Sabtu, 07 Januari 2012

Menguasai Bahari dengan Pinisi


PINISI. Suku Bugis-Makassar serta kisah pelaut Mandar dan Konjo di Sulawesi Selatan dikenal sebagai pelaut ulung. Mereka juga memiliki kapal tradisional yang terbuat dari kayu dengan dua tiang layar utama dan tujuh layar, yaitu tiga di ujung, dua di depan, dan dua di belakang. Itulah pinisi. (Foto: Lina Herlina)



Menguasai Bahari dengan Pinisi

Rabu, 28 Desember 2011 08:02 WIB    
http://www.mediaindonesia.com/read/2011/12/28/287454/290/101/Menguasai-Bahari-dengan-Pinisi

BASO tampak serius melihat anak buahnya sedang mengukur kayu yang dipakai untuk lambung kapal. Beberapa orang lainnya menggergaji kayu untuk membuat tiang layar. Kesibukan semacam itu sangat umum dijumpai di tempat kerja Haji Baso Muslim, seorang pengusaha kapal tradisional pinisi di Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Di beberapa tempat, kesibukan membuat pinisi bahkan telah menyatu dalam kehidupan masyarakat Bulukumba.

Suku Bugis-Makassar serta kisah pelaut Mandar dan Konjo di Sulawesi Selatan dikenal sebagai pelaut ulung. Mereka juga memiliki kapal tradisional yang terbuat dari kayu dengan dua tiang layar utama dan tujuh layar, yaitu tiga di ujung, dua di depan, dan dua di belakang. Itulah pinisi.

Tanggal 8 November lalu masuk sejarah pembuatan pinisi karena telah diluncurkan pinisi berukuran 10 meter x 50 meter, kedalaman 5 meter, dan berat 400 ton. Tonasenya 700 ton serta memiliki tiga dek/tingkat.

Pada tanggal tersebut pinisi besar itu memulai pelayaran perdana. Seorang pengusaha dari Polandia bernama Mister Robin telah memesan pinisi kepada Baso Muslim senilai Rp 4 miliar. Pengerjaan kapal membutuhkan waktu sembilan bulan dan 13 perajin. Baso Muslim menerangkan pinisi ukuran besar itu sudah dibuat sejak Oktober 2010.

"Bentuknya murni pinisi meski oleh pemesan rencananya akan dijadikan kapal wisata," jelas Baso.

Jauh sebelumnya sekitar 1999, Baso pernah membuat pinisi pesanan orang Jepang dengan ukuran 15 meter x 45 meter, dan tonase 1.000 ton.

"Sayangnya kapal tersebut tidak sempat melaut karena kontraknya batal. Alasannya yayasan yang memesan kapal tersebut bangkrut sehingga kapalnya dibongkar," kenang Baso.

Awalnya Baso ialah penjual bahan bangunan. Pekerjaan itu ditekuni sampai 1991. Ia berpindah profesi sebagai pembuat pinisi mengikuti jejak orangtuanya.

Hingga sekarang dia sudah membuat lebih dari 200 pinisi dengan berbagai ukuran. Pemesannya pun datang dari dalam dan luar negeri. Pinisi buatan Baso sudah dipesan pengusaha Belanda, Amerika, Prancis, Singapura, Malaysia, Spanyol, Jepang, Italia, dan Jerman.

"Sekarang kami sedang mengerjakan kapal pesanan dari orang Australia, Jerman, Italia, dan Belanda dengan ukuran yang berbeda-beda, mulai tonase kecil hingga sedang. Bentuknya juga sudah dimodifikasi sesuai permintaan pemesan," tambahnya.

Harganya pun bervariasi, mulai Rp 270 juta untuk ukuran kecil hingga Rp 2 miliar untuk ukuran sedang. Diakui Baso, hampir semua pelanggannya berasal dari luar negeri. Pemesan dalam negeri sangat sedikit.

"Kalaupun ada, mereka tidak memesan pinisi. Mereka pesan kapal nelayan," terangnya.

Pemesan dari luar negeri biasanya orang yang pernah berkunjung ke Sulawesi Selatan.

"Ada dari pemerintahan, pengusaha, maupun wisatawan."

Banyaknya pemesan dari luar negeri tidak berarti mereka menutup diri terhadap pelanggan dari dalam negeri. Para pelaku industri pinisi di Bulukumba masih sering menerima pesanan kapal dari Papua, Maluku, Jawa, Sumatra, dan Sulawesi sendiri. Selain kapal pesiar dan kapal pribadi, ada juga yang memesan kapal untuk dijual kembali.

Pembuatan pinisi tidak menggunakan kayu sembarangan. Dibutuhkan beberapa jenis kayu khusus seperti kayu besi, bitti, jati, ulin, nyamplong/pude, meranti, dan kandole.

Kayu besi dan bitti digunakan sebagai badan kapal. Jati dan ulin digunakan untuk pembuatan dek dan kamar-kamar di kapal, pude untuk tulang atau tiang-tiang, meranti untuk perabot seperti meja dan bangku, serta kayu kandole untuk pembuatan pasak.

Sayangnya, menurut Baso, kayu-kayu tersebut sekarang agak susah diperoleh.

Kayu besi, misalnya, harus mereka pesan dari Sulawesi Tenggara, jati dari Kabupaten Sinjai, dan ulin dari Kalimantan.

Tidak hanya itu, para perajin kapal di Bulukumba juga mengaku kesulitan memperoleh kayu yang berukuran besar.

"Dulu sebenarnya, dalam pembuatan pinisi harus menggunakan tujuh macam atau jenis kayu, tapi sekarang sudah tidak menggunakan tradisi tersebut. Sekarang sesuai dengan orderan dan permintaan pemilik atau pemesan kapal," ungkap Baso.

Alasannya sekarang ini industri pinisi tidak seperti dulu lagi. Di Pantai Panrang Luhu, Desa Bira, Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, kini hanya tersisa dia yang menjalankan bisnis pinisi.

Sebaliknya di Desa Tana Beru, masih ada beberapa orang yang melakoni industri pembuatan pinisi. Salah satunya ialah Arwin yang memiliki anak buah 18 orang, dan mayoritas berasal dari Desa Ara.

Masih banyaknya orang di Tana Beru menjalani bisnis pinisi sesuai dengan legenda yang berkembang turun-temurun. Legenda menyebutkan di situlah sumber atau awal lahirnya keahlian membuat pinisi.

"Hanya, di Tana Beru mereka tidak membuat kapal dengan tonase besar karena alasan kedalaman pantai," jelas Baso.

Dia pun terkenang kepada salah satu kawan sesama pengusaha pinisi bernama Abdullah yang bisa membuat kapal cukup besar. Namun, panjang kapal tidak bisa melebihi 39 meter karena pantai yang dangkal.

"Kalau pantai dangkal, akan sulit menurunkan kapal besar dan panjang ke laut," imbuhnya. (N-3)

[Terima kasih atas kunjungan dan komentar Anda di Blog Kabupaten Bulukumba - http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]

Tidak ada komentar: