Selasa, 18 September 2012

Hobi Berkelahi, Shamsi "Dibuang" ke Ponpes



Shamsi Ali (kanan) mengatakan; "Saya di Kajang (Bulukumba). Ayah saya petani biasa. Bahasa Indonesia saja tidak bisa. Saya suka berkelahi waktu SD. Tangan saya pernah patah. Orangtua saya bingung dengan perilaku saya. Mau jadi apa saya kalau kelakuan seperti ini."



 -------------------


Kisah Inspiratif Sosok Shamsi Ali-2
Hobi Berkelahi, Shamsi "Dibuang" ke Ponpes


Wartawan Tribun Timur; Suryana Anas
Tribun Timur - Sabtu, 15 September 2012 http://makassar.tribunnews.com/2012/09/15/hobi-berkelahi-shamsi-dibuang-ke-ponpes

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Cerita Shamsi mengarah ke kehidupan masa kecilnya di Kajang.Pemuda Bugis dari Kajang, Bulukumba, itu adalah anak petani yang tumbuh laiknya anak kampung kebanyakan.

Shamsi dilahirkan di kalangan petani. Kedua orangtuanya minus pendidikan memadai.

"Saya di Kajang. Ayah saya petani biasa. Bahasa Indonesia saja tidak bisa. Saya suka berkelahi waktu SD. Tangan saya pernah patah. Orangtua saya bingung dengan perilaku saya. Mau jadi apa saya kalau kelakuan seperti ini," katanya.

Karena bingung dengan sikap kenakalan Shamsi, petani Kajang itu memutuskan “memenjarakan” anaknya di Pondok Pesantren (ponpes) Muhammadiyah Darul Arqam atau yang lebih dikenal dengan Pesantren Gombara, Mandai-Bulurokeng, Kota Makassar.

Kebetulan ia memiliki keluarga di Makassar yang sedang menempuh pendidikan di Makassar. Dari informasi keluarganya itu, orangtua Shamsi memutuskan agar dia masuk di pesantren yang menurut istilah sebagian orang pesantren adalah "penjara suci".

Bakat berkelahi yang masih melekat pada Shamsi kini mendapat saluran yang positif. Ia kemudian masuk di kegitan eksul Tapak Suci. Bakat inilah yang membawanya menjadi juara 2 di Unisba. Berawal dari "hobby berkelahi" di tapak suci ini ia kelak mendapat gelar Doktor HC di Unisba.

Setelah menyelesaikan studi di Pondok Pesantren Darum Arqam Gombara, Makassar, Shamsi Ali mengabdi di pesantren untuk mengajar. Ia ingin sekali kuliah tetapi keadaan finansial keluarga tidak mendukung.

"Bingung mau masuk universitas tidak ada duit. Akhirnya ngabdi di pesantren dengan seikhlasnya," kenang Shamsi.

Beberapa bulan kemudian, Shamsi ditawari pimpinan pondok pesantren untuk belajar ke luar negeri, Pakistan. Ia pun melanjutkan studi di International Islamic University. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dia menjadi muazzin (tukang azan) di Masjid Faisal, masjid terbesar di Islamabad.

Di Jeddah ia sering dimintai untuk memberikan ceramah di Kedutaan Besar Indonesia untuk Jeddah. Dari Jeddah inilah, Shamsi mengenal orang kedutaan yang kelak membawanya ke Amerika. “Kutukan” orantua Shamsi mumpuni. Ia kini menjadi sinar Islam di Amerika.

"Terkadang kita pintar mengatur, tapi ada yang lebih mengatur lagi (Allah). Serahkanlah ke yang Maha Mengatur. Jalani hidup lebih baik," kata Shamsi.(*)

[Terima kasih atas kunjungan dan komentar Anda di Blog Kabupaten Bulukumba - http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]

Tidak ada komentar: