bekkong dan Puto Palasa. Prosesi acara berlangsung tiga hari tiga malam.
Saya mengikuti semua rangkaian acara bersama beberapa kepala desa yang lain. Sepanjang umur saya, baru kali ini saya mengikuti pa’nganro. Tidak sembarang orang diperkenankan mengikuti prosesi sakral itu. Kalau tidak cukup “ilmu”, tidak bisa ikut. Kalau memaksakan ikut, biasanya sepulang dari acara pa’nganro, yang bersangkutan bisa meninggal, atau minimal gila.
Suasana pa’nganro memang lain. Sangat khidmat dan penuh mistik. Pemilihan Ammatoa, dilakukan di dalam hutan (pa’rasangang i lau’) berlangsung pada malam ketiga. Saya merasakan hal yang janggal pada malam itu. Orang-orang berkumpul secara berkelompok terpisah satu dengan lainnya. Padahal, pada malam-malam sebelumnya berbaur saja. Saya dan beberapa kepala desa lainnya, menepi di sudut lapangan pertemuan.
Saya makan sedikit dan minum, karena lapar dan haus. Saat makan dan minum itu, saya memerhatikan, Pak Dewan hilir mudik dan sesekali berbicara serius dengan seseorang, nadanya sangat pelan. Pemandangan itu saya lihat berkali-kali. Orang yang berbicara dengan Pak Dewan terlihat tegang setiap kali melaporkan sesuatu kepada Pak Dewan. Setelah melapor, ia kembali lagi ke kerumunan massa yang mengikuti prosesi. Selepas makan dan minum, kami kembali ke tengah lapang untuk mengikuti prosesi.
Singkat cerita, pada rangkaian puncak pemilihan, Anrongta ri Pangi memberikan pa’mamang (semacam piring dengan sesaji khusus- red) kepada Puto Bekkong. Menurut aturan adat, barang siapa yang diberikan pa’mamang oleh Anrongta ri Pangi, maka dialah yang berhak melanjutkan prosesi pengambilan sumpah sebagai Ammatoa.
Namun, ketika Anrongta ri Pangi memberikan pa’mamang kepada Puto Bekkong, Puto Palasa berdiri dan berkata, “Kenapa bukan saya yang diberikan pa’mamang? Bukankah saya adalah pejabat Ammatoa. Nupakasiri’ka punna teai nakke anjari Ammatoa (kamu bikin malu saya kalau bukan saya yang terpilih sebagai Ammatoa),” ujar Puto Palasa dengan suara yang lantang sembari mengambil parang, diikuti pengikutnya.
Mendapati hal itu, Anrongta ri Pangi bersikukuh dengan pendiriannya. Tetapi Puto Palasa terus mendesak seraya mengancam akan terjadi pertumpahan darah pada malam itu, andaikata bukan dia yang terpilih sebagai Ammatoa. Akhirnya, dengan penuh kesabaran, Puto Bekkong, yang juga paman Puto Palasa, mengalah.
“Kalau itu memang maumu, saya mengalah. Silakan kamu saja yang menjadi Ammatoa. Saya tidak mau ada perpecahan dan pertumpahan darah di antara kita,” kata Puto Bekkong.
Anrongta ri Pangi tidak bisa berbuat apa-apa, menuruti semua kehendak Puto Palasa. Pak Dewan yang berada di samping saya menyunggingkan seulas senyum. Mimiknya terlihat senang karena Puto Palasa yang terpilih sebagai Ammatoa.''
***
Apa yang diceritakan kedua informan saya itu, bukanlah isapan jempol semata. Beberapa informan yang lain juga mengafirmasi cerita itu. Pak Syamsuddin, informan saya yang lain, juga mengatakan hal yang sama. Pak Syamsuddin adalah salah satu penyandang dana upacara pa’nganro tersebut. Jadi beliau mengikuti rangkaian acara tersebut dari awal sampai akhir.
Menurutnya, salah satu alasan Puto Bekkong mengalah, selain alasan yang uraikan di atas, adalah untuk menyelamatkan upacara pa’nganro agar tidak sampai gagal. Sebab, kasihan para penyokong dana yang sudah menghabiskan dana yang tidak sedikit, sekira ratusan juta rupiah.
Mengalahnya Puto Bekkong, tidak serta merta menyelesaikan pertentangan di antara keduanya. Para pendukung Puto Bekkong, tidak mau terima dengan terpilihnya Puto Palasa sebagai Ammatoa. Sebenarnya, kalau pelantikan Ammatoa itu seperti demokrasi yang lazim dipraktikkan banyak orang dengan menggunakan suara terbanyak, tentu Puto Bekkonglah yang menjadi Ammatoa. Sebab, massa beliau lebih banyak, tersebar di pelbagai desa di Kecamatan Kajang. Tetapi, pelantikan Ammatoa tidak seperti pemilihan kepala desa.
Penjelasan para informan saya tentang dualisme Ammatoa, selalu mengaitkannya dengan peran sentral Pak Dewan. Siapa Pak Dewan sebenarnya? Bagaimana sepak terjang dia selama ini? Pertanyaan itu, kembali memaksa saya untuk terus menelusuri informasi yang beredar tentang dia.
Pak Dewan adalah anggota legislatif dari Partai Syarikat Indonesia (PSI), ia meraih kursi legislatif itu pada 2004 lalu. Perawakannya tinggi besar, berkumis, dan lantang dalam berbicara.
Sepintas, ia terlihat sangat cerdas di antara orang Kajang pada umumnya. Ketika saya menyambangi kediamannya di depan Pasar Kajapoa, ia terlihat santai menerima tetamu. Saya perhatikan, mereka sedang berbincang serius. Pikir saya, dia sedang konsolidasi dengan tim suksesnya, maklum menjelang pemilu.
Pembicaraan saya dengannya merangkum pelbagai hal tentang Kajang dan perpolitikan yang melingkupinya. Beberapa pokok pikiran dan gaya bicaranya tinggi, saya menilai ia adalah sosok yang ambisius dalam politik. Tidak banyak hal kontroversial tentang Kajang yang keluar dari mulutnya. Bahkan, ketika ditanya soal dualisme Ammatoa, ia terkesan menutupi dan cenderung menyalahkan Puto Bekkong yang dianggapnya kemaruk dalam kekuasaan.
Penjelasan tentang Pak Dewan saya dapatkan dari orang-orang terdekatnya, baik yang sejalan atau pun yang berseberangan dengannya. Salah satu penjelasan yang cukup valid dan andal, saya dapatkan dari mantan Galla Lombo’, salah seorang peneroka dan sesepuh orang Kajang. Ditemani secangkir teh dan rokok kretek yang asapnya terus mengepul, mantan Galla Lombo’ itu menuturkan kisahnya.
***
''Saya mengenal Pak Dewan sudah sejak lama. Sejak saya menjadi kepala desa di Tana Toa pada 1983. Saat itu, Pak Dewan masih remaja. Dia nakal, seperti umumnya remaja kebanyakan. Tetapi dia cerdas, meski terkesan arogan dan ambisius. Dia kuliah di Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, tetapi tidak selesai. Karena aktif di organisasi. Kuliahnya tidak jelas, berantakan. Kesan saya terhadap dia biasa saja, selama tiga tahun awal pemerintahan saya di Tana Toa.
Sampai akhirnya, satu peristiwa yang tidak bisa saya lupakan terjadi pada 1986. Saat itu, massa mengepung rumah saya dan melemparinya dengan batu. Massa mengamuk dengan membabi buta. Malam itu, saya berhadapan dengan Pak Dewan dan temannya yang masuk ke rumah saya dengan membawa sebilah parang. Tetapi, dia tidak membacok saya. Padahal, saya sudah berhadapan dengannya dan saya dalam keadaan terjepit.
Saya difitnah olehnya. Dikatakan, saya akan merusak adat dengan memindahkan kalompoang, semacam keris pusaka. Belakangan baru saya tahu kalau sebenarnya Pak Dewan tidak suka saya menjadi kepala desa, dan dia ingin menggantikan saya. Akhirnya dia menghasut massa dan Ammatoa, Puto Cacong, untuk menentang saya.
Selain itu, ada juga hal lain yang melatarbelakangi peristiwa itu. Sebelumnya, saya dipanggil Ammatoa. Ammatoa menyuruh saya memanggil bupati agar segera datang ke Kajang. Waktu itu, Ammatoa mempunyai calon untuk menduduki posisi Camat Kajang. Padahal, calon yang didukung Ammatoa itu bukanlah keturunan Labbiria. Atas dasar itu, saya selalu bilang pada Ammatoa, bahwa Pak Bupati sedang sibuk, jadi tidak bisa datang ke Kajang.
Berkali-kali saya diingatkan soal ini, tetapi saya tetap tidak mau menyampaikan kepada Pak Bupati. Penolakan halus saya itu dimanfaatkan oleh Pak Dewan untuk menjelek-jelekkan saya. Dia mengatakan, bahwa saya sengaja untuk tidak memanggil bupati datang ke Kajang.
Akhirnya, atas hasutan Pak Dewan, dikatakan kepada Ammatoa, “Kalau Ammatoa ingin Pak Bupati datang ke Kajang, pasang saja gambar Ka’bah di rumah Amma. Niscaya, Pak Bupati segera datang.”
Saat itu, Pak Dewan menghubungi salah seorang anggota DPRD Bulukumba untuk datang bertemu Ammatoa. Betapa kagetnya anggota dewan itu, ketika melihat gambar Ka’bah yang cukup besar terpampang di dalam rumah Ammatoa. Ia mengira, Ammatoa sudah berpihak kepada Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Padahal, saat itu, kekuatan Orde Baru dengan Golkarnya, begitu massif di seluruh pelosok negeri ini.
Mengetahui hal itu, akhirnya bupati datang ke Kajang dan melihat sendiri gambar Ka’bah itu. Betapa terkejutnya bupati. Impaknya saya dimarahi habis-habisan oleh Pak Bupati. Saya dianggap tidak becus memimpin Tana Toa dan mengamankan basis suara Golkar di sana. Pak Dewan memang hebat dalam berpolitik.
***
Lebih lanjut mantan Galla Lombo’ menguraikan, setelah peristiwa itu Pak Dewan menghilang beberapa bulan. Bahkan ia menjadi buronan polisi. Disinyalir, ia bersembunyi di Makassar. Sampai satu hari ia kembali ke Tana Toa, dan semuanya berlalu tanpa ia merasa bersalah sedikitpun. Peristiwa itu ditutup dengan “perdamaian” di antara pihak yang berselisih. Mantan Galla Lombo’ kembali memimpin Tana Toa sampai akhir masa jabatannya pada 1992.
Penjelasan mantan Galla Lombo’ mengernyitkan dahi saya, seraya mencoba meraba-raba keterkaitan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya, berikut dengan para tokoh yang ikut berperan di dalamnya.
Keterlibatan Pak Dewan yang berusaha mendongkel kepemimpinan mantan Galla Lombo’, campur tangan Ammatoa dalam penempatan seorang camat di Kajang yang bukan keturunan Labbiria, menjadi catatan khusus saya dalam menelusuri informasi tentang akar munculnya dualisme dan perselingkuhan politik Ammatoa.
Dewi fortuna menyertai perjalanan waktu Pak Dewan. Pada 1993 s.d 2001 ia menjadi Kepala Desa Tana Tona, mengalahkan menantu mantan Galla Lombo’. Pak Dewan kembali menjadi kepala desa untuk periode berikutnya 2001-2006. Namun, pada masa itu, Pak Dewan tidak merampungkan masa jabatannya.
Angin reformasi dan keterbukaan politik menggodanya untuk membidik jabatan yang lebih prestisius ketimbang sekadar menjadi kepala desa, yakni anggota legislatif (DPRD) Kabupaten Bulukumba. Sebagai pembuka jalan, pada 2003 ia masuk dan memimpin Partai Syarikat Indonesia (PSI) di Bulukumba.
Para informan saya mengatakan, 2003 adalah awal karut-marutnya adat di Kajang, ditandai dengan masuknya Pak Dewan sebagai caleg, dan pemilihan Ammatoa yang baru.
Ada pertalian politik yang kuat antara Pak Dewan yang ingin menjadi anggota dewan dan Puto Palasa yang mencalonkan diri sebagai Ammatoa. Simbiosis mutualisme berlangsung di antara keduanya.
Pada 2003 penggalangan massa dan kampanye pemilu sudah marak. Semua caleg di Kajang mulai menjaring massa, membuat citra, dan menarik simpati dan dukungan para pemuka adat, tidak terkecuali Pak Dewan. Hampir semua tahu, Pak Dewan begitu rapat dengan Puto Palasa. Gelar Galla Lombo’ yang disandangnya sebagai Kades Tana Toa, semakin mempermudah interaksinya dengan Puto Palasa, yang kala itu menjadi “caretaker” Ammatoa.
Para caleg dan partai politik yang lain tidak mampu masuk di Tana Toa dan mendekati Puto Palasa. Tana Toa sudah dikuasai Pak Dewan dan PSI-nya. Dan akhirnya, Pak Dewan berhasil mendapatkan kursi legislatif yang dia idamkan.
Sebagai imbalannya, Pak Dewan begitu gigih mempertahankan dan membela Puto Palasa, ketika Puto Palasa digugat oleh pelbagai pihak berkait dengan dualisme Ammatoa. Begitu pula dengan Puto Palasa, ia sangat berkepentingan memperjuangkan Pak Dewan agar terpilih sebagai anggota dewan, agar otoritasnya sebagai Ammatoa tidak diganggu gugat oleh para pihak, terutama pemerintah daerah yang sempat turut campur dalam menyelesaikan persengketaannya dengan Puto Bekkong.
Drama perselingkuhan politik Pak Dewan dan Puto Palasa berimpak fatal pada implementasi pasang dalam kehidupan orang Kajang. Adat istiadat yang dulu begitu kokoh dipegang, sekarang semakin pudar.
Salah satunya ditandai dengan surutnya pesan a'lemo sibatang, a'bulo sipappa', tallang sipolua, manyu siparampe, sipakatau tang sipakasiri yang artinya memupuk kesatuan dan persatuan dengan penuh kekeluargaan dan saling memuliakan.
Para pendukung di antara kedua kubu, saling berseteru sampai sekarang. Kasus perebutan sawah seperti yang saya kemukakan di atas, adalah salah satu dampak pudarnya adat.
Selain itu pula, kerap kali setiap pelanggaran yang dilakukan oleh orang luar atau pun orang dalam adat Kajang sendiri, begitu sukar untuk diadili secara hukum adat. Sebagai contoh, seorang warga komunitas menebang pohon di luar batas toleransi yang dibenarkan. Warga yang bersalah itu mencari pembenaran di salah satu Ammatoa. Kalau Puto Palasa mengatakan ia bersalah, maka yang bersangkutan lari ke pihak Puto Bekkong untuk meminta perlindungan hukum, begitu pun sebaliknya.
Hal lain yang memudarkan adat dan menjadi impak atas dualisme Ammatoa, adalah munculnya dualisme di antara pemuka adat yang lain. Kedua belah pihak, membentuk struktur kekuasaannya masing-masing. Akhirnya, tidak heran kalau Galla Puto ada dua orang, Galla Pantama, Galla Kajang, dan begitu juga Anrong Gurua. Semuanya menjadi dualisme. Padahal, ketika salah seorang warga atau lebih ingin membuat hajatan dengan upacara adat, dan mesti mengundang para pemangku adat, lalu pemangku adat dari pihak mana yang mesti diundang. Ketika hal ini saya tanyakan kepada warga komunitas, mereka menggelengkan kepala, bingung, dan diam tidak mengerti.
POLITIK DALAM HUBUNGAN-HUBUNGAN SOSIAL
Lazimnya, perhatian politik hanya bertumpu kepada institusi yang berkaitan dengan perlembagaan, seperti partai politik dan pemilu. Namun gambaran ini sangat terbatas dan tidak memberikan pandangan yang sesungguhnya tentang kajian politik.
Peranan yang dimainkan oleh pemerintah, partai politik, badan-badan bukan pemerintah (NGO), pemilu, perdebatan dalam parlemen, dan persaingan dalam sebuah partai politik sememangnya merupakan unsur penting di dalam proses politik, terlebih lagi dalam proses politik modern.
Walaupun demikian, dengan hanya melihat unsur tersebut untuk mendefinisikan politik maka ibarat melihat puncak gunung es yang nampak ujungnya saja di permukaan lautan. Padahal, sebagian besar dari es tersebut masih lagi tersembunyi di dasar laut. Hal ini tidak bermakna, persoalan institusi politik tidak penting, tetapi pemahaman mengenai hal itu saja tidak menjelaskan pelbagai persoalan lain yang lebih mendasar dan menjadi motivasi tindakan politik seseorang.
Fenomena yang saya lihat dan alami di Kajang, sekaligus mempertegas bahwa pentingnya norma, fungsi, struktur, aturan, dan keseimbangan dalam sistem kehidupan masyarakat, ternyata tidak selalunya menjadi pedoman hidup manusia. Orang Kajang yang dikenal hidup berpandukan adat, nilai, norma, yang diatur dalam pasang, ternyata kerap juga berperilaku “menyimpang.”
Intrik politik, patron-klien, tipu muslihat, dan perselingkuhan politik Ammatoa dengan Pak Dewan, seakan membenarkan sinyalemen Barrett (1996:100) bahwa kehidupan sosial memunyai banyak simpang siur dan pecahannya.
Ramai orang yang melaungkan pegangan hidup yang normatif, tetapi pada kenyataannya juga melakukan pengingkaran terhadapnya. Tidak sedikit di antara mereka yang senantiasa mencari jalan pintas untuk memeroleh tujuan tanpa menurut pada adat dan norma yang berlaku.
Mengulas fenomena perselingkuhan politik Ammatoa di Kajang, saya mengutip perkataan Bailey (1970:87) yang sekiranya senafas dengan hal itu, “...kebanyakan dari kita dipengaruhi oleh kepentingan diri sendiri, acap mencoba mengingkari ikatan norma untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin.”
Menurut saya, keadaan inilah yang pada hakikatnya muncul di Kajang. Nilai harmoni dalam kehidupan sosial sebagaimana yang terangkum dalam pasanga ri Kajang sebenarnya tidak senantiasa ada. Jika pun ada, ia hanya menjelma dalam bentuk komunitas adat yang stabil, tetapi di dalamnya penuh dengan tipu daya, muslihat, nepotisme, tikam dari belakang, jalan pintas, dan “perselingkuhan.”
Tradisi dan nilai-nilai pasang ri Kajang sudah berubah. Artinya, pada batas-batas tertentu, pasanga ri Kajang bukan lagi menjadi kebanggaan di dalam struktur sosial di mana mereka hidup.
Ditinjau dari sistem nilai, pasanga ri Kajang sudah tidak lagi menjadi aturan dalam pluralitas nilai yang berada di tengah-tengah kehidupan orang Kajang.
Dalam proses selanjutnya, tokoh Ammatoa yang representatif juga tidak dijumpai lagi, sehingga komunitas Kajang sudah tidak sesolid masa lalu. Akibatnya, peran kontrol sosial Ammatoa juga menjadi melemah.
Unsur-unsur dalam pasanga ri Kajang telah tenggelam dalam kompleksitas modernisasi, dan politisasi elite Kajang sendiri. Dan, generasi berikutnya, lambat laun menganggap tradisi orang Kajang yang dijiwai prinsip kamase-masea tidak dapat lagi dipergunakan untuk menjawab tantangan nilai-nilai baru yang lebih relevan dan rasional. Nilai-nilai dalam pasanga ri Kajang telah kehilangan elan vitalnya.
Akhirnya, menjelang saya tinggal di Kajang, saya menyempatkan diri ngerumpi dengan beberapa informan, membincangkan tentang pelbagai hal di Tana Toa, khususnya tentang politik.
Pak Sekdes Tana Toa, Pak Desa Pattiroang, Pak Sekdes Pattiroang, Pak Kaur Pemerintahan Pattiroang, Pak Desa Sapanang, dan saya duduk di balai-balai bambu di bawah kolong rumah Pak Desa Pattiroang.
Pak Sekdes Pattiroang dan Pak Kaur Pemerintahan Pattiroang mengajukan pertanyaan kepada saya. Mengapa saya mengalihkan tema penelitian dari politik identitas kepada dualisme Ammatoa. Saya hanya tersenyum, dan menjawab sekenanya. Saya bilang, apa yang saya rancang sebelum saya ke Kajang semuanya berantakan. Sebab, asumsi yang saya bangun, ternyata hanya sebagian saja benar terjadi, selebihnya tidak ada. Semua itu, hanya imajinasi saya saja sebagai peneliti.
Mendengar hal itu, mereka tertawa. “Ternyata, peneliti itu, menggunakan imajinasi juga ya? Seperti mengkhayal saja,” ujar Pak Kaur.
Saya katakan kepada mereka, ternyata intrik politik dan dualisme Ammatoa lebih menarik bagi saya untuk dikaji. Lalu, Pak Desa Sapanang menimpali, “Orang Kajang yang dikenal orang luar sebagai orang yang sederhana dan bodoh-bodoh, ternyata jago main politik juga ya?” Kami semua terbahak mendengar celetukan Pak Desa Sapanang.
Sumber:
- Dikutip dari http://www.jakartabeat.net/artikel/160-antara-adat-dan-modernitas-politik-masyarakat-kajang-bagian-2-dari-2-tulisan-habis.html, pada Ahad, 25 Juli 2010
- Pengelola blog http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/ (Asnawin) melakukan sedikit penyesuaian, antara lain menebalkan dan memiringkan kata atau kalimat tertentu.
kata ''pasang ri Kajang'' yang digunakan penulis, juga kami ubah menjadi ''pasanga ri Kajang.''
[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
-
IKAN DUYUNG. Jumaning (60), membersihkan tubuh ikan duyung yang ditemuinya di tepi pantai saat mencuci bentang (tali rumput laut) di pesi...
-
Andi Sultan Daeng Radja bersama tujuh orang lainnya telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui Surat Keputusan Presiden RI (Sus...
-
BUNDARAN PHINISI. Kabupaten Bulukumba yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, terdiri atas 10 kecamatan dan 126 ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar