Jumat, 06 Agustus 2010

Etos Bulukumba dalam Sepotong Lakon


PAGANRANG. Ini adalah pemusik pengiring tari-tarian tradisional Bugis Makassar. Orang yang memainkan musik tradisional Bugis Makassar ini disebut paganrang (pemukul ganrang/genderang). Mereka selalu memakai pakaian adat Bugis Makassar, lengkap dengan topi passapu yang terbuat dari kain dan bisa dibongkar pasang. (Foto: Wahyudin Mas'ud)

-------------------------

Etos Bulukumba dalam Sepotong Lakon

Tempo
Selasa, 27 Juli 2010
http://www.tempointeraktif.com/hg/panggung/2010/07/27/brk,20100727-266503,id.html

TEMPO Interaktif, Makassar - Sebagai masyarakat agraris di pedesaan, Bulukumba punya kebiasaan bahu-membahu saat anggota masyarakatnya menggelar hajatan. Lelaki dan wanita tak mau ketinggalan. Tanpa diundang, mereka berbondong-bondong ke rumah mempelai. Di saat kaum pria membuat laminan, janur, dan memasang tenda, para ibu dan remaja putri tak kalah gesit di dapur. Meracik bumbu, memotong daging, atau membuat penganan untuk tamu dan undangan.

"Semua mencerminkan semangat gotong royong masyarakat saat akan menggelar pesta pernikahan," kata Dewi Fauziah, Pembina Sanggar Tari Adinda kepada Tempo, Sabtu pekan lalu.

Etos kerja dan semangat gotong royong ini dicoba diangkat oleh Sanggar Tari Adinda dalam tarian Sipakala' biri' ri pa' buntingang, Sabtu pekan lalu, di Benteng Fort Rotterdam, Makassar.

Gemulai gerak delapan penari wanita tampak anggun dengan balutan kostum warna cerah. Empat berwarna kuning, empat lain berwarna hijau. Bawahan berupa sarung sabbe' dengan motif kotak-kotak selaras dengan warna baju. Kesan anggun semakin terpancar dari selendang merah yang melekat di badan.

Mula-mula, penari berbaris delapan menghadap penonton sebagai simbul salam penghormatan. Seiring dengan suara musik pengalun dan lantunan syair, kedelapan penari membagi diri menjadi dua kelompok sesuai dengan warna baju. Kadang mereka duduk membentuk lingkaran seraya menirukan beberapa gerakan, lazimnya para ibu dan remaja putri yang sedang meracik bumbu.

Dewi menuturkan, sudah menjadi kebiasaan sebagian besar warga di Bulukumba, jika salah seorang warga menggelar hajatan, seperti pesta pernikahan, kaum wanita datang membantu hingga hajatan berakhir. Kebiasaan yang sudah menjadi semacam budaya di kalangan masyarakat Bugis Makassar, masih terpelihara dengan baik.

"Sampai sekarang kebiasaan seperti ini masih berlangsung, terutama di kalangan masyarakat pedesaan yang masih mengedepankan budaya gotong royong," ia menjelaskan.

Dewi menambahkan, tarian ini menyampaikan pesan kebersamaan yang menjadi ciri khas masyarakat agraris di Sulawesi Selatan. Lakon berdurasi kurang dari 15 menit itu menunjukkan ciri khas warga Kabupaten Bulukumba. Beberapa gerakan dalam tarian banyak diilhami dari tari Salondreng, tarian yang juga mengisahkan pelaksanaan prosesi pernikahan.

"Iringan beberapa alat musik didominasi oleh perkusi, untuk menghidupkan tarian itu sendiri," kata dia.

Dominasi perkusi sebagai alat musik tradisional begitu terasa sepanjang pertunjukan selama sekitar setengah jam. Ganrang, rebana, dan alat musik pukul dari bambu, Katto'-katto', begitu rancak terdengar. Sesekali ritme pertunjukan terkesan lamban dalam nada-nada sedikit melo saat iringan kecapi dan suling mengalun. Musik begitu dinamis mengiringi gerak gemulai kedelapan penari yang tampil dengan full make up.

Penampilan rombongan asal Bulukumba ditutup dengan tari Mario Uleng. Tarian ini menggambarkan keceriaan pemuda dan pemudi saat menanti bulan purnama. Berbeda dengan suguhan sebelumnya, kali ini petikan kecapi dan alunan seruling terdengar dominan. Seperti hendak menyesuaikan gerak delapan pasang muda-mudi yang larut dalam keceriaan di bawah siraman purnama.

Ketika kegelapan menyelimuti bumi, para remaja pun dirundung resah, menanti purnama yang tak kunjung tiba.

Tunrung Pakkajanra'

Pergelaran seni Sulawesi Selatan di Benteng Rotterdam pada Sabtu pekan lalu semakin semarak dengan penampilan Sanggar Sejati, mewakili Kota Makassar. Enam penari pria tampil begitu padu dalam lakon Tunrung Pakkanjara. Eksplorasi perkusi, seperti ganrang, menjadi ciri khas tarian yang mengutamakan gerak keenam penari ini.

Dentuman ganrang bertalu-talu semakin menghidupkan suasana. Eksplorasi alat musik tradisional yang biasanya hanya dimainkan dengan memukul dengan menggunakan jari tangan ini tak lagi tampak. Ganrang dipukul dengan menggunakan dua kayu yang panjangnya seukuran lengan orang dewasa. Bersahut-sahutan, sambung-menyambung, memecah keheningan malam yang mulai merayap seantero kota.

"Itulah keunikan Tunrung Pakkanjara," kata Vian, seorang penari seusai pertunjukan pada Sabtu itu.

"Gerakan penari mesti selaras dengan ketukan ganrang yang bertalu-talu yang seolah tak mau berhenti," lanjutnya.

Nada-nada yang dimunculkan begitu apik sekaligus rancak. Selaras spirit tarian, yang menggambarkan keceriaan para prajurit kerajaan. Prajurit yang memainkan gerakan Pa'raga.

ARIFUDDIN KUNU



[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]

Tidak ada komentar: