Sabtu, 17 Desember 2011
Kejari Bulukumba Diduga Miliki Oknum Jaksa-jaksa "Nakal"
Di Bulukumba misalnya, Kejaksaan Negeri diduga memiliki oknum jaksa-jaksa "nakal" yang menilai hukum dengan lembaran-lembaran rupiah. Praktik mafia yang terjadi adalah dengan memperjualbelikan hukum, bahkan diwarnai tawar menawar "harga" antara oknum jaksa dengan terdakwa.(Karikatur: Ata/Fajar)
-----------------------
Menukar Pasal Hukum dengan Rupiah
- Kejari Bulukumba Diduga Miliki Oknum Jaksa-jaksa "Nakal"
Senin, 31 Oktober 2011
http://www.fajar.co.id/read-20111031001926-menukar-pasal-hukum-dengan-rupiah
PENEGAKAN hukum yang ideal tampaknya masih jauh panggang dari api. Betapa tidak, praktik tidak simpatik yang diduga dilakukan institusi penegak hukum masih seringkali ditemukan. Tidak terkecuali oknum di korps adiyaksa yang notabene pengacara negara justru disebut-sebut ikut dalam merusak tatanan hukum di Indonesia.
Parahnya lagi, persoalan ini sudah menjalar hingga ke daerah. Di Bulukumba misalnya, Kejaksaan Negeri diduga memiliki oknum jaksa-jaksa "nakal" yang menilai hukum dengan lembaran-lembaran rupiah.
Praktik mafia yang terjadi adalah dengan memperjualbelikan hukum, bahkan diwarnai tawar menawar "harga" antara oknum jaksa dengan terdakwa. Akad yang terjalin pun kemudian dibarter dengan ancaman hukuman atau dengan mengurangi tuntutan. Tuntutan tersebut, kemudian dikawal hingga pada tingkat persidangan untuk memastikan apa yang sudah disepakati tidak melenceng pada saat vonis dibacakan.
Pada umumnya, para jaksa mengetahui atau meminta alamat rumah dan nomor telepon keluarga terdekat terdakwa yang bisa dihubungi, sementara terdakwanya ditahan. Dengan demikian jaksa bisa mendatangi rumah terdakwa atau keluarganya guna mengukur kemampuan keluarga terdakwa atau meminta keluarga terdekat terdakwa datang di kantor kejaksaan menemuinya atau mengadakan perjanjian pertemuan di suatu tempat dengan dalih akan membantu.
Salah seorang sumber yang mengaku sudah bertemu dengan puluhan narapidana atau mantan narapidana menyebutkan bahwa praktik kotor jaksa adalah benar dan sungguh terjadi. Hanya saja, sumber yang mengaku siap mempertanggungjawabkan data tersebut mengatakan bahwa pada dasarnya jaksa cenderung berani bermain untuk kasus-kasus kecil seperti, pencurian (362-264 KUHP), penganiayaan (351-356 KUHP), perjudian (303 KUHP) atau dalam kesusilaan (281-297 KUHP).
Untuk kasus besar yang menjadi perhatian publik, khususnya yang diancaman dengan hukuman berat, oknum jaksa tidak berani bermain pada awal-awal proses berjalan. Kendati demikian, setelah diulur prosesnya sampai tahunan dan sudah dilupakan masyarakat, barulah oknum jaksa berani bermain dengan perkara tersebut, semisal perkara korupsi dan perkara pembunuhan.
Dalam menjalankan aksinya, oknum jaksa berani berhubungan dengan keluarga terdekat terdakwa yaitu (istri/ suami terdakwa, bapak/ibu terdakwa, anak/saudara terdakwa ). Oknum jaksa tersebut, bahkan harus membangun komunikasi dengan hakim untuk memuluskan praktik ini. Akibatnya, dari permainan ini, putusan bisa berubah, bergantung kesepakatan harga. Sumber FAJAR, bahkan menyebutkan bahwa oknum jaksa menggunakan kode tertentu untuk memastikan jika sudah ada uang yang masuk atau tidak.
"Makanya, pada berkas putusan ditulis tangan dengan tulisan tangan yang sebelumnya pada berkas putusan dikosongkan. Kalau tidak ada kesanggupan dana masuk, maka putusan dikuatkan sesuai tuntutan jaksa," kata sumber tersebut belum lama ini.
Selain itu, lanjut sumber tersebut oknum jaksa biasanya menyarankan kepada terdakwa untuk tidak mengambil pengacara, karena ditakutkan akan merepotkan di persidangan. Terdakwa kemudian dijanji akan dibantu. Kalaupun terdakwa ingin didampingi pengacara, maka oknum jaksa mengarahkan pada pengacara tertentu.
"Itu sebabnya, jaksa akan marah pada terdakwa jika mengambil pengacara dari luar karena tidak jarang beradu argumen dalam persidangan," kata dia..
Beberapa nama jaksa yang oleh sumber FAJAR menduganya memainkan praktik tidak sehat di Kejari Bulukumba itu, masing-masing berinisial, MR , ID, TB, RS, WT, RN, JP, HS, TF , dan SR (Inisial ini jauh dari nama sebenarnya. Inisial digunakan hanya untuk membedakan penyebutan oknum yang satu dengan lainnya dan untuk keperluan grafis. Kalau ada inisial yang mirip dengan nama seseorang, itu hanya kebetulan).
Besaran uang yang dibayarkan terdakwa pun bervariasi dari Rp 1 juta hingga Rp 75 juta. Bergantung dengan jenis perkara dan berat ringannya ancaman hukuman. Ada yang bahkan berhasil diputus bebas setelah ada kesepakatan harga.
Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum), Syahrul Juaksha membantah keras adanya tudingan ini. Dia bahkan menegaskan bahwa jika ada data yang dimiliki sumber tersebut dia memastikan adalah fitnah dan hanya ingin menjatuhkan institusi kejaksaan khususnya para jaksa yang bertugas di Bulukumba. Apalagi, menurut Syahrul, semua aktivitas jaksa terpantau dan sama sekali tidak ada kemungkinan jaksa melakukan perbuatan yang melabrak profesinya sendiri.
"Itu fitnah. Saya akan langsung laporkan orang yang menyebutkan hal ini dengan mencemarkan nama baik jaksa di Bulukumba. Ini adalah upaya di balik pihak-pihak yang berbuat tanpa bukti untuk menyudutkan kami. Saya tegaskan itu tidak benar dan sama sekali tidak ada. Sangat lucu kalau ada yang bilang begitu," timpal Syahrul.
Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus), Muhammad Ruslan Muin juga secara lantang membantah jika jaksa di Bulukumba sudah terlibat praktik tidak simpatik semacam itu. Dia bahkan balik menuding pihak terdakwa yang memohon kepada jaksa untuk dibantu agar tidak dikenakan sanksi yang terlalu berat. Dengan begitu, kata Ruslan, adalah hal yang aneh jika jaksa yang dikatakan sebagai pihak yang menjadi mafia hukum.
"Buat apa kami minta uang kepada mereka. Tidak pernah kami lakukan itu. Saya khawatir juga ini hanya upaya untuk membelenggu jaksa. Kalau begini caranya, ke depan jaksa akan ketakutan dalam bertindak karena hanya akan dijadikan target dengan difitnah. Apalagi dalam hal perkara korupsi," ujar Ruslan.
Adapun Kejari Bulukumba, Chaerul Fauzi dan jaksa lainnya yang ingin dikonfirmasi tidak bisa dilakukan. Kajari menolak memberikan komentar dan hanya meminta diwakilkan Kasi Pidum, Syahrul Juaksha. Kajari yang coba dikunjungi di rumah dinasnya pun tidak sempat ditemui karena saat wartawan datang, sudah meninggalkan rumah. Meskipun sebelumnya, jaksa Syahrul mengatakan, bahwa Kajari berada di Bulukumba. (tim)
[Terima kasih atas kunjungan dan komentar Anda di Blog Kabupaten Bulukumba - http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
-
IKAN DUYUNG. Jumaning (60), membersihkan tubuh ikan duyung yang ditemuinya di tepi pantai saat mencuci bentang (tali rumput laut) di pesi...
-
Andi Sultan Daeng Radja bersama tujuh orang lainnya telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui Surat Keputusan Presiden RI (Sus...
-
BUNDARAN PHINISI. Kabupaten Bulukumba yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, terdiri atas 10 kecamatan dan 126 ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar