Minggu, 24 Oktober 2010

Bumi Panrita Lopi di Tana Beru

Bumi Panrita Lopi di Tana Beru

Oleh : Susan Stephanie
(SULBAR & SULSEL)

23 Oktober 2010
http://aci.detik.com/read/2010/10/23/230526/1473253/1001/bumi-panritalopi-di-tana-beru


Keterangan gambar: Barisan Gading atau Tulang perahu yang jumlahnya bisa mencapai ratusan. (foto: susan stephanie/detik.com)


Ketika kecil, adakah yang pernah bercita-cita menjadi seorang pelaut tangguh?
Kalau iya, mungkin harus belajar dari suku Bugis di Sulawesi. Suku Bugis mempunyai sejarah panjang tersendiri yang patut dibanggakan oleh bangsa Indonesia. Pada jamannya, mereka berlayar ke seluruh pelosok nusantara untuk berdagang rempah-rempah, hasil bumi dan laut menggunakan Kapal Pinisi buatan mereka sendiri.

Perjalanan kali ini membawa kami ke Tana Beru di Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Di sinilah tempat berkumpulnya para Panritalopi, bahasa Bugis yang artinya Ahli Kapal.

Beberapa jenis kapal atau perahu yang dibuat di sini antara lain kapal nelayan, kapal penumpang, bahkan sampai kapal pesiar. Termasuk juga Kapal Pinisi kebanggaan masyarakat Bugis.

Harganya? Sebagai perbandingan, umumnya 1 kapal melayan kecil mencapai harga 65 juta rupiah. Peminatnya pun bukan hanya masyarakat lokal, tetapi juga mancanegara.



Keterangan gambar: Pian, yang bercita-cita menjadi polisi. (foto: susan stephanie/detik.com)


Dan di Tana Beru inilah, kami berkenalan dengan Pian. Seorang anak keturunan suku Bugis, yang tengah membantu ayah dan pamannya membuat sebuah kapal nelayan. Pian pun menjelaskan cara dan urutan dalam pembuatan kapal secara tradisional.

Bagian pertama yang dibuat adalah Lunas kapal, sebatang kayu memanjang di bagian bawah kapal, yang berguna untuk menjaga keseimbangan kapal ketika berlayar.
Lunas inilah yang menjadi ukuran patokan besar kecilnya sebuah kapal, semakin besar ukuran kapal, semakin panjang Lunas.

Yang berikutnya adalah Balok, terletak di atas Lunas, dan di Balok inilah biasanya mesin kapal dipasang. Setelah itu dibuatlah secara berurutan badan kapalnya, mulai dari Soting, Pengepe, dan Gading.

Semua bagian dari kapal ini disambung menggunakan pasak kayu, bukan paku besi, karena kayu tidak akan berkarat, melainkan akan memuai dan pada akhirnya menyatu dengan kapal secara keseluruhan.

Setelah kapal selesai dibangun, akan diadakan upacara dorong kapal di Tana Beru ini, tetapi sayang sekali kami tidak berkesampatan untuk menyaksikannya sendiri. Proses pembuatan kapal ini memakan waktu yang berbeda-beda, tergantung pada ketersediaan bahan dan juga dana.

Jika tidak ada halangan dalam pembuatan dan dengan jumlah pekerja yang cukup, 1 kapal nelayan kecil dapat selesai dalam jangka waktu 3-4 minggu.

Pian yang sangat fasih menjelaskan seluk beluk pembuatan kapal ini, ternyata sudah membantu membuat kapal sejak masih kelas 5 SD. Sekarang Pian sudah kelas 2 SMU. Menjadi polisi adalah cita-cita pertama Pian, yang kedua ingin kuliah jurusan perikanan di UnHas (Universitas Hassanudin). Ketika ditanya kenapa ingin menjadi polisi, Pian hanya tertawa ringan.



Keterangan gambar: Perahu nelayan yang tengah dibuat oleh Pian bersama keluarganya. (foto: susan stephanie/detik.com)


Pastinya jadi pelaut ataupun polisi, suku Bugis adalah suku yang tangguh.
Dan tahukah bahwa ternyata istilah bahasa Inggris Boogeyman itu awalnya diberikan oleh bangsa Eropa kepada orang-orang Bugis karena ketangguhan mereka selama berlayar di laut lepas.

Jadi kalau teman-teman mau bertemu dengan The Real Boogeyman dan melihat langsung pembuatan Kapal Pinisi, datanglah ke Tana Beru di Bulukumba, Sulawesi Selatan.


[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]

Tidak ada komentar: