Senin, 18 Oktober 2010

Darah Ambon di Antara Bugis dan Pinisi



NOVEL BUGIS. Perempuan itu bernama Jacqueline Tuwanakotta. Dia asli Ambon, Maluku. Sudah sebulan lebih dia di Makassar untuk merampungkan novel yang ditulisnya sejak setahun lalu. Meski bukan asli Sulsel, namun memilih menulis novel mengenai budaya Bugis. Novel itu diberi judul "Bugisku Tak Sekadar Pinisi". (Foto: harian Fajar)

------------------

Jac, Pramugari Garuda Penulis Novel
- Darah Ambon di Antara Bugis dan Pinisi


Harian Fajar, Makassar
Jumat, 8 Oktober 2010
http://news.fajar.co.id/read/106823/127/darah-ambon-di-antara-bugis-dan-pinisi

BAGAIMANA "wajah" Bugis dalam sebuah novel? Nantikan.

SESOSOK perempuan bertubuh tinggi dan berwajah manis dengan rambut ikalnya diikat, berkunjung di Redaksi FAJAR di lantai empat Fajar Graha Pena, Rabu, 6 Oktober. Dia bukan perempuan biasa.

Perempuan itu bernama Jacqueline Tuwanakotta. Dia asli Ambon, Maluku. Sudah sebulan lebih dia di Makassar untuk merampungkan novel yang ditulisnya sejak setahun lalu. Meski bukan asli Sulsel, namun memilih menulis novel mengenai budaya Bugis.

Novel itu diberi judul "Bugisku Tak Sekadar Pinisi", yang rencananya akan diluncurkan 12 November mendatang di Kampus Unhas. Namun siapa sangka, Jacqueline yang akrab disapa Jac ternyata bukan berlatar belakang seorang penulis.

Profesinya adalah pramugari pesawat Garuda. Sudah 15 tahun Jac menekuni profesi yang telah membawanya keliling Indonesia dan dunia ini. Rupanya, syndrome jenuh juga menghinggapinya sehingga memilih beralih profesi sebagai penulis novel.

"Saya memang asli Ambon tetapi lebih tertarik menulis novel tentang kebudayaan Bugis. Sebab, di Indonesia hanya ada dua daerah yang kebudayaannya diakui dunia sangat unik dan tua yakni Bugis dan Batak," papar Jac.

Dalam novel setebal 200 halaman itu, Jac lebih banyak mengupas tentang pesan yang terkandung dalam epos I La Galigo. Tak hanya itu, Jac juga banyak menceritakan tentang kehebatan perahu pinisi yang menjelajahi dunia. Padahal, perahu tradisional tersebut tidak menggunakan paku, melainkan pacak sebagai alat untuk merekatkan kayu sebagai bahan utama perahu.

"Daya tarik lainnya bagi saya sehingga banyak bercerita soal pinisi, karena ternyata pinisi ini dibuat oleh orang Lemo, Bulukumba. Sementara yang menggunakan perahu tersebut adalah Sawerigading yang berasal dari Luwu," sebut Jac.

Agar novel yang ditulisnya lebih mengena di hati para pembaca novel di daerah ini, Jac mengaku sempat menetap di Tanjung Bira, Bulukumba, selama sepekan. Dia lebih banyak bergaul dengan nelayan guna melengkapi referensi novelnya.

"Tak hanya di Bira, saya juga sempat masuk ke kawasan Ammatoa Kajang. Untuk merampungkan novel tersebut, saya butuh waktu satu setengah tahun. Sebab, menulis novel tentang Bugis ini cukup sulit," ungkap dia.

Ke depan, Jac mengaku akan lebih serius menggeluti bidang menulis ini dan berencana membuat novel lagi tentang kebudayaan daerah lainnya di Indonesia. Konsekuensinya dia lebih memilih melepaskan pekerjannya sebagai pramugari Garuda yang sudah digelutinya selama 15 tahun.

"Saya ingin generasi muda tahu budaya kita, lewat novel yang saya buat. Menulis ternyata sebuah profesi yang sangat menarik bagi saya," tegas Jac. (ramah@fajar.co.id)


[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]

Tidak ada komentar: