Senin, 27 September 2010
BULUKUMBA, INSPIRASI YANG TAK PERNAH KERING
Keterangan gambar: Dul Abdul Rahman. (foto ini dicopy dari akunfacebook Dul Abdul Rahman)
BULUKUMBA, INSPIRASI YANG TAK PERNAH KERING
oleh dul abdul rahman
pada 28 Agustus 2010
Musim kemarau kali itu sangat panjang. Padahal bulan-bulan seperti itu biasanya hujan sudah datang. Hanyalah mendung yang sesekali datang menawarkan hujan lalu menghilang.
Matahari terus bersinar seperti mata perempuan jalang. Bumi terus meradang. Tanah mulai gersang. Pohon-pohon meranggas sambil berdiri kaku seperti setan yang dirajam. Binatang-binatang nampak resah karena kepanasan. Rumput-rumput pun mengering seolah dipanggang. Pawang hujan sudah mulai bosan. Mantra-mantranya meminta hujan tak lagi mempan.
“Ini benar-benar kutukan Raksasa Bawakaraeng dan Lompobattang.” Begitulah batin dan prasangka banyak orang. Mereka memang nampak gamang. Di kampung mereka berkali-kali terjadi keangkaramurkaan. Pun tragedi kemanusian. Jadi kemarau panjang bisa saja adalah sebuah peringatan.
Meski demikian, para petani bersahaja Desa Tibona tetap sabar memelihara binatang ternak dan kebun-kebun mereka dengan hati lapang. Meski kemarau panjang membuat tanaman-tanaman mereka mengering, tetapi mereka berusaha menyiram tanaman. Walau mereka harus mengambil air yang jauh di Sungai Lolisan bahkan Sungai Pallangisang.
Di musim kemarau, bagi para petani hanyalah Sungai Lolisan yang menjadi tumpuan dan harapan. Untungnya Sungai Lolisan tetap setia menjadikan petani-petani sebagai kawan. Airnya tidak pernah mengering walau terjadi kemarau panjang.
Warga Tibona sangat percaya bahwa selama penghuni Sungai Lolisan yang berwujud buaya masih ada maka sungai itu tidak akan pernah kering kerontang. Buaya tersebut memang bukan buaya sembarang. Tetapi buaya jelmaan orang. Olehnya itu, untuk menghargai penghuni Sungai Lolisan sekaligus menjaga agar tidak terjadi abrasi, maka petani setempat pantang menebang pepohonan yang tumbuh dipinggir Sungai Lolisan. Tapi kebiasaan itu mulai dilupakan orang. Orang-orang sudah mulai berani menebang pohon di pinggir Sungai Lolisan dengan sembarangan bahkan serampangan.
Agar tak mendapat kutukan dari Raksasa Bawakaraeng dan Raksasa Lompobattang, aku terus berkampanye bahwa warga harus menjaga pohon-pohon di sekitar Sungai Lolisan. Warga juga harus belajar menjaga pohon-pohon serupa masyarakat suku Kajang memperlakukan pepohonan di Tanah adat Kajang. Aku tiada pernah bosan memberikan peringatan walau banyak warga tak mempan diberi peringatan.
---.....
Begitulah petikan dari salah satu novelku yang mengambil setting Bulukumba. Bulukumba buatku adalah tanah inspirasi yang tidak pernah kering meski ditelan misteri waktu, mungkin serupa orang Palestina yang selalu menjadikan Tanah Yerusalem sebagai tanah inspirasi untuk menjadi syuhada. Pun, Sungai Lolisan yang berada di Desa Tibona yang memisahkan antara Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Sinjai adalah sungai inspirasi bagiku.
Selalu terkenang akan masa kecilku bersama anak-anak sebaya lainnya. Selepas mengembala hewan ternak, kami bisanya beramai-ramai berenang di Sungai Lolisan. Sungai yang kala itu airnya jernih serupa bersumber dari mata air embun yang dikirim oleh Sang Patotoe dari Boting Langi.
Ada satu peristiwa yang tak akan pernah aku lupakan. Ketika kami asyik-masyuk berenang di Sungai Lolisan suatu sore. Aku yang tidak pandai berenang tiba-tiba dikabarkan tenggelam, bahkan konon menurut cerita salah seorang teman, aku ditenggelamkan oleh seekor buaya penjaga Sungai Lolisan. Kejadian itu membuat gempar seluruh penduduk Desa Tibona, cuma kakekku seorang yang tidak pernah resah.
Konon pada malam sebelum kejadian menggemparkan tersebut, kakekku bermimpi didatangi oleh adik kembarnya yang mewujud menjadi seekor buaya dan menjadi penghuni tetap Sungai Lolisan. Adik kembarnya berkata padanya, “Daeng! Aku teramatlah rindu untuk menimang cucuku, biarkanlah ia semalam bersamaku.”
Esoknya aku ditemukan terdampar di pinggir Sungai Lolisan. Konon petani yang pertama kali menemukan diriku melihat bahwa aku dijaga oleh seorang kakek yang berjenggot putih. Tetapi ketika petani dan penduduk Tibona mendekat ingin melihat keadaanku tiba-tiba kakek berjenggot putih itu menghilang. Aku pun ditemukan dalam keadaan sehat wal’afiat, sedangkan goresan kecil menghiris tubuhku tak ada, apalagi luka. Bahkan penyakit kudis yang tumbuh di kakiku kala itu menghilang, bahkan tak ada bekasnya sama sekali.
Konon menurut teropong kakekku, adik kembarnya tersebut sengaja menyembunyikan diriku untuk memberiku kekuatan fisik, ketika aku masih kecil memang sering sakit-sakitan. Selepas peristiwa itu, memang aku tidak pernah lagi sakit-sakitan hingga sekarang. Alhamdulillah!
Itulah kisah masa kecilku di Bulukumba yang selalu menjadi kenangan, bahkan masih menjadi renungan, apa iya aku memang disembunyikan oleh kakekku yang konon mewujud jadi buaya itu. Itulah sebabnya di kalangan teman-teman masa kecilku di Tibona Bulukumba dulu, aku sering dipanggil sebagai “Lelaki Buaya”. Tapi aku kira panggilan tersebut bukanlah bermakna negatif.
Aku yakin, aku termasuk lelaki Bugis Bulukumba yang sangat setia dan menghormati perempuan. Kalau lah ada yang mengalahkan kesetiaanku pada perempuan, paling-paling cuma dua sastrawan muda Bulukumba berbakat yaitu: Anis Kurniawan dan Andhika Mappasomba.
---...
Bulukumba. Memang buatku selalu meluah hibah, meluah rindu yang tiada terperikan. Bahkan ketika aku berada di Malaysia, khususnya di Kedah bagian utara, aku serasa berada di Bulukumba. Pohon-pohon karet di Kedah Darul Aman serupa pohon-pohon karet di Bulukumba. Bedanya, pohon-pohon karet di Bulukumba kadangkala kejam dan tidak bersahabat dengan para petani.
Sewaktu kejadian tragis meninggalnya dua petani di Bulukumba pada tragedi Senin Berdarah 21 Juli 2003 saya berada di Kedah Darul Aman dan menangis mendengar Bulukumba Darul “tak” aman. Mengenai gugurnya dua pahlawan petani Barra bin Badulla dan Ansu bin Musa menginspirasiku menulis novel “Pohon-Pohon Meranggas”.
Dibanding dengan beberapa kabupaten lainnya di Sulawesi Selatan, termasuk Sulawesi Barat, Bulukumba termasuk daerah yang gudangnya penulis-penulis bertalenta. Bahkan seingatku fiksi pertama yang aku baca yang ditulis oleh orang Sulawesi Selatan adalah “Pulau”.
Sebuah novel bersetting Bulukumba yang ditulis oleh sastrawan asal Bulukumba, Aspar Paturusi. Sekarang ini, penulis-penulis Bulukumba aku lihat semakin menggeliat, semoga saja tidak menggeliat khianat. Tapi setidaknya dengan adanya dua orang generasi yang tumbuh bersama Daun-Daun Kelor, Anis Kurniawan, dan Andhika Mappasomba, saya yakin geliat sastra akan semakin kentara di Bulukumba. Ya, dua anak muda itu memang sangat mencintai setengah mati Bulukumba, semoga Bulukumba juga kian menyayanginya.
Aku sendiri mungkin agak membagi cinta, karena meski dilahirkan dari rahim Bunda Bulukumba, aku diasuh oleh Bunda Sinjai dari usia 9 tahun. Bahkan pernah menyusu pada Bunda Malaysia beberapa tahun lamanya. Bunda-bunda tersebut memang amat kusayang.
Ya, aku adalah lelaki Bugis yang menganut filosofi air. Teringat pappaseng kakekku. “Engkau lelaki Bugis anakku. Orang Bugis itu identik dengan air. Air itu akan membentuk seperti tempatnya. Ditaruh di baskom membentuk baskom, ditaruh di bejana bundar membentuk bujana bundar, ditaruh di kolam bentuk segiempat membentuk kolam segiempat, ditaruh di tempat yang lonjong membentuk lonjong.” Meski begitu, tanah, air, angin, jagung, padi Bulukumba membentuk embrio tubuhku. Tubuh yang kemudian mengikuti jejak kisah orang-orang bugis, Pasompe.
---...
Rinduku kepada Bulukumba memang serupa anak kecil yang begitu merindu kepada ibunya. Bulukumba memang adalah ibuku, ibu pertiwiku. Aku menyusu dan tumbuh di sebuah kampung kecil Tibona di ibu pertiwi Bulukumba itu. Tentu saja sebagai anak yang terlahir dari rahim bunda pertiwi Bulukumba punya harapan-harapan kepada ibunya yang kian hari kian cantik nan menarik. Sayang, kulihat bunda pertiwiku Bulukumba kadang memandang sebelah mata pada kami anak-anaknya yang dengan semangat berdarah-darah memilih jalan sebagai sastrawan.
Akh! Aku kira bukan salah Bunda Bulukumba mengandung kami, pun bukan maksud Bunda Bulukumba memandang sebelah mata pada kami. Hanya saja Bapak yang mengawini Bunda lewat pesta demokrasi setiap lima tahun sekali tidak peka terhadap airmata Bunda Bulukumba yang sesungguhnya iba terhadap nasib anak-anaknya seperti kami.
Bukankah kami (para penulis) adalah duta-duta Bunda Bulukumba untuk memperkenalkannya pada dunia luar? Sayang sekali mata Bapak yang jalang hanya mementingkan dirinya sendiri, mementingkan kekuasannya sendiri. Semoga saja kali di tahun 2010, Bapak yang berhasil mengawini Bunda Bulukmba pada pesta demokrasi yang berlangsung dua putaran memberi kami “pena” dan “tinta” untuk terus menulis Bunda.
Sebenarnya kami bukanlah anak-anak yang cengeng yang hanya meluah hibah untuk mendapatkan hibah! Sama sekali bukan itu. Kami hanya butuh perhatian seperti anak-anak Bunda Bulukumba yang lain. Minimal Bapak yang mengawini Bunda Bulukumba kali ini memperhatikan kami. Bukan memperhatikan nasib kami.
Kami sudah bernasib baik. Tetapi memperhatikan dan mendukung kemajuan profesi kami. Akh! Tiba-tiba aku seperti mendengar Bapak bertanya, “Bagaimanakah cara kami memperhatikanmu anakku?” Aku sudah menyusun jawaban buat Bapak. “Tolonglah Pak, temani kami berkampanye BULUKUMBA KOTA SASTRAWAN. Ingat juga Bapak! Bagikanlah buku-buku karya kami pada masyarakat Bulukumba agar mereka juga mengetahui sastrwan-sastrawan yang dilahirkan dari rahim Bunda Bulukumba.”
Kajang, Selangor Malaysia, 22 Agustus 2010
Dul Abdul Rahman. Lahir di Desa Tibona, Kecamatan Bulukumpa, Kabupaten Bulukumba. Bekerja sebagai sastrawan, peneliti, dan dosen. Tulisan-tulisannya tersebar di media nasional dan lokal di Indonesia dan Malaysia.
Buku-buku sastranya yang sudah terbit:
Lebaran Kali Ini Hujan Turun (Kumpulan Cerpen, Makassar 2006);
Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Jogjakarta 2009);
Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Jogjakarta 2010);
Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Jogjakarta 2010).
Dua novelnya segera terbit di Jakarta dan Jogjakarta: Pohon-Pohon Meranggas dan Hutan Rindu.
Novelnya Pohon-Pohon Rindu sudah dijadikan rujukan penulisan skripsi oleh mahasiswa, sedangkan Daun-Daun Rindu dijadikan rujukan oleh seorang mahasiswa program doctor Universiti Malaya yang melakukan penelitian hubungan Indonesia-Malaysia (lebih spesifik hubungan Bugis-Melayu).
Alamat surat elektronik: dulabdul@gmail.com
[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
-
IKAN DUYUNG. Jumaning (60), membersihkan tubuh ikan duyung yang ditemuinya di tepi pantai saat mencuci bentang (tali rumput laut) di pesi...
-
Andi Sultan Daeng Radja bersama tujuh orang lainnya telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui Surat Keputusan Presiden RI (Sus...
-
BUNDARAN PHINISI. Kabupaten Bulukumba yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, terdiri atas 10 kecamatan dan 126 ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar