Selasa, 18 September 2012
Imam Al Hikmah New York: Islam Tidak Mengajarkan Teror
FOTO BERSAMA. Dari kiri ke kanan, Rashidah Ali, Rabbi Marc Schneier, Swizz Beatz, Russell Simmons, Cathy Hughes, David Rosenberg, Imam Shamsi Ali. Shamsi Ali yang kelahiran Bulukumba, 5 oktober 1967, kini menjadi salah satu tokoh agama terkemuka di Eropa. Posisinya sebagai Imam Islami Center New York mengantar Shamsi menjadi rujukan di Negeri Paman Sam dan sekitarnya. (int)Foto: http://www.limitemagazine.com/2009/10/russell-simmons-honors-rashidah-ali/)
--------------
Kisah Inspiratif
Imam Al Hikmah New York: Islam Tidak Mengajarkan Teror
Laporan Wartawan Tribun Timur, Suryana Anas
Tribunnews.com - Sabtu, 15 September 2012
http://www.tribunnews.com/2012/09/15/imam-al-hikmah-new-york-islam-tidak-mengajarkan-teror
IMAM Besar Masjid Al Hikmah, New York, adalah lelaki Bugis dari Kajang, Bulukumba. Shamsi Ali lahir di desa terpencil di Kajang, 5 Oktober 1967.
Kini, dia menjadi salah satu tokoh agama terkemuka di Eropa. Posisinya sebagai Imam Islami Center New York mengantar Shamsi menjadi rujukan di Negeri Paman Sam dan sekitarnya.
Apalagi, dia juga menjabat Direktur Jamaica Muslim Centre. Pekan ini, Shamsi bertandang ke kampung halamannya. Dia mampir di Makassar. Kehadirannya disambut sejumlah lembaga untuk mengais inspirasi dari kisah sang imam.
Ilham Arief Sirajuddin juga tak menyiakan kehadiran Shamsi. Imam di negeri super power ini dijamu santap malam di Rumah Makan Bahari, Makassar, Rabu (12/9/2012).
Sambil nyantap, Shamsi bercerita pengalamannya diskusi agama dengan mantan Presiden AS George Bush dan Presiden AS Barrack Obama.
Dia kaget melihat perkembangan Makassar dan Sulsel. "Saya setelah sekian tahun meninggalkan Makassar, sekarang ini ternyata begitu maju, saya melihat perkembangan pembangunan yang lebih terarah dan keramahan masyarakat kota Makassar," kata Shamsi.
Esoknya, Kamis (13/9/2012), Shamsi didaulat berbagi pengalaman di Ruang Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Lantai 4 Gedung Rektorat Kampus 2, Samata, Gowa.
Di hadapan sivitas akademika UIN, Shamsi menuturkan kisah heroiknya sampai menembus Amerika.
Dia mengaku pernah mengemban ilmu agama di Pesantren Muhammadiyah, Gombara. Shamsi mengaku sangat senang bisa menjadi pembicara di UIN Alauddin karena dia bisa bertemu dengan teman-teman lamanya di Pesantren Gombara.
"Senang bisa dikelilingi teman lama, saya masih ingat waktu kecil saya suka main bola tidak ada sepatu. Ke sumur diteriaki oleh cewek-cewek," ujarnya mengenang masa-masa selama tinggal di pesantren.
Cerita Shamsi mengarah ke kehidupan masa kecilnya di Kajang. Pemuda Bugis dari Kajang, Bulukumba, itu adalah anak petani yang tumbuh laiknya anak kampung kebanyakan.
Shamsi dilahirkan di kalangan petani. Kedua orangtuanya minus pendidikan memadai.
"Saya di Kajang. Ayah saya petani biasa. Bahasa Indonesia saja tidak bisa. Saya suka berkelahi waktu SD. Tangan saya pernah patah. Orangtua saya bingung dengan perilaku saya. Mau jadi apa saya kalau kelakuan seperti ini," katanya.
Karena bingung dengan sikap kenakalan Shamsi, petani Kajang itu memutuskan “memenjarakan” anaknya di Pesantren Gombara, Maros.
Kebetulan ia memiliki keluarga di Makassar yang sedang menempuh pendidikan di Makassar. Dari informasi keluarganya itu, orangtua Shamsi memutuskan agar dia masuk di pesantren yang menurut istilah sebagian orang pesantren adalah "penjara suci".
Bakat berkelahi yang masih melekat pada Shamsi kini mendapat saluran yang positif. Ia kemudian masuk di kegiatan eksul Tapak Suci. Bakat inilah yang membawanya menjadi juara 2 di Unisba.
Berawal dari hobi "berkelahi" di tapak suci ini ia kelak mendapat gelar Doktor HC di Unisba.
Setelah menyelesaikan studi di Pondok Pesantren Darum Arqam Gombara, Makassar, Shamsi Ali mengabdi di pesantren untuk mengajar.
Ia ingin sekali kuliah tetapi keadaan finansial keluarga tidak mendukung. "Bingung mau masuk universitas tidak ada duit. Akhirnya ngabdi di pesantren dengan seikhlasnya," kenang Shamsi.
Beberapa bulan kemudian, Shamsi ditawari pimpinan pondok pesantren belajar ke Pakistan. Ia pun melanjutkan studi di International Islamic University. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dia menjadi muazzin (tukang adzan) di Masjid Faisal, masjid terbesar di Islamabad.
Jenjang S1 dalam bidang Tafsir diselesaikan tahun 1992. Ia kemudian melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan jenjang S2 di universitas yang sama tamat tahun 1994, dengan memilih bidang Perbandingan Agama.
Hingga akhirnya ada tawaran mengajar di Jeddah, Arab Saudi, yang langsung disetujuinya. Di Jeddah ini, Shamsi sering memberikan ceramah manasik haji di KJRI Jeddah.
Pada saat ceramah manasik haji, Shamsi bertemu dengan Wakil Tetap RI untuk PBB New York, Nugroho Wisnumurti. Nugroho mengundang Shamsi untuk memimpin masjid Indonesia yang sekarang bernama Masjid Al Hikmah di New York, sembari menjadi staf Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI).
Sebelumnya ia memang mempunyai keinginan melanjutkan pendidikan ke luar negeri yakni antara di Inggris atau Amerika. Sehingga pada saat ditawari ke Amerika ia pun setuju.
"Pertama kali tiba di Amerika Serikat saya khawatir," tambahnya. Menurutnya, ia berada di sebuah negara yang bebas segala rupa. Hal ini berbeda saat masih di Jeddah.
Namun kekhawatiran itu berubah saat bertemu dengan orang yang lebih beragam. Dia pun bergaul dengan orang-orang yang memiliki latar belakang keyakinan yang berbeda-beda.
Ia mempunyai tetangga dari latar belakang agama yang berbeda mulai dari Protestan, Katolik, Sikh, dan Hindu. Ia memiliki sepasang tetangga beragama Katolik, setiap pagi ia membersihkan taman depan rumah dan selalu menyapa Shamsi dan istrinya dengan ramah sambil mengatakan, "Hai good morning".
Mereka tahu kami Islam karena istri saya pakai jilbab tapi mereka sangat ramah. Meski boleh jadi ada yang berbeda secara fundamental, namun Shamsi meyakini ada sisi positif dari semua orang sehingga bisa terbangun kerja sama antarorang yang beragam itu.
Black September
Saat penyerangan World Trade Center (WTC) 11 September, Shamsi mengaku sedang berada dalam kereta. "Orang menyangka ada kebakaran. Kita nonton TV, gedung kembar ditabrak," kenangnya.
Namun bagaimana dengan reaksi media saat itu, yang pertama kali ditayangkan CNN menampilkan orang Palestina yang bergembira dan berdansa.
Pada saat itu ia mengetahui bahwa peristiwa itu sangat berat apalagi pada saat perjalanan di kereta tersebut ia banyak mendengar orang-orang mencaci Islam.
Tetangga yang sangat diakrapinya datang ke rumah Shamsi dan menangis dan mengatakan ia tidak percaya bahwa Islam seperti yang dikatakan oleh banyak orang. Hal itu karena ia menemui hal yang kontras dengan perilaku orang Islam sesungguhnya.
Menurutnya, setelah penyerangan 11 September itu, suasana AS selama 1 sampai 2 pekan sangat mencekam. Bahkan beberapa pengurus Masjid Al Hikmah New York berencana menutup masjid.
"Tapi saya katakan No Way. Kenapa harus ditutup?," katanya. Kalau ditutup itu sama saja membenarkan anggapan orang, dan masjid tersebut tidak jadi ditutup.
Beberapa saat setelah peristiwa itu ia ditelepon untuk menghadiri Interfaith. Interfaith tidak lain adalah upaya membangun komunikasi untuk saling memahami sehingga terjadi kerja sama (partnership) dalam kepentingan yang disepakati dan saling menghormati dalam hal-hal yang tidak disepakati.
"Saya datang dengan biasa saja. Empat tahun di Amerika, bahasa Inggris saya masih belepotan. Saya serahkan semuanya kepada Allah," ujarnya.
Shamsi menggambarkan bahwa Islam adalah agama yang mengakui persaudaraan umat manusia. Islam tak membenci umat lain. Justru Islam datang untuk mengangkat derajat semua manusia.
Dia juga mengingatkan semua yang hadir agar hendaknya kebencian kita terhadap suatu kaum tidak menjadikan kita tidak adil.
Tak lama setelah kejadian itu, Shamsi diundang menghadiri A Prayer for America. Sebuah kehormatan besar bagi Shamsi Ali dan bagi umat Islam di seluruh dunia ketika Shamsi Ali diundang mewakili Islam Amerika dalam acara Doa untuk Amerika.
Sebuah acara doa dan perenungan AS atas Tragedi Bom WTC dan Pentagon 11 September 2004 yang diikuti pemuka Protestan, Katolik, Sikh, Hindu, dan Islam lainnya di stadion terkenal olah raga baseball Yankee Stadium, The Bronx, New York, 23 September 2004.
Ia satu panggung dengan mantan Presiden Amerika Serikat, senator Hillary Clinton, Wali Kota New York Rudolph Giuliani, Gubernur New York Robert Pataki, Oprah Winfrey, sejumlah selibritis dunia pada acara yang dihadiri sekitar 50.000 orang di stadion yang lokasinya dekat reruntuhan gedung kembar 110 tingkat World Trade Center (WTC).
Ketika itu, Shamsi Ali muncul di mimbar A Prayer for America di Stadion Yankee, New York City. Ia mengenakan pakaian sederhana tanpa sorban putih atau jenggot panjang.
Ia hanya mengenakan kemeja dan juga peci. Dia menyebut Bismillahirahmanirrahim dari bibirnya. Lalu, puluhan ribu publik AS mendengar syahdunya kalimat-kalimat Allah dibacakan Shamsi di luar kepala.
Tidak ada suara, kecuali alunan merdu suara Syamsi. Dia juga mengingatkan semua yang hadir agar hendaknya kebencian kita terhadap suatu kaum tidak menjadikan kita tidak adil.
Pada kesempatan itu, Shamsi Ali sempat berjabat tangan dan berpesan kepada pemerintah George Walker Bush. Pertama ia ucapkan belasungkawa kepada Bush dan orang Amerika dan mengutuk apapun bentuknya peristiwa itu.
Shamsi berpesan kepada pemerintah George Walker Bush dan pengambil keputusan AS agar janganlah kiranya karena kebencian yang tertanam, bukan keadilan yang dijunjung, melainkan pembalasan dendam semata.
"Pak Presiden, saya ingin menyampaikan bahwa ini tidak ada kaitannya dengan kepercayaan dan komunitas saya. Jadi maukah Anda memberikan pernyataan pada publik bahwa serangan teroris itu tidak ada kaitannya dengan Islam/Muslim?".
Itulah ucapan Shamsi Ali kepada Presiden AS saat itu, George Bush. Kata-kata itu mengalir dari bibir Shamsi Ali, dai asal Indonesia.
Shamsi mengucapkan kalimat itu lantaran Islam disorot tajam. Padahal Shamsi yakin agama mana pun, termasuk Islam, tidak mengajarkan teror. Kepada rakyat Amerika, Bush menyampaikan pesan yang disampaikan Shamsi.
Saat tampil di mimbar, ia diberi pilihan antara ceramah dan berdoa. Ia kemudian memilih membaca Al Quran untuk menyampaikan bahwa Islam itu agama yang universal, isaja anassarullah.
Setelah ini, Shamsi juga bingung, ingin kembali ke Indonesia namun masih terkendala dana. Kemudian ada tawaran mengajar bahasa Arab di Jeddah tentunya dengan sedikit keterampilan bahasa Inggris.
Di Jeddah ia sering dimintai untuk memberikan ceramah di Kedutaan Besar Indonesia untuk Jeddah. Dari Jeddah inilah, Shamsi mengenal orang kedutaan yang kelak membawanya ke Amerika.
“Kutukan” orantua Shamsi mumpuni. Ia kini menjadi sinar Islam di Amerika. "Terkadang kita pintar mengatur, tapi ada yang lebih mengatur lagi (Allah). Serahkanlah ke yang Maha Mengatur. Jalani hidup lebih baik," kata Shamsi.
[Terima kasih atas kunjungan dan komentar Anda di Blog Kabupaten Bulukumba - http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
-
IKAN DUYUNG. Jumaning (60), membersihkan tubuh ikan duyung yang ditemuinya di tepi pantai saat mencuci bentang (tali rumput laut) di pesi...
-
Andi Sultan Daeng Radja bersama tujuh orang lainnya telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui Surat Keputusan Presiden RI (Sus...
-
BUNDARAN PHINISI. Kabupaten Bulukumba yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, terdiri atas 10 kecamatan dan 126 ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar