Kamis, 30 September 2010
Ammatoa - Suku Kajang di Kabupaten Bulukumba
Ammatoa - Suku Kajang di Kabupaten Bulukumba
Oleh: Daeng Syamsoe
Sabtu, Maret 28, 2009
http://www.syamsoe.com/2009/03/ammatoa-suku-kajang-di-kab-bulukumba.html
Dapat libur sehari tanggal merah Nyepi 2009 kemaren, saya putuskan untuk mengisinya dengan pergi mengunjungi daerah wisata Desa Adat Ammatoa di Kabupaten Bulukumba. Semuanya serba dadakan dan tanpa perencanaan.
Jaraknya lumayan jauh jugalah dari Kabupaten Sinjai. Karena ingin menikmati perjalanan dan pemandangan sepanjang jalan, saya putuskan untuk naik angkot Saja. Dari Kabupaten Sinjai ke Pasar Tanete, Kabupaten Bulukumba dengan menempuh jarak kurang lebih sekitar 30 an Km.
Melalui jalan berbelok dan sedikit terjal. Ternyata berbaur bersama masyarakat dan beberapa ibu ibu yang baru pulang dari pasar diatas angkot seru juga. Mengingat ini kali pertama, beberapa informasi dari mereka sangat bermanfaat untuk membantu saya menuju kesana. Tiba di Pasar Tanete, saya kemudian naik trayek Balangriri - Kajang. Jaraknya kurang lebih sekitar 25 kiloanlah.
Keterangan gambar: Daeng Syamsoe foto di depan tugu selamat datang di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. (foto: dok. pribadi)
Kampung Balangriri. Sudah lama saya tidak kesini. Belum banyak perubahan di sana sini. Sejauh mata memandang yang tampak hanyalah ratusan hektar hamparan perkebunan karet serta beberapa pemukiman masyarakat setempat. Suasana begitu sejuk dan rindang. Berhubung ragu ragu, saya minta di antar oleh pak supir untuk bisa berhenti saja dulu di ex factory pengolahan karet mentah di area komplek pemukiman karyawan perkebunan London sumatera.
Keterangan gambar: Daeng Syamsoe foto di depan pintu gerbang kawasan adat Ammatoa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. (foto: dok. pribadi)
Untunglah kakak sepupu saya baru pulang dari kerja. Sehari hari pekerjaannya sebagai petugas harian mengontrol tenaga penyadap karet di area perkebunan karet PT. London Sumatera-Indonesia. Saya ajak kakak sepupu saya untuk ikut berpelesir sejenak ke Ammatoa. Ternyata penduduk asli tidak menjamin juga sering kesana. Kakak sepupu saya juga sedikit ragu-ragu. Karena takut mengecewakan saya, akhirnya kakak sepupu mengajak juga kedua temannya. Kata kakak, Utta Solahuddin ini mempunyai hubungan kekeluargaan dengan salah satu pemangku adat desa. Wah, Pucuk di cinta ulam tiba. Berbekal 2 sepeda motor butut lapangan keluaran tahun 70-an yang masih layak pakai, akhirnya kami berempat pun goes to Desa Adat.
Keterangan gambar: Jalan dusun di kawasan adat Ammatoa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. (foto: daeng syamsoe)
Terus terang saya memang penasaran dan belum pernah menginjakkan kaki di tanah Toa- Kecamatan Kajang. Meski Bapak saya Asli Putra Daerah Bulukumba, seingat saya sewaktu kecil terkadang bapak hanya membawa saya berjalan jalan mengitari kebun karet dan tidak sampai ke sana. Hutan Karet dalam gambaran masa kecil saya sangatlah indah.
Dahulu, kami sering melihat beberapa ekor monyet kecil berlarian di antara rimbunnya pohon karet. Sekali waktu juga jika liburan SD tiba, saya sering diajak oleh paman (adik bapak) yang memang tinggal di dusun Mattoanging sebelah perkebunan berkeliling berjalan kaki sekedar untuk pergi berburu burung hutan di dekat sungai di tengah hutan karet. Sekarang beliau sudah lama pensiun sebagai mandor buruh penyadap karet.
Menurut beberapa referensi yang saya baca, Masyarakat adat Ammatoa tinggal berkelompok dalam suatu area hutan yang luasnya sekitar 50 km. Mereka menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal moderenisasi, kegiatan ekonomi dan pemerintahan Kabupaten Bulukumba. Mungkin disebabkan oleh hubungan masyarakat adat dengan lingkungan hutannya yang selalu bersandar pada pandangan hidup adat yang mereka yakini.
Dari daerah Balangriri jalan kebun karet. Banyak mobil yang lalu lalang. Tetapi jika ingin ke desa adat sebaiknya menggunakan kendaraan karena belum ada sarana langsung yang bisa mengantar kesana. Kita mungkin bisa meminta bantuan dari peduduk setempat atau menyewa masyarakat yang bisa di jadikan sebagai tukang ojek dadakan. Atau kemungkinan terakhir adalah dengan berjalan kaki untuk sampai di pintu gerbang desa Adat.
Keterangan gambar: Daeng Syamsoe foto di depan baliho kawasan hutan Tana Toa Kajang. (foto: dok. pribadi)
Akhirnya tibalah saya di Pintu Gerbang Desa Adat. Tidak lupa saya memakai baju polisi hutan hasil pinjaman pak solahuddin yang kebetulan berwana hitam. Ini adalah syarat bagi setiap tamu yang ingin memasuki area kampung adat. Tidak mesti hitam polos. Minimal baju yang kita kenakan mayoritas warna hitamnya. Warna hitam untuk pakaian baju dan sarung yang kita kenakan menurut kakak sepupu adalah sebagai bentuk persamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. Tidak ada warna hitam yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya. Semua hitam adalah sama. Warna hitam menunjukkan kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap orang di depan sang pencipta. Kesamaan dalam bentuk wujud lahir, menyikapi keadaan lingkungan, utamanya kelestarian hutan yang harus di jaga keasliannnya sebagai sumber kehidupan.
Keterangan gambar: Rumah penduduk dalam kawasan adat Ammatoa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. (foto: daeng syamsoe)
Saya langsung berniat mengabadikan gerbang dengan kamera tetapi menurut teman sepupu saya, pak salahuddin, sebaiknya kita minta izin dulu dengan kepala dusun untuk menghindari hal hal yang tidak diinginkan. Dengan modal teman dari kakak sepepu saya, kami pun cukup pede untuk berharap bisa langsung masuk ke dalam desa. Suasana tampak sepi. Setelah berjalan kaki beberapa ratus meter dari gerbang kawasan adat, melalui jalanan berbatu yang ditata rapi dan rimbun pohon bambu, saya pun tiba di pertigaan jalan perkampungan Suku.
Keterangan gambar: Daeng Syamsoe foto di tangga Rumah Ammatoa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. (foto: dok. pribadi)
Suku Kajang dalam lebih teguh memegang adat dan tradisi moyang mereka dibanding penduduk kajang luar yang tinggal di luar perkampungan. Rumah-rumah panggung yang semuanya menghadap ke barat tertata rapi, khususnya yang berada di Dusun Benteng tempat rumah Amma Toa berada. Tampak beberapa rumah yang berjejer dari utara ke selatan. Di depan barisan rumah terdapat pagar batu kali setinggi satu meter. Rumah Amma Toa berada beberapa rumah dari utara. Tampak tulisan Ammatoa begitu kita naik ke atas rumah panggungnya.
Ini kali pertama saya berkunjung kesini. Bulu kuduk terasa merinding. Halusinasi akan mistis dan hal berbau magic berusaha saya hilangkan. Kesunyian mulai terasa. Apa saja bisa terjadi disini dengan hukum alam yang berlaku. Banyak rahasia rahasia alam yang tidak di ketahui. Akhirnya saya jadi salah bersikap. Karena masih awam dengan aturan dan tata tertib yg berlaku, saya memilih bungkam dan mengikuti gerak gerik kakak sepupu saja.
Ammatoa ternyata sedikit berbeda dari penggambaran saya. Yang ada di hadapan saya sekarang adalah sosok Ammatoa yang ramah, tenang, berperawakan sedang, berkulit putih dan sorot mata yang tajam tapi bersahabat. Sayang beliau tidak bisa di abadikan dalam beberapa kesempatan.
Menurut Pak Solahuddin, Pemangku adat Ammatoa sekarang adalah anak dari Ammatoa yang terdahulu. Ia dipilih berdasarkan proses alam dengan melalui tes ritual adat jauh di tengah rimbunya hutan yang hanyan di hadiri oleh beberapa tokoh adat Kajang. P Solahuddin menambahkan, Kadang kala orang yang sempat bersilaturrahim dengan ammatoa terkadang melihatnya dalam perawakan yang berbeda beda. Ammatoa suku kajang ini tidak pernah keluar dari kampung suku adat sampai akhir hayatnya. Paling banter ia hanya sampai di gerbang kampung dalam beberapa acara yang luar biasa termasuk menjemput pejabat Negara atau setingkat gubernur, Nah pada saat itulah kita bisa mengabadikan gambar beliau.
Merupakan pengalaman yang istimewa, saya bisa bersantap siang bersama anak dan istri Ammatoa saat itu. Ammatoa hanya duduk bersila di sudut ruangan dan memperhatikan kami. Tidak sia sia pak salahuddin ikut serta. Ternyata ia cukup ampuh dan mumpuni juga melloby kepala dusun sehingga Ammatoa bersedia meluangkan waktunya untuk beberapa saat.
Dalam bahasa bugis Konjo yang kental, mereka terlibat perbincangan yang akrab. Asap rook mengepul dari beberapa “menteri” Ammatoa.
Keterangan gambar: Kuburan penduduk di kawasan adat Ammatoa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. (foto: daeng syamsoe)
Kembali ke rencana awal. Berhubung penasaran ingin melihat lihat sekitar, kami pun akhirnya mendapat restu untuk sekedar mengambil beberapa gambar sekitar dan juga melihat seorang ibu penghuni kampung sedang merendam sarung dengan pewarna hitam dari tumbuh tumbuhan sekitar. Semakin masuk kita berjalan, Pepohonan semakin lebat. Menuju ke rimba adat suku yang tidak terjamah.
Mengingat waktu yang cukup singkat dan waktu juga sudah sore. Kami rasa perjalanan hari ini cukup sudah. Kepala dusun menawarkan kami untuk bermalam saja di rumahnya. Beliau mengabarkan juga bahwa hari rabu pagi depan tepatnya tgl 1 April 2009, ada upacara adat dimana pembangunan salah satu rumah panggung warga akan di dilaksanakan prosesi adapt memberi atap dengan ritual suku kajang. Rumah baru tersebut kebetulan tidak jauh dari rumah utama Ammatoa. Sebuah tawaran yang cukup menarik. Kesempatan ini juga saya manfaatkan untuk sekedar berfoto bersama dengan kepala dusun lengkap dengan memakai passappu (tutup kepala) dan sarung hitam.
Keterangan gambar: Daeng Syamsoe foto bersama Kepala Dusun lengkap dengan memakai passappu (tutup kepala) dan sarung hitam. (foto: dok. pribadi)
Sayang kesempatan itu belum dapat kami penuhi mengingat aktivitas masing masing yang saling berbenturan. Sebelum pulang saya sempatkan lagi untuk mengabadikan baruga adat musyawarah suku kajang dan kuburan penduduk, itupun dengan seijin kepala dusun.
Keterangan gambar: Inilah baruga adat pertemuan yang menjadi tempat pertemuan adat di kawasan adat Ammatoa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. (foto: daeng syamsoe)
Sebenarnya banyak yang ingin saya abadikan sebagai oleh2 kenang kenangan tetapi terpaksa keinginan itu hanya tersimpan di dalam hati dikarenakan batasan dan kekhawatiran takut terkena bala jika melanggar aturan. Tapi kami berjanji suatu saat akan kembali lagi kesana untuk lebih berlibur, bersilaturahmi dan tentunya sekalian untuk lebih belajar lagi secara langsung mengenal adat istiadat dari warisan salah satu suku tertua di dunia. Suku Ammatoa- Desa Adat Kajang, Kabupaten Bulukumba.
Keterangan:
- Tulisan yang dimuat pada Sabtu, 28 Maret 2009, pada blog http://www.syamsoe.com/2009/03/ammatoa-suku-kajang-di-kab-bulukumba.html, saya copy paste pada hari Jumat, 1 Oktober 2010.
- Saya melakukan pengeditan kecil, tetapi tidak mengubah substansi tulisan.
- Tulisan ini saya anggap menarik dan memiliki nilai positif, sehingga saya meminta izin kepada penulisnya untuk memuat ulang tulisan dan foto-fotonya di blog ini.
[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
-
IKAN DUYUNG. Jumaning (60), membersihkan tubuh ikan duyung yang ditemuinya di tepi pantai saat mencuci bentang (tali rumput laut) di pesi...
-
Andi Sultan Daeng Radja bersama tujuh orang lainnya telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui Surat Keputusan Presiden RI (Sus...
-
BUNDARAN PHINISI. Kabupaten Bulukumba yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, terdiri atas 10 kecamatan dan 126 ...
4 komentar:
Amma..ooh ammma..destarmu itu sehitam tempurung..tapi aku mencintaimu serimbun hutan larangan.
terima kasih telah mengangkatnya, semoga tak hanya di kenal tapi juga di ingat..............
Ivan: good....good..good....
Nina: I hope so...
buat juga sejarah asal usul perahu phinisi dengan sarung hitam kajang!!!!!
Posting Komentar