Rabu, 19 Agustus 2009

Menguji Peran Perda AIDS Bulukumba

Rabu, 15 Juli 2009
http://www.swarakita-manado.com

Menguji Peran Perda AIDS Bulukumba
- Catatan Buat Ranperda AIDS di Sulut


Oleh : Syaiful W Harahap

BERITA SKH “Swara Kita” (edisi 12 Juni 2009) menyebutkan Ranperda HIV/AIDS Sulut ditunda. Penundaan terjadi karena ada pasal yang mengesankan legitimasi lokalisasi pelacuran. Ini lagi-lagi menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap epidemi HIV dari aspek medis.

Sampai sekarang sudah 28 daerah di Indonesia, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten
sampai kota yang menelurkan Perda AIDS. Salah satu perda yaitu Perda Kabupaten
Bulukumba, Sulawesi Selatan, No 5 Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV/AIDS yang diundangkan tanggal 23/6-2008 merupakan perda yang ke-20 dari 28 perda yang sudah ada. Ini bisa menjadi acuan bagi ranperda AIDS Sulut.

Apakah perda ini bisa menurunkan infeksi HIV baru di Bulukumba? Pertanyaan itulah yang muncul setiap kali kita membaca Perda AIDS.

Di Tanah Papua, misalnya, ada tujuh perda penanggulangan AIDS. Tapi, apa yang terjadi di disana? Kasus HIV/AIDS menempati peringkat keempat secara nasional. Sampai Desember 2008 sudah dilaporkan 2.382 kasus AIDS dari 16.110 kasus secara nasional.

Sedangkan Sulawesi Selatan menempati peringkat ke-16 dengan 143 kasus AIDS. D
Bulukumba sampai Desember 2008 sudah dilaporkan 45 kasus HIV/AIDS, 15 di antaranya sudah meninggal. Kabupaten Bulukumba pun tidak masuk dalam daftar 105 kabupaten dan kota yang masuk dalam kategori akselerasi.

Perda ini sendiri merupakan upaya untuk menanggulangi HIV/AIDS di Bulukumba yang diatur pada pasal 4, 5, dan 6. Pada pasal 4 disebutkan “Penanggulangan HIV/AIDS dilakukan melalui: a. promosi; b. pencegahan; c. pelayanan; dan d. pengobatan.”

Hubungan Seks

Perihal promosi dijelaskan pada pasal 5 “Kegiatan promosi yang meliputi komunikasi, informasi dan edukasi dalam rangka menumbuhkan sikap dan perilaku hidup bersih, sehat dan gaya hidup yang bertanggung jawab dilaksanakan oleh Pemerintah dengan melibatkan peran serta masyarakat, dan sektor swasta.”

Pasal ini menyuburkan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) karena timbul kesan mereka tertular disebabkan oleh perilaku hidup mereka tidak bersih dan tidak bertanggung jawab. Penularan HIV tidak ada kaitannya secara langsung degan perilaku hidup sehat dan bertanggung jawab.

Penularan melalui transfusi darah sama sekali bukan salah orang yang menerima transfusi tapi penyedia layanan transfusi. Di Malaysia seorang ibu rumah tangga guru mengaji tertular HIV melalui transfusi darah di rumah sakit. Perempuan ini menggugat Kerajaan Malaysia 100 juta ringgit (sekitar Rp 250 miliar).

Begitu pula dengan ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya dan anak-anak yang tertular dari ibunya. Tidak ada kaitan langsung antara perilaku hidup sehat pada ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak itu dengan penularan HIV pada mereka.

Stigma terhadap Odha kian kental karena di pasal 13 disebutkan masyarakat bertanggung-jawab dalam pencegahan dan penanggulangan HIV dengan cara: a. berperilaku hidup sehat dan gaya hidup bertanggung-jawab; b. meningkatkan ketahanan keluarga.

Ini mengesankan Odha tertular HIV karena gaya hidupnya tidak sehat dan ketahanan
keluarganya rendah. Lagi pula tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan hidup sehat dan gaya hidup bertanggung jawab.

Selanjut pada ayat c disebutkan ’mencegah terjadinya diskriminasi terhadap ODHA, OHIDHA, dan keluarganya’. Penelitian menunjukkan diskrimnasi terhadap Odha justru banyak terjadi sarana-sarana pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit.

Sedangkan upaya pencegahan dalam perda pada pasal 6 disebukan dilakukan secara
komprehensif, integratif, partisipatif melalui: a. penyelenggaraan kewaspadaan umum dalam rangka mencegah terjadinya penularan HIV/AIDS dalam kegiatan pelayanan kesehatan; b. pemeriksaan HIV/AIDS terhadap semua darah, produk darah, cairan mani, organ dan jaringan tubuh yang didonorkan; dan c. melaksanakan pemeriksaan tes HIV/AIDS terhadap kelompok rawan dan berisiko tinggi.

Perda ini sama sekali tidak akan bisa meredam laju pertambahan infeks HIV baru di kalangan dewasa karena tidak menyentuh masalah penularan dan penyebaran HIV.

Pertama, penyebaran HIV banyak terjadi melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, dan penggunaan jarum suntik secara bersama dengan bergantian pada
penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya). Tapi, dalam perda yang diatur justru risiko penularan di pelayanan kesehatan. Tanpa perda pun pelayanan kesehatan otomatis menerapkan kewaspadaan umum.

Mata Rantai

Kedua, skrining terhadap darah donor sudah dilakukan sejak tahun 1992 berdasarkan
Keputusan Menkes RI No 622/1992 yang mewajibkan pemeriksaan HIV pada darah donor sehingga tidak perlu lagi diatur. Hal yang menarik pada perda ini adalah skrining terhadap air mani. Apakah di Bulukumba sudah ada bank sperma?

Ketiga, ‘melaksanakan pemeriksaan tes HIV/AIDS terhadap kelompok rawan dan berisiko tinggi’ tidak akan menyelesaikan masalah. Jika yang dimaksud kelompok rawan dan berisiko adalah pekerja seks komersial (PSK), maka ada fakta yang luput dari perhatian pembuat perda ini.

Yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, duda atau lajang yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, mahasisa, pelajar, petani, nelayan, dll. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk.

Mereka ini lolos dari tes HIV karena tidak ada mekanisme yang ’menjerat’ laki-laki yang perilakunya berisiko.

Terkait dengan Ranperda AIDS Sulut ditunda karena pada pasal 13 ayat 2 disebutkan ’ada kewajiban dari pemilik/pengelola yang terkesan melegitimasi lokalisasi’. Ini sebuah paradoks.

Penanggulangan epidemi HIV, khusunya terkait dengan perda-perda AIDS, justru mengekor ke Thailand yang dikabarkan berhasil menekan laju infeksi baru di kalangan laki-laki dewasa melalui program ’wajib kondom 100 pesen’ pada hubungan seks di lokasi dan lokalisasi pelacuran.

Jika Perda AIDS Sulut kelak memasukkan program ini maka kalau lokasi dan lokalisasi pelacuran tidak ada maka program itu tidak bisa dijalankan.

Tanpa ada ’lokasi atau lokaliasi pelacuran’ pun praktek pelacuran terus terjadi setiap hari di rumah, losmen, hotel melati, hotel berbintang dan di tempat-tempat lain. Praktek pelacuran yang terselubung inilah salah satu mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar-penduduk.

Maka, kalau ditilik dari aspek kesehatan masyarakat melokalisir pelacuran merupakan salah satu langkah untuk memutus ’jembatan’ penyebaran HIV ke masyarakat karena kegiatan pekerja seks terpantau dan kewajiban memakai kondom dapat diterapkan.

Malaysia lebih maju karena negeri jiran itu menerapkan skrining rutin terhadap pasien IMS (penyakit-penyakit yang ditularkan melului hubungan seks, seperti sifilis, GO, virus hepatitis B, klamidia, dll.), pengguna narkoba suntikan, perempuan hamil, polisi, narapidana, dan pasien TB.

Skrining khusus dilakukan terhadap pekerja seks, homoseksual, pelajar dan mahasiswa.
Maka, tidak mengherankan kalau kasus yang sudah terdeteksi di Malaysia mendekat angka ril.

Sedangkan di Indonesia kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil karena para ahli
memperkirakan kasus HIV/AIDS di Indonesia berkisar antara 90.000-120.000.

Menanggulangi penyebaran HIV adalah dengan memutus mata rantai penyebaran HIV yaitu dengan cara membuat pasal yang berbunyi: “Setiap penduduk Bulukumba wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, di Bulukumba atau di luar Bulukumba.”

Selanjutnya untuk memutus mata rantai penyebaran HIV ada pula pasal yang berbunyi: “Setiap penduduk Bulukumba yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, di Bulukumba atau di luar Bulukumba wajib menjalani tes HIV.”

Kalau Pemprov Sulut ingin menekan laku pertambahan kasus HIV baru maka dalam perda kelak harus ada dua pasal itu. (penulis adalah pemerhati masalah kesehatan, sekaligus kontributor SKH Swara Kitadi Jakarta)

Tidak ada komentar: