Jumat, 01 Oktober 2010

Kajang : Potret Suku Terasing di Kabupaten Bulukumba


"Suara alam adalah suara Tuhan" merupakan pedoman warga Suku Kajang yang tinggal di pedalaman Bulukumba, Sulawesi Selatan, dalam memilih pemimpin adat mereka. Kepercayaan ini membuat seorang pemimpin adat yang kerap disebut Ammatowa sebagai orang suci.


-------------------------------------

Kajang : Potret Suku Terasing di Kabupaten Bulukumba

Liputan : Medi Trianto dan Surnata
http://www.indosiar.com/ragam/39110/kajang--potret-suku-terasing
4 Desember 2002

indosiar.com, Sulawesi Selatan - "Suara alam adalah suara Tuhan" merupakan pedoman warga Suku Kajang yang tinggal di pedalaman Bulukumba, Sulawesi Selatan, dalam memilih pemimpin adat mereka. Kepercayaan ini membuat seorang pemimpin adat yang kerap disebut Ammatowa sebagai orang suci.

Dalam memegang tampuk kepemimpinan ini Ammatowa memilih lima orang pemuka adat untuk menjalankan roda pemerintahan. Kelima pemimpin tersebut diangkat oleh Ammatowa dengan suatu perjanjian, di saat alam tidak bersahabat seperti matinya tanaman dan hewan atau bencana alam, kelima pemuka adat harus rela melepas jabatannya.



Keterangan gambar: Mantan Kepala Desa Tana Toa yang kini anggota DPRD Bulukumba, Abdul Kahar Muslim.


Untuk memasuki kawasan adat Ammatowa, tempat Suku Kajang tinggal, seluruh warga harus melewati pos penjagaan. Di pos ini ketentuan adat mulai berlaku. Semua orang termasuk tamu, harus mengenakan pakaian adat atau pakaian serba hitam. Pos ini juga merupakan simbol mulai berlakunya hukum adat Masyarakat Kajang. Hukum adat ini berpedoman pada kitab wasiat Masyarakat Kajang yang masih dipegang teguh. Sehingga segala macam bentuk peradaban diluar kawasan tidak akan pernah mereka terima.

Masih berlakunya hukum peninggalan leluhur ini membuat Kawasan Adat Ammatowa tidak pernah berubah sejak pertama kali didirikan. Jalan tanah sepanjang 5 kilometer menuju desa masih tetap bertahan tanpa perubahan yang berarti. Bahkan rumah-rumah adat yang terbuat dari kayu masih berdiri tegak dengan arah membelakangi hutan adapt. Ruang tambahan yang terletak di belakang rumah juga masih ada sebagai simbol memiliki anak gadis.





Asrinya suasana di kawasan adat ini tercipta karena pemimpin adat atau Ammatowa yang dibantu lima pemuka adat, secara keras menjalankan peraturan adat. Bahkan kerasnya Ammatowa dalam menjalankan peraturan ini dapat dilihat dari rumah milik orang yang dianggap suci tersebut. Rumah pemimpin adat merupakan rumah terjelek. Dindingnya hanya terbuat dari bambu. Sedangkan lima pemuka adat lainnya memiliki rumah lebih baik dari Ammatowa. Namun dalam melaksanakan kepemimpinannya, lima pemimpin adat ini dikenakan kontrak sosial. Mereka dapat dihentikan dari jabatannya jika berbuat kesalahan yang dapat dilihat dari gejala alam.

Di bawah kepemimpinan Ammatowa dan kelima pemuka adat, kebiasaan-kebiasaan leluhur tetap dijalankan. Justru dengan kebiasaan ini swasembada segala faktor kehidupan dapat terus berjalan. Menurut kepala desa, salah satu kebiasaan yang harus dijalankan adalah kewajiban seorang wanita membuat pakaian untuk anggota keluarganya.





Membuat pakaian merupakan syarat bagi seorang wanita untuk dapat melangsungkan pernikahan. Sehingga dalam kehidupannya wanita tanpa keahlian membuat pakaian, tidak dapat menikah. Pembuatan pakaian ini dilakukan secara tradisional, mulai dari pembuatan benang, proses pewarnaan hingga menenunnya menjadi selembar kain.

Dalam kehidupan Masyarakat Kajang, kaum wanita diwajibkan bisa membuat kain dan memasak. Sedangkan kaum pria diwajibkan untuk bekerja di ladang dan membuat perlengkapan rumah dari kayu. Keahlian membuat perlengkapan dari kayu ini juga merupakan kewajiban bagi kaum pria untuk berumah tangga.

Luasnya sawah milik warga Suku Kajang yang terletak jauh dari tempat tinggal merupakan suatu anugrah tersendiri. Dengan luasnya sawah yang menghasilkan berton-ton padi setiap tahun, warga Suku Kajang selalu terhindar dari bahaya kelaparan. Anugrah ini sangat disyukuri oleh segenap warga. Sehingga setiap usai panen mereka selalu menggelar upacara adat yang bertujuan sebagai ucapan terima kasih kepada Sang Pencipta. Upacara adat yang disebut Rumatang ini dipimpin langsung oleh Ammatowa.

Di sawah milik Ammatowa ini persiapan upacara Rumatang mulai dilakukan sejak pagi hari. Saat itu kaum wanita telah datang dan mulai memasak makanan di bawah gubuk milik Ammatowa. Berbagai jenis makanan khas Suku Kajang mulai dipersiapkan untuk keperluan upacara adat dan makan siang bersama.

Persiapan di tepi sawah ini dipimpin oleh seorang wanita tua yang telah mengetahui jenis makanan yang harus dipersiapkan untuk sesaji. Dibawah petunjuknya, kaum wanita mulai memasak berbagai jenis makanan, termasuk nasi dengan empat warna.





Di saat kaum wanita sibuk mempersiapkan sesaji, kaum pria juga mulai mengikat padi hasil panen mereka menjadi ikatan-ikatan besar. Usai diikat, padi hasil panen ini dijemur di bawah terik matahari.

Tengah hari, merupakan pertanda upacara harus dilangsungkan. Sebelum memulai upacara puncak, warga Suku Kajang berkumpul dibawah bilik untuk makan siang bersama. Uniknya makan siang di tepi sawah ini mempunyai syarat tertentu. Nasi yang dipersiapkan harus dari beras hitam. Karena jenis beras inilah yang pertama kali dapat ditanam oleh leluhur mereka. Upacara makan siang dilanjutkan dengan meminum sejenis minuman keras khas Sulawesi Selatan yang disebut "ballo". Semua kaum pria wajib meminum ballo dari gelas yang sama sebagai simbol persaudaraan.





Usai makan siang, kaum pria ditugaskan untuk membawa padi yang telah diikat menuju ke desa mereka. Padi mereka bawa dengan menggunakan sebilah kayu. Mereka berjalan menyusuri pematang sawah dengan menempuh jarak sekitar 10 kilometer. Namun beban berat dan berjalan jauh tidak mereka rasakan karena rasa senang akan hasil panen yang berlimpah.

Setelah kaum pria kembali ke sawah, upacara "rumatang" yang mempunyai arti ucapan syukur kepada Maha Pencipta dimulai. Mereka berkumpul di bawah bilik untuk mengucapkan doa dan memberkati sesaji yang akan di persembahkan kepada Tuhan.

Delapan buah sesaji yang telah dipersiapkan mulai disusun di bilik di tepi sawah. Sesaji berupa nasi empat warna, lauk pauk, buah-buahan ini diberkati oleh Ammatowa dalam upacara Rumatang. Usai diberkati, sesajen ini dibawa oleh warga ke delapan tempat terpisah sesuai arah mata angin. ada yang diletakkan di sawah dan ada juga yang ditempatkan di sumber air. Peletakan sesaji ini bermakna hasil panen tidak hanya dinikmati oleh manusia saja. Melainkan tanah, angin dan semua unsur di bumi yang membantu panen berhasil, juga ikut merasakan hasilnya.

Rasa persaudaraan yang kuat diantara warga Suku Kajang membuat kerasnya peraturan yang diterapkan seolah sirna. Secara bersama-sama mereka berupaya melestarikan peraturan leluhurnya dengan hidup seolah mengasingkan diri dari dunia luar. Namun dalam keterasingannya itu, setiap warga hidup berbahagia tanpa pernah kekurangan kebutuhan sandang, pangan, maupun papan. Bahkan persediaan makanan mereka selalu berlimpah ruah sepanjang tahun. (ins)

Keterangan:
- Tulisan bergaya feature ini sebenarnya sudah lama dimuat di www.indosiar.com, yaitu pada 4 Desember 2002, tetapi saya kira tetap tidak ketinggalan untuk dibaca kapan saja, sehingga saya memutuskan memuat ulang di blog ini.



[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]

Tidak ada komentar: