Penulis bersama mantan Wapres Jusuf Kalla. -- Tidak adanya visi bersama masyarakat membuat kondisi ini semakin parah, sehingga jika kembali dianalogikan dengan berlayar maka mungkin saja hari ini Bulukumba masih berlayar namun tujuan akhir menuju pulau pengharapan yang dinantikan sepertinya masih mengawang-awang. Hal ini terjadi karena visi yang selalu berubah-ubah di setiap periodenya, modelnya tidak lagi untuk jangka panjang yang mampu dijadikan acuan oleh generasi pelanjut.
Bulukumba Masihkah Berlayar?
(Catatan Hari Jadi ke-51 Kabupaten Bulukumba)
Oleh: Darul Syahdanul
(Sabtu, 5 Februari 2011, http://civilresearch.blogspot.com/2011/02/bulukumba-masihkah-berlayar-catatan.html)
Berawal dari peristiwa perang saudara antara dua kerajaan besar di Sulawesi, yaitu Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone yang memperebutkan wilayah kekuasaan pada bagian selatan Sulawesi Selatan.
Kemudian tercetuslah kalimat dalam bahasa Bugis "Bulu'kumupa" yang kemudian pada tingkatan dialek tertentu mengalami perubahan proses bunyi menjadi "Bulukumba". Konon sejak itulah nama Bulukumba mulai ada dan hingga saat ini resmi menjadi sebuah kabupaten.
Peresmian Bulukumba menjadi sebuah nama kabupaten dimulai dari terbitnya Undang–Undang Nomor 29 Tahun 1959, tentang Pembentukan Daerah–daerah Tingkat II di Sulawesi yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 5 Tahun 1978, tentang Lambang Daerah.
Akhirnya setelah dilakukan seminar sehari pada tanggal 28 Maret 1994 dengan narasumber Prof. Dr. H. Ahmad Mattulada (ahli sejarah dan budaya), maka ditetapkanlah hari jadi Kabupaten Bulukumba, yaitu tanggal 4 Februari 1960 melalui Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1994.
Secara yuridis formal, Kabupaten Bulukumba resmi menjadi daerah tingkat II setelah ditetapkan Lambang Daerah Kabupaten Bulukumba oleh DPRD Kabupaten Bulukumba pada tanggal 4 Februari 1960 dan selanjutnya dilakukan pelantikan bupati pertama, yaitu Andi Patarai pada tanggal 12 Februari 1960.
Bulukumba yang berjarak sekitar 150 km arah selatan kota Makassar. Kabupaten dengan jumlah penduduk 394.757 jiwa (Badan Pusat Statistik (BPS) Bulukumba, 2010) dan memiliki luas wilayah 1.154,67 Km², sebuah kabupaten yang memiliki karakteristik wilayah yang lengkap.
Pada bagian selatan hingga utara kabupaten ini, kita dapat menemui pantai dan laut lepas yang membentang sepanjang 164 km yang membentuk setengah lingkaran mulai dari perbatasan Kabupaten Bantaeng hingga perbatasan Kabupaten Sinjai, pada bagian timur berbukit-bukit dari batu cadas dan kapur, sedangkan pada bagian utara terdapat wilayah dataran tinggi yang bersentuhan langsung dengan pegunungan Lompobattang dan Bawakaraeng.
Dimensi wilayah yang lengkap tentunya secara otomatis menunjang semakin kayanya sumber daya alam suatu daerah. Sumber daya alam Kabupaten Bulukumba yang terdiri dari pertanian, perkebunan, kehutanan, tambang galian C dan berbagai jenis flora dan fauna serta pantai, laut, dan sungai yang merupakan potensi pengembangan obyek wisata. Hingga usianya yang ke-51, Bulukumba telah berbenah dan memaksimalkan potensi yang dimilikinya pada setiap periodenya.
Hingga usianya yang ke-51 Kabupaten ini telah dipimpin oleh 11 kepala daerah. Tentunya mereka yang telah memimpin, memiliki history ataupun kenangan yang dapat dinikmati masyarakat Bulukumba hingga saat ini.
Bulukumba dan Tetangga
Kabupaten Bulukumba saat ini dapat dikatakan telah jauh tertinggal dari tetangganya yaitu Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Sinjai.
Tertinggal dari segi ekonomi, penataan wilayah, maksimalisasi potensi sumber daya alam hingga dinamika politik. Piala Adipura dapat dijadikan salah satu indikator untuk mengukur ketertinggalan tersebut, kedua tetangganya telah berhasil menjaga kebersihan serta mengelola lingkungan perkotaannya hingga mendapat pengakuan dari pemerintah pusat.
Dan yang lebih miris lagi adalah penghargaan tersebut diraih pada saat butta panrita lopi (tanah pengrajin perahu) sedang melakukan pesta demokrasi, yaitu pada tahun 2010 yang lalu.
Mungkin saja saat itu para pejabat yang ada di Bulukumba sedang konsentrasi untuk merebut atau mempertahankan tahta, sehingga pemikiran untuk memperbaiki dan memajukan daerah hampir diabaikan.
Kenyataan tersebut tidak dapat kita tolak, karena demikianlah salah satu efek samping dari demokrasi yang baru tumbuh di seantero negeri ini. Selain itu beberapa tahun terakhir (kecuali tahun 2010) kabupaten ini hampir selalu diberi pinalty terkait dengan terlambatnya pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), kondisi ini disanyalir karena tidak harmonisnya hubungan antara legislatif dan eksekutif.
Carut marutnya iklim politik daerah ini beberapa tahun terakhir tentunya berimbas pada semua sektor, khususnya pada pembangunan dan pengembangan potensi daerah. Puncaknya pada PEMILUKADA tahun 2010, yang harus di selesaikan hingga tingkat Mahkamah Konstitusi.
Kondisi ini hampir terjadi pada seluruh Kabupaten/Kota di bumi pertiwi tercinta. Namun pertanyaanya kemudian, haruskah peristiwa seperti ini menghambat pembangunan daerah? Tentunya yang mampu menjawab adalah kita secara umum dan para penentu kebijakan di masing-masing daerah khususnya.
Hingga saat ini Kabupaten Sinjai telah sukses meraih beberapa penghargaan baik tingkat nasional maupun internasional. Misalnya, pada tahun 2009 Sinjai menjadi juara III nasional versi Asian Development Bank (ADB) dalam hal peningkatan ruas jalan hingga ke pelosok desa, Human Development Index (HDI) Sinjai pada posisi tiga nasional, sesuai hasil publikasi WHO.
HDI Sinjai melampaui seluruh kabupaten/kota di KTI dan hanya beda tipis dari Kabupaten Jembrana Bali, serta 42 penghargaan lainnya yang telah diraih selama kepemimpinan Rudiyanto Asapa di Kabupaten Sinjai (berbagai sumber).
Berpindah ke Kabupaten Bantaeng yang hingga saat ini dalam tahap penyelesaian empat mega proyek yaitu pembangunan Rumah Sakit Modern Bantaeng, fasilitas kesehatan berlantai delapan ini diharapkan menjadi rumah sakit rujukan di bagian selatan Sulsel. Pembangunan Pasar Modern Lambocca juga diharapkan selesai 2011.
Pembangunan pasar tersebut menggunakan dana APBN sebesar Rp 15 miliar. Sedang dua proyek lainnya yakni Marina Beach Korong Batu yang dilengkapi fasilitas rest area dan pembangunan rumah susun di kawasan pelabuhan Mattoanging merupakan proyek lanjutan yang masih akan diselesaikan dalam tahun 2011 ini. Mega proyek ini menjadi salah satu bagian dari The New Bantaeng, yang selalu didengungkan oleh HM Nurdin Abdullah sejak resmi memimpin untuk periode 2008-2013.
Selain itu, Kabupaten Bantaeng juga telah menerima penghargaan dari Badan Litbang Pertanian Indonesia atas inovasi mengembangkan pertanian pada tahun 2009, serta penghargaan lainnya yang menjadikan daerah ini semakin terpacu untuk maju (berbagai sumber).
Jika melihat gambaran di atas, Bulukumba tentunya harus banyak belajar dari kedua tetangganya khususnya dalam menata iklim politik yang begitu dinamis saat ini, terutama mereka para elit politik daerah ini. Amburadulnya pembahasan ABPD beberapa tahun belakangan ini yang berdampak sistemik pada semua sendi, baik kehidupan bermasyarakat, kondisi ekonomi, hingga pembangunan/pengembangan wilayah.
Saat ini, pesta demokrasi telah berlalu yang ditandai dengan dilantiknya Zainuddin Hasan – Syamsuddin (ZAIDIN) sebagai Bupati dan Wakil Bupati Bulukumba Periode 2010-2015 pada medio November 2010 yang lalu.
Berbagai harapan masyarakat Bulukumba kini ada dipundak keduanya, paling tidak Kabupaten Bulukumba nantinya mampu sejajar dengan kedua tetangganya atau bahkan mungkin mampu meraih prestasi yang luar biasa. Semoga saja harapan ini dapat terealisasi di tangan dingin pasangan ini yang diperoleh setelah masyarakat Bulukumba menggelontorkan dana kurang lebih 14 Milyar.
Bulukumba Berlayar
Di pusat kota (Bundaran Pinisi) kita bisa menjumpai sebuah replica perahu Pinisi yang moncongnya mengarah ke Barat Daya. Pada bagian moncong tersebut kita dapat melihat sebuah tulisan dari huruf lontara yang berbunyi Mali’ Siparappe, Tallang Sipahua.
Tulisan tersebut merupakan sebuah prinsip mendasar yang lahir dari sebuah paradigma kesejarahan, kebudayaan, dan keagamaan dimana mampu memberikan nuansa moralitas dalam sistem pemerintahan yang dalam tatanan tertentu menjadi etika bagi struktur kehidupan masyarakat.
Ungkapan tersebut berasal dari dua dialek yaitu Bugis-Makassar, yang jika ditelisik secara historis maka hal tersebut merupakan gambaran sikap masyarakat Bulukumba yang mengemban amant persatuan untuk mencapai tujuan bersama, khususnya dalam hal pembangunan.
Kemudian, nuansa moralitas tersebut yang menjadi dasar dilahirkannya slogan “Bulukumba Berlayar” yang merupakan akronim dari Bersih Lingkungan Alam Yang Ramah.
Menurut Patabai Pabokori, filosofi yang terkandung dalam slogan tersebut dilihat dari tiga sisi pijakan yaitu sejarah, kebudayaan dan keagamaan. Setelah disosialisasikan selama kurang lebih dua tahun disetiap sudut kota dan daerah lain pada umumnya, akhirnya pada tahun 1996 disepakati penggunaannya sebagai konsepsi moral pembangunan lahir batin.
Kemudian secara harfiah, “berlayar” merupakan sebuah proses perjalanan untuk mencapai sebuah tujuan. Berbicara tentang pelayaran, tentunya tidak lepas dari peran seorang nakhoda yang handal.
Jika Bulukumba diibaratkan sebuah perahu Pinisi, maka saat ini yang memegang kendali terhadap tujuan pelayaran tersebut adalah Zainuddin Hasan Bupati terpilih untuk periode 2010-2015.
Berbagai macam janji telah dilontarkan pasangan ZAIDIN pada masa kampanye yang lalu, janji yang diumbarkan memunculkan ekspektasi yang tinggi bagi masyarakat Bulukumba. Sekedar mengingatkan, beberapa poin yang menjadi bahan jualan kampanye pasangan ini adalah menjadikan Bulukumba menjadi daerah mandiri, menghidupkan kembali penegakan syariat Islam, serta pembangunan beberapa mega proyek seperti waterfront city, dan menara/kantor pemerintahan dengan sisrtem satu atap yang kemudian dirangkum menjadi membangun desa, menata kota melalui kemandirian lokal yang bernafaskan keagamaan sebuah visi Bulukumba 2010-2015.
Namun, yang menjadi pertanyaan dan mungkin semua daerah yang berganti pemimpinnya adalah bagaimana keberlanjutan program yang lalu, sedang dan akan berlanjut nantinya. Sudah lazim terjadi ganti rezim ganti pula kebijakan. Tidak adanya visi bersama masyarakat membuat kondisi ini semakin parah, sehingga jika kembali dianalogikan dengan berlayar maka mungkin saja hari ini Bulukumba masih berlayar namun tujuan akhir menuju pulau pengharapan yang dinantikan sepertinya masih mengawang-awang. Hal ini terjadi karena visi yang selalu berubah-ubah di setiap periodenya, modelnya tidak lagi untuk jangka panjang yang mampu dijadikan acuan oleh generasi pelanjut.
Bukan untuk mengkakukan program kerja pemerintahan, tetapi di usianya yang telah lebih dari setengah abad idealnya semua elemen masyarakat dilibatkan untuk merumuskan visi Bulukumba 50 tahun kedepan misalnya. Sehingga, yang muda dan yang tua menjadi sinergis untuk mewujudkan visi tersebut tentunya dengan misi yang kreatif sesuai dengan masanya nanti.
Sinergitas semua elemen masyarakat tentunya akan mendukung setiap program apapun, yang memiliki tujuan akhir untuk mencapai visi tersebut.
Jika hal ini terwujud maka suatu saat nanti masing-masing dari masyarakat Bulukumba secara individu akan mengerti dan memahami apa yang harus dilakukan selama bersama-sama melakukan pelayaran menuju pulau pengharapan, tanpa diberikan aba-abapun mereka mampu menyadari kapan melepas atau menarik jangkar, kapan bahu-membahu membentangkan layar, dan hal-hal lain untuk mewujudkan cita-cita bersama menuju pulau pengharapan (visi) yang dinantikan bersama.
Semoga tanda-tanda untuk menuju kesana mulai dicanangkan di usianya yang ke-51. Hingga suatu saat siapapun yang memimpin, harapan untuk mencapai visi bersama tak pernah redup semangat kebersamaan dalam prinsip Mali’ Siparappe, Tallang Sipahua tetap tegar di tengah hantaman gelombang modernisasi yang perlahan mulai mengikis sendi-sendi lokalitas Butta Panrita Lopi. Selamat Ulang Tahun.....
[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]
1 komentar:
terima kasih kanda...
semoga tulisan ini bermanfaat untuk bulukumba....
salam blogging.... :)
Posting Komentar