Simaklah pula kondisi Bulukumba, bagaimana media membongkar sindikat perdagangan seks terhadap anak di bawah umur yang terjadi di beberapa titik di Bulukumba. Demikian juga dengan hiburan-hiburan musik pada sebuah pesta atau hajatan yang dengan bebas mempertontonkan birahi di atas panggung.
------------------
Buka Mata Buka Telinga:
Pemerkosaan Berjamaah
Oleh Andhika Mappasomba
Jika beberapa tahun silam Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Sulawesi pernah mengeluarkan sebuah istilah korupsi berjamaah bagi Anggota DPRD Sulsel, Kini, mungkin tepat juga jika "saya" sebagai bagian terkecil masyarakat membuat dan membahas tentang istilah "Pemerkosaan Berjamaah" sebagai sebuah analogi atas akumulasi persoalan yang menimpa sosialitas Indonesia secara umum.
Betapa tidak, Sosialitas yang banyak dianggap sakit oleh banyak pemikir, mulai dari persoalan korupsi, konspirasi kekuasaan, atau penutupan mata atas kondisi kemiskinan dan perampokan kekayaan negara yang dilakukan oleh korporasi tertentu.
Bayangkan, jika sebuah korporasi yang nyata-nyata melakukan perampokan/pemerkosaan kekayaan negara, entah itu bebatuan, pepohonan atau mungkin pasir, yang dilakukannya untuk memperkaya diri atau korporasinya, tanpa memberikan kontribusi terhadap "rakyat" yang menjadi pemilik sah dari apa yang saya sebutkan tadi, dan perampokan sebagai eufemisme dari eksploitasi tanah atau lahan tersebut, dimana perampokan tersebut sebenarnya diketahui dan disadari oleh banyak pihak termasuk penguasa, maka sesungguhnya, dalam lingkaran tersebut, semuanya terlibat melakukan pemerkosaan atas hak orang banyak. Secara sadar dan sengaja melakukan pemerkosaan hak dan menikmati hasilnya.
Jika pemerkosaan tersebut tidak dianggap lagi sebagai sesuatu yang ingkar terhadap sosialitas, maka sebenarnya, kita telah berada pada sebuah lingkaran sosialitas yang sakit. Lingkaran yang terbangun dari sebuah konsesi negatif tersebut, biasanya akan mendorong tumbuhnya masyarakat-masyarakat yang prustasi dan karya-karya seni yang bersifat menggugat dan mengguncang keadaan. Terlebih jika pemerkosaan tersebut telah dilegalkan oleh arus kekuatan politik yang tak berjiwa.
Masyarakat yang frustasi biasanya akan melahirkan tindakan-tindakan irrasional dan cenderung menimbulkan antipati terhadap kekuasaan itu sendiri. Lihatlah, bagaimana seorang mantan jaksa diparangi dalam sebuah ruang persidangan di pengadilan atau simaklah, bagaimana kepala-kepala desa seIndonesia menggalang gerakan bersama dalam Persatuan Rakyat Desa sebagai sebuah tindakan frustasi atas hilangnya kepercayaan mereka terhadap arus politik besar yang dinilainya tidak memihak kepada desa.
Simaklah pula kondisi Bulukumba, bagaimana media membongkar sindikat perdagangan seks terhadap anak di bawah umur yang terjadi di beberapa titik di Bulukumba. Namun, tindakan tegas dan langkan antisipatif yang sistematis tak juga terdengar dari corong kekuasaan. Demikian juga dengan hiburan-hiburan musik pada sebuah pesta atau hajatan yang dengan bebas mempertontonkan birahi di atas panggung. Dimana, saat pertunjukannya, anak kecil dan remaja pun ikut menikmati setiap gerak erotisme yang tentunya semua orang sepakat bahwa itu tidak baik pagi mental generasi muda yang masih labil dalam hal seksualitas.
Pemerkosaan berjamaah atau pengingkaran terhadap Positifitas Sosialitas yang dilakukan secara sadar dan bersama-sama, adalah kondisi yang seharusnya tidak terjadi jika saja kekuasaan memiliki sensitifitas dan program yang sistematis dalam menumbuhkan positifitas berpikir masyarakatnya.
Peristiwa pemerkosaan berjamaah yang terjadi dalam masyarakat Bulukumba yang menghiasi media belakangan ini menjadi semacam interupsi terhadap visi dan misi serta rencana strategis atau Renstra pemerintah sebagai subyek yang paling bertanggungjawab sebagai Benteng Sosial dan kebudayaan dan benteng terakhir atas arah berpikir masyarakat.
Hitunglah, betapa pemerkosaan terus terjadi dimana, beberapa kasus, ada ayah memperkosa anaknya, beberapa kasus, gadis belia diperkosa secara bergiliran, ada gadis idiot juga digilir beberapa pemuda dan seterusnya.
Hitunglah pula, bagaimana kondisi sosialitas atas pribadi atau korporasi yang melakukan eksploitasi alam secara ilegal, penjualan kekayaan alam Bulukumba ke daerah lain tanpa kontribusi ke Dispenda, dan seterusnya, semua terjadi depan mata kita. Dan semua pihak terlibat untuk bertanggung jawab. Jika tidak ada lagi nurani yang terusik atas semua ini sebagai sebuah wujud yang mengganggu kesadaran sosial kita, maka sesungguhnya, "kita" semua telah terlibat melakukan pemerkosaan. Tepatnya, melakukan Pemerkosaan Berjamaah".
Jika apa yang saya bicarakan ini dinilai salah oleh sosialitas, maka, yakinlah bahwa saya juga pastinya akan dituduh sebagai "pengganggu pikiran" dan ketertiban sosial. Semoga anda bukan dari bagian itu. Semoga.
Bulukumba, Jumat, 2 Maret 2012
==========
Andhika Mappasomba, Lelaki kelahiran Bulukumba tahun 1980. Dosen Fakultas Sastra Universitas Islam Makassar. Pegiat Sastra, menulis buku dan kini sementara menetap di Bulukumba.
[Terima kasih atas kunjungan dan komentar Anda di Blog Kabupaten Bulukumba - http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar