Jumat, 09 Juli 2010

Sensasi Berburu Escolar di Lepas Pantai Bira


Seorang nelayan sedang mengayuh sampannya dengan latar belakang Pulau Kambing, yang hanya berjarak beberapa kilometer dari Pantai Tanjung Bira, Kabupaten Bulukumba. Pulau Kambing adalah tempat memancing yang dapat menimbulkan sensasi luar biasa. (Sumber Foto: http://www.forumms.com/bira.htm)


----------------------------------------

Sensasi Berburu Escolar di Lepas Pantai Bira

Oleh: Andi Harianto

Kompasiana (http://wisata.kompasiana.com/group/jalan-jalan/2010/04/12/sensasi-berburu-escolar-di-pulau-kambing/)
12 April 2010

Tidak lebih setengah jam dari bibir berpasir putih Pantai Bira, sampailah kami di lokasi dimana arus teluk Bone bertemu dengan air lautan Flores. Tebing kokoh Pulau Kambing, adalah penjinak dua arus berputar ganas lautan tersebut, yang menjadikan area ini dihuni berbagai jenis ikan khas yang berdiam di antara bebatuan karang yang ada di dasar lautan. Tebing batu yang menjulang menantang gelombang dan karang koral di dasar lautan, menjadikan Pulau Kambing ini akrab disebutan para nelayan sebagai lokasi Pulau Batu.

Kak Toto, demikian aku memanggilnya, adalah pemancing senior yang aku temani. Ia mulai memancing di Pulau Batu itu sejak sewa perahu hanya disewa seharga Rp 10.000, yang sekarang sewanya saja sudah mencapai Rp 350.000, belum termasuk bahan bakarnya. Ia sudah mengenal semua tukang perahu dan telah paham waktu yang baik untuk memancing.

“Tidak ada tempat yang tenang di Pulau Batu ini, bagi mereka yang tidak mengenal karakter lautnya. Kalau bukan ombak yang mengguncang, maka arus deras bawah lautlah yang mengganggu,” katanya kepadaku saat dalam perjalanan menuju lokasi mancing Pulau Kambing.

“Saat ini, waktu dalam hitungan 25 bulan. Pertemuan arus akan tenang karena lautan pasang di sore dan pagi hari,” kata Daeng Sansu’ menambahkan analisisnya tentang hari baik untuk memancing.

Saya tidak paham arti 25 bulan, karena kalender resmi hanya sampai pada angka bulan ke-12. Saya tidak memancingnya untuk menjelaskan, karena saya tak peduli dengan hitungan itu. Bagiku yang pemula ini menganggap bahwa lautan pasti dihuni banyak ikan, dimanapun itu.

Dugaanku salah besar, nenek moyang kita telah menggunakan pengalamannya untuk mengetahui waktu tepat ikan datang bergerombol bahkan tahu waktu makanannya. Mereka tidak menggunakan peralatan canggih GPS yang digunakan pemancing modern, mereka hanya mengandalkan hitungan kuno namun tepat.

Tentang Pulau Kambing, aku pun penasaran. Kenapa harus disebut Pulau Kambing yang tak berpenghuni manusia tersebut. Ternyata di Pulau itu terdapat ratusan kambing yang berkeliaran tanpa pemilik. Kambing-kambing itu dilepas oleh nelayan sebagai persembahan. Mungkin persembahan kepada penghuni lautan agar tak diganggu saat mencari ikan. Tentang kepercayaan ini saya tak peduli, juga saya tak ingin menentangnya. Soalnya ada rasa bergidik juga jikalau mendengar cerita tentang banyaknya perahu yang karam dan awaknya hilang entah kemana.

Adapula cerita dari nelayan yang pernah melihat gadis ber-baju bodo, yang berpakaian khas orang Bugis sedang berjalan di atas lautan. Entah itu takhayyul atau bukan, saya mengabaikannya karena saya ingin memusatkan konsentrasiku pada ikan apa gerangan yang akan kami dapatkan, membayangkan hentakannya dan merasakan sensasi tarikan pancing yang menyenangkan.

Sebenarnya bukan hanya Pulau Batu ini yang menjadi tujuan favorit para pemancing, tetapi juga terdapat Pulau Pasir di dekat Pulau Selayar, yang juga tak kalah menyenangkannya menjadi area memancing ikan escolar, tuna, sunu' merah dan berbagai ikan besar yang memicu adrenalin ketika mata pancing besar ukuran 14 disambar buas ikan-ikan tersebut.

“Strike…strike….uuppss”, demikian dengusan gembira ketika pertama kali mata pancingku tersambar oleh sesuatu yang teramat besar. Tidak ada ingatan lain kecuali ikan yang ada di dasar dan mengkonsentrasikan kekuatan di tangan untuk menariknya ke permukaan.

Ikan apakah gerangan di bawah sana, dalam benakku tergambar kemungkinan ikan escolar yang oleh pemancing dijadikan supremasi tertinggi untuk menjadi pemancing hebat. Ikan Escolar harganya bisa 2 jutaan, dagingnya menurut cerita sangat lezat bahkan ada yang menjadikannya obat mujarab. Saya tidak pernah melihat, merasakan lezat dan juga menjadikannya obat. Yang pasti ikan ini sangat jarang didapat, karena mereka datang bergerombol di pertemuan arus ini mengikuti musimnya, yang hanya beberapa orang tukang perahu di Bira ini mengetahuinya. Kalaupun waktu datangnya tepat, belum tentu si escolar itu menghampiri mata pancing Anda. Sulit yah….

Semua kawan sesama pemancing menghampiriku, ada yang membantu menggulung tali pancing dari benang tasi, ada yang menyemangati sambil menebak ikan yang ada dalam tarikanku, yang lain mempersiapkan ganco runcing untuk mengangkat ikan itu ketika sampai di permukaan. Ada pula yang tetap dengan pancingnya sambil berharap mendapatkan sesuatu yang seperti aku dapatkan, walau belum terlihat sejenis apakah gerangan ikan yang meronta berat di pancingku ini.

Aku sudah mulai lelah menariknya setelah sekitar 20 menit aku bertarung, maklum ikannya sangat kuat meronta dan kedalamannya berkisar 200 depa. Pancing yang aku pakai disebut di daerah kami sebagai pancing Lingara atau pancing manual. Pancing ini dirakit dengan menggunakan stainless berbentuk unik, memakai beberapa gilingan untuk menyesuaikan putarannya dengan arus lautan yang deras. Pancing lingara ini dilengkapi ladung atau pemberat yang terbuat dari timah seberat setengah kilo. Diujung lingara inilah diikatkan picura atau tali pancing dengan panjang ideal 3 meter.

Sensasi tarikan dengan memakai Lingara lebih terasa dibanding penggunaan stick pancing yang belum tentu ikannya dapat ditarik jikalau hanya menggunakan stick dan rool yang murah. Pancing Lingara yang hanya menggunakan gulungan sederhana dengan tasi yang besar ini, langsung ditarik oleh tangan.

Pemancing bertarung secara langsung dengan ikan tersebut dengan mengandalkan kekuatan tangan tanpa bantuan peralatan seperti yang ada pada stick pancing yang sering kita nikmati di tivi pada acara mancing mania.

Sensasinya luar biasa, tapi otot tanganku tidak cukup kuat menariknya. Saya mundur setelah kuperkirakan masih ada sekitar 50 depah lagi ikan itu sampai kepermukaan. Kuserahkan tali pancingku ke seorang teman, sementara aku terduduk kelelahan sambil berharap semoga ikan besar itu sampai ke permukaan dan jenisnya bisa ketebak.

Tenaga baru, membuat tarikannya juga lebih cepat. Dan byarr..byarr..byarr, ikan itu sekali lagi meronta teramat keras sebelum sesaat tiba di permukaan. Mungkin karena ikan yang hidup di kedalaman itu merasa aneh berada di lingkungan yang berbeda, diperparah lagi dengan tusukan pancing dan tarikan yang mengalahkannya.

“Tarik terus…tarik….” Aku menyemangati dan akhirnya ikan besar itu pun tampak di permukaan. Semua bersorak kagum sambil menepuk-nepuk punggungku bertanda pengakuan dan penghargaan. Inilah sportivitas di dunia memancing. Dan ikan itu….Aha, seekor Ikan Moang besar dengan panjang sekitar 1,75 meter, lebar 45 cm. Beratnya tidak kurang dari 40 kg karena saya sendiri tak mampu mengangkatnya. Ikan Moang adalah penamaan lokal, saya tidak mengetahui bahasa Indonesianya apalagi bahasa latinnya.

Ikan besisik tebal, berwarna merah mirip ikan Mas itu juga adalah salah satu ikan langka yang jarang didapat. Walau bukan Escolar, hari itu saya menjadi pemacing di kelompokku yang terdiri dari 7 orang dalam satu perahu itu, sebagai orang baru yang unggul mendapatkan ikan terbesar.

Ketika itu, jam 04.00 dini hari. Saya kembali menurunkan pancingku dengan umpan seekor ikan layang kecil. Sayang, pancingku tersangkut di karang dan aku tak mampu melepaskannya. Aku berhenti dan mengikatkan pancingku ke perahu, kubiarkan saja sampai ombak yang menggoyangkan perahu melepaskan pancingku.

Tenagaku sudah habis dan saya berniat shalat subuh di perahu dan kemudian istirahat sambil menunggu waktu pulang di pagi hari. Teman-teman yang lain masih asyik memancing dan mendapatkan ikan yang bermacam-macam walau belum mengalahkan hasil pancinganku. Kotak gabus yang berisi es balok untuk mengawetkan ikan sudah sumpek terisi, setelah semalaman penuh kami memancing.

Ngantuk dan lapar tak terasa, yang ada hanya sensasi demi sensasi bergulat dengan ikan Pulau Batu yang besar-besar dan menyenangkan. Inilah hobby, kesehatan pun terabaikan. Untung aku telah meminum anti mabuk sehingga pengalaman sebagai pemancing pemula di lepas Pantai Bira tak membuatku teler dengan gocangan ombak menggocok perut.

Sambil menunggu jangkar diangkat, kami semua membenahi pancing dan mengatur letak ikan hasil pancingan. Waktu menunjukkan jam 07.00 WITA, kami pun balik pulang menuju pantai, tempat mobil terparkir yang akan membawa kami kembali ke rumah di Kabupaten Bantaeng yang berjarak sekitar 50 km dari Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba tempat dimana obyek wisata pasir putih Pantai Bira berada.



Pantai Bira adalah salah satu wisata unggulan di Sulawesi Selatan yang banyak dikunjungi wisatawan mancanegara. Pasir pantainya yang putih, panorama indah bawah laut dan berbagai fasilitas resortnya, menjadikan pantai Bira ini terkenal dimana-mana. (Foto: http://www.forumms.com/bira.htm)

Tidak hanya itu, Perahu Phinisi yang pernah berlayar sampai ke Madagaskar adalah perahu berasitektur khas daerah ini yang kini banyak menjadi lambang ataupun logo yang dipakai di Sulsel. Phinisi adalah kebanggaan kami. Keahlian membuat perahu phinisi, menjadikan Bulukumba dikenal sebagai daerah “Bumi Panrita Lopi” atau daerah dimana tempatnya para ahli pembuat perahu.

Hasil penelitian Pelras dalam bukunya “Manusia Bugis” yang menyimpulkan bahwa masyarakat Sulsel itu adalah petani tulen dan bukan pelaut setidaknya terbantahkan jikalau ia sempat mengunjungi Kabupaten Bulukumba, yang nelayannya kadang tertangkap patroli Australia karena tidak sadar mereka telah memburu ikan tuna di perairan Negara lain.

Banyaknya orang Bugis Makassar di masa lalu yang merantau dimana-mana melalui jalur laut dengan perahu phinisinya, juga banyaknya orang Bugis Makassar dimasa lalu yang merantau dimana-mana melalui jalur laut dengan perahu phinisinya, juga adalah pembukti bahwa nenek moyang Bugis-Makassar adalah pelaut-pelaut handal.

Ungkapan “sekali layar terkembang, pantang surut kembali ke pantai” (kualleangngangi tallanga na towalia) adalah komitmen keberanian yang masih dipegang teguh para pelaut pemberani Bugis-Makassar, dan tentu pula para pelaut di bahagian Nusantara lainnya.

Walau kupasan singkat tentang Pantai Bira berpasir putih, dan Perahu Phinisi di Bulukumba ini belum lengkap dalam memoriku, setidaknya aku ingin mengenalkan bahwa tidak hanya itu yang menarik, tetapi juga wisata memancingnya, yang pasti tidak kalah dengan obyek wisata lainnya.

Sayangnya, obyek memancing ini belum diperkenalkan oleh Pemda Bulukumba untuk menarik minat wisatawan yang hobby memancing. Belum disiapkan perahu khusus memancing, fishing shop, ataupun area bakar ikan.

Teringat saya dengan Bupati Wakatobi yang menyiapkan aturan tentang area khusus memancing. Di area itu dilarang untuk menggunakan pukat apalagi bom ikan yang memunahkan biota laut. Hanya memancing yang dibolehkan, itupun diatur waktunya, memberi kesempatan ikan berkembang biak agar ikan tak bakal habis yang tentu akan memuaskan para pemancing.

Saya pun kembali ke Pantai dengan perasaan puas tak terkira. Lautan tenang dan angin semilir mengantar kami, bersama loncatan bermanuver segerombolan lumba-lumba hitam sahabat para nelayan. Lumba-lumba itu seolah mengucapkan selamat jalan kepada kami. Perahu melaju tenang dan kunikmati aroma pagi lautan yang begitu sejuk. Beningnya lautan menampakkan karang yang ada di bawahnya. Indah, sangat indah Sang Pencipta mendesain alam yang demikian kaya ini. Adakah kita mau melestarikannya ?

Sehari setelah kembali memancing dari Pulau Batu
Bantaeng, 10 April 2010


[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]

Tidak ada komentar: