DISKUSI PUBLIK. Agfor Indonesia mengadakan diskusi publik tentang kawasan adat Ammatoa, Kajang, di rumah pertemuan kawasan adat Ammatoa, Desa Tanah Toa, Kajang, Bulukumba, Senin, 17 Juni 2013. Diskusi antara lain dihadiri Wabup Bulukumba Syamsuddin, dan pakar kehutanan dari Universitas Hasanuddin Dr Azhar. (ist)
-------------
Kawasan Adat Ammatoa Kajang Sudah Saatnya Diakui
Masyarakat adat Ammatoa di Desa Tanah Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, sudah memenuhi syarat untuk diakui sebagai kawasan adat, karena di sana sudah ada paguyuban, ada struktur dan pranata sosial, serta ada aturan dan sanksi yang telah berlaku sejak lama.
Pengakuan itu bukan hanya secara lisan dan tulisan, melainkan juga pengakuan secara hukum dalam bentuk Peraturan Daerah.
Hal tersebut diungkapkan pakar kehutanan Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Dr Azhar (yang telah melakukan penelitian dan pendampingan di kawasan adat Ammatoa Kajang, sejak tahun 2008), pada acara diskusi publik, di rumah pertemuan kawasan adat Ammatoa, Desa Tanah Toa, Kajang, Bulukumba, Senin, 17 Juni 2013.
Kepala Bagian (Kabag) Hukum Bulukumba, Nur Jalil, mengaku pihaknya telah mendorong Ranperda Pengakuan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang melalui program legislasi daerah (Prolegda) tahun 2013 ini. Ranperda tentang pengakuan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang akan disiapkan dan tinggal menunggu untuk disampaikan ke DPRD Bulukumba.
Mendengar pernyataan tersebut, Kepala Bagian Hukum Pemkab Bulukumba, Nur Jalil, mengaku pihaknya telah mendorong Ranperda Pengakuan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang melalui program legislasi daerah (Prolegda) tahun 2013 ini.
"Ranperda tentang pengakuan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang akan disiapkan dan tinggal menunggu untuk disampaikan ke DPRD Bulukumba," ungkapnya.
Rencana tersebut, kata Nur Jalil, didasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, khususnya pasal 67, yang antara lain menyebutkan bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Warga di kawasan adat Ammatoa Kajang, katanya, menuntut kawasan hutan yang ada di wilayah seluas 331,1 hektar menjadi hutan adat.
"Tuntutan warga adat Ammatoa itu belum bisa dipenuhi karena belum ada Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur soal itu," papar Nur Jalil.
Selama ini, ungkapnya, hutan seluas 331 lebih hektar di kawasan adat Ammatoa Kajang itu, hanya sebagai hutan produksi terbatas, bukan hutan adat. Pengakuan sebagai hutan produksi terbatas berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan.
"Untuk mengakui hutan seluas 331 hektar lebih sebagai hutan adat Ammatoa Kajang, perlu payung hukum alias perda," katanya.
Diskusi publik yang dibuka Wakil Bupati Bulukumba, Syamsuddin, diprakarsai tujuh jurnalis dari sejumlah media lokal dan nasional, serta difasilitasi oleh World Agro Forestry Centre (Agfor) Indonesia.
Diskusi publik tersebut dihadiri Kepala Dinas Pariwisata Bulukumba, Taufiq SH, dan Kadis Kehutanan dan Perkebunan Bulukumba, Ir Misbawati, serta jajaran pemangku adat Ammato, termasuk Camat Kajang A Buyung Saputra.
Kades Tanah Toa, Kajang, Sultan, mengakui tradisi pengelolaan hutan di kawasan adat Ammatoa Kajang, sudah ada sejak lama. Dengan adanya Perda, katanya, maka kawasan hutan akan diselamatkan dari perambahan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
Sultan berharap, setelah ada perda yang mengatur dan menguatkannya maka hutan tersebut dikelola sesuai dengan aturan di kawasan adat Ammatoa itu sendiri.
Agus dari Agfor Indonesia, mengatakan setelah melakukan penelitian di beberapa tempat, dirinya harus berterimakasih kepada masyarakat adat Ammatoa Kajang yang telah memberikan pembelajaran terkait dengan keseimbangan alam.
"Masyarakat adat Ammatoa Kajang memberikan pelajaran dalam hal pengelolaan hutan untuk kesejahteraan masyarakat. Regulasi (Perda) yang akan didorong ke DPRD Bulukumba ini akan melindungi kawasan adat Ammatoa Kajang dari krisis dan gempuran budaya dari luar," tuturnya.
Wakil Bupati H Syamsuddin, memastikan Pemkab Bulukumba akan mendorong Ranperda pengakuan terhadap msayarakat adat, sehingga hutan adat Ammatoa Kajang bisa diakui sebagai hutan adat, bukan hutan produksi terbatas. (asnawin/r)
[Terima kasih atas kunjungan dan komentar Anda di Blog Kabupaten Bulukumba]
2 komentar:
diprakarsai agfor dan pemkab dan mengundang 7 media baik pusat maupun daerah
mudah2an segera terwujud. Sudah 5 tahun diperjuangkan
Posting Komentar