Jumat, 21 Agustus 2009

Penerapan Syari’at Islam Di Desa Padang Bulukumba Sulawesi Selatan (1-bersambung)

Penerapan Syari’at Islam Di Desa Padang Bulukumba Sulawesi Selatan

Oleh: Lukman Ma’sa


Geliat pemberlakuan perda-perda bernuansa syari'ah memang telah bermunculan di berbagai daerah di Nusantara. Kesadaran akan pentingnya menjadikan Islam sebagai sistem yang mengatur kehidupan manusia lambat laun menemukan partisipannya.

Meski hal itu tidaklah mudah untuk diwujudkan, mengingat banyak arus-arus pemikiran yang justru bertentangan dengan keyakinan tersebut, kaum muslimin yang komit terhadap ajarannya terus berupaya untuk mewujudkannya.

Salah satu wilayah yang setidaknya memiliki unsur-unsur perda syari'at (meski tidak sempurna) adalah Bulukumba.

Salah satu wilayah di Sulawesi Selatan ini bisa dijadikan satu dari beberapa data peta da'wah bagi para da'i mengingat pemberlakuan perda-perda bernuansa syari'ah tersebut justeru sanggup dijalankan dan didukung oleh elemen partai besar yang tidak berasaskan Islam. Artinya, sesungguhnya syari'at Islam dapat diterima di masyarakat tak hanya dalam komunitas muslim saja.


Pendahuluan

Menegakkan Syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari adalah sesuatu yang harus dilaksanakan karena demikianlah yang diperintahkan Allah kepada setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan.

Allah berfirman dalam al-Qur’an yang artinya:“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain), tentang urusan mereka...”(Q.S. Al-ahzab/33:36).

Demikian pula Rasulullah saw jauh hari telah mengingatkan kita akan wajibnya berhukum hanya kepada apa yang beliau bawa sebagaimana sabdanya:
لاَيُؤمِنُ اَحَدُ كُم حَتَّى يَتَّبِعُ هَوَاهُ لِمَاجِئتُ بِهِ.

Artinya: “Salah seorang diantara kamu tidak beriman sebelum hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa”.

Di sini sangat jelas bahwa iman seseorang tidak sempurna kecuali jika beriman kepada Allah, rela kepada keputusannya dalam masalah kecil maupun besar, berhukum kepada syari’at-Nya dalam segala masalah, baik yang berkaitan jiwa, harta, dan kehormatan.

Selain ayat-ayat, hadits, dan keterangan ulama di atas masih banyak ayat lain yang memerintahkan umat Islam agar menjalankan Syari’at Islam, menegakkannya di muka bumi ini dan menjadikannya sebagai sumber hukum. Maka dari sini penerapan Syariat Islam bagi umat Islam merupakan sesuatu yang mendesak untuk segera dilaksanakan.

Sehubungan dengan perjuangan penegakan Syari’at Islam di Indonesia, dan sejak awal masuknya Islam ke Nusantara, ia telah mengalami pasang surut. Salim Segaf Al-Jufri mengutip tulisan Muhammad Iqbal mengatakan bahwa sebenarnya sejak Islam masuk ke Indonesia abad ke-7, penerapan Syari’at Islam sudah berlangsung di beberapa kerajaan Nusantara baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara.

Setelah sekian puluh tahun isu penerapan Syari’at Islam hilang dari pentas nasional, maka pada era reformasi yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaannya tanggal 21 Mei 1998, penerapan Syari’at Islam di Indonesia kembali disuarakan kaum Muslimin baik melalui parlemen maupun di luar parlemen.

Seperti yang terjadi di parlemen ketika sidang tahunan MPR RI tanggal 7-18 Agustus 2000, dimana Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) dan Fraksi Partai Bulan Biantang (F-PBB) dengan konsisten memperjuangkan masuknya kembali ‘tujuh kata’ dalam Piagam Jakarta ke dalam rumusan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Tapi usulan ini pun kembali mendapat penentangan dan pro-kontra di kalangan anggota dewan maupun masyarakat secara umum yang pada akhirnya mengalami kegagalan untuk yang kesekian kalinya.

Tidak berhasilnya usulan perubahan Pasal 29 UUD 1945 terutama ayat (1) tidak menyurutkan semangat kalangan pendukung Piagam Jakarta untuk terus memperjuangkan penerapan Syari’at Islam baik dalam forum konstitusional kenegaraan maupun di masyarkat.

Ormas-ormas Islam seperti, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Hizbullah, Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Milisi Ansharullah, Hizbut Tahrir, Al Irsyad Al Islamiyah, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), Pelajar Islam Indonesia (PII). Serta masih banyak lagi ormas, yayasan dan lembaga da’wah yang turut menyuarakan penerapan Syari’at Islam .

Begitu pula keadaannya dengan sejumlah daerah di seluruh Nusantara, mereka turut berjuang menuntut penerapan Syari’at Islam di daerahnya masing-masing, tak terkecuali Sulawesi Selatan.

Sudah menjadi fakta historis bahwa sejak abad ke-14, Islam di Sulawesi Selatan sudah menjadi anutan para raja dan rakyatnya. Syari’at Islam menjadi dasar orientasi dan way of life.

Jika dilihat dari sisi filosofis, Islam di Sulawesi Selatan telah menjadi sistem nilai kehidupan masyarakat. Aktualisasi Islam sebagai nilai dasar filosofi kehidupan orang Bugis, Makassar ataupun Mandar, sungguh banyak bertebaran dalam khasanah budaya masyarakat Sulawesi Selatan.

Dengan kata lain, Islam telah membudaya dan secara turun temurun telah berasimilasi dalam sistem budaya. Dari sudut pandang sosiologis, daerah Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa masyarakat disana mayoritas beragama Islam dan dikenal sangat religius.

Kondisi ini jelas merupakan argumentasi sosiologis untuk menegakkan Syari’at Islam secara formal. Dengan kata lain, dilihat dari sisi historis, filosofis dan sosiologis, formalistik penegakkan Syari’at Islam di Sulawesi Selatan telah menjadi sebuah keharusan sejarah.

Di era reformasi, elemen-elemen muda seperti Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) Sulawesi Selatan mengadakan seminar dan dialog terbuka Syari’at Islam sebagai respon terhadap dinamika politik tanah air dan besarnya animo masyarakat untuk pemberlakuan Syari’at Islam secara legal formal.

Dari dialog ini kemudian merekomendasikan pelaksanaan kongres Umat Islam se-Sulawesi Selatan di Makassar.

Maka pada tanggal 19-21 Oktober 2000, FUI Sulawesi Selatan menggelar Kongres Umat Islam Pertama se-Sulawesi Selatan yang bertempat di Asrama Haji Sudiang Makassar, yang melahirkan beberapa keputusan dan pembentukan suatu wadah perjuangan penegakan Syari’at Islam yang di sebut Komite Persiapan Penegakan Syari’at Islam (KPPSI) Sulawesi Selatan.

KPPSI diberi amanat memperjuangkan pemberlakuan Syari’at Islam di Sulawesi Selatan melalui otonomi khusus secara konstitusional, demokratis dan tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

KPPSI dalam kiprahnya melaksanakan amanah kongres telah berhasil membentuk KPPSI daerah di 24 Kabupaten/kota se-Sulawesi Selatan. Pemerintah/DPRD propinsi pun memberikan respon yang sangat baik dengan adanya kesepakatan bersama anggota DPRD Sulawesi Selatan untuk melegal-formalkan pemberlakuan Syari’at Islam di Sulawesi Selatan, dengan rekomendasi DPRD Sulawesi Selatan tertanggal 23 April 2001 dan ditandatangani langsung pimpinan DPRD, serta seluruh ketua fraksi.

Rekomendasi tersebut diantar dan dijelaskan langsung kepada pimpinan DPR-RI pada tanggal 25 April oleh wakil ketua DPRD Sulawesi Selatan beserta seluruh ketua frraksi dan pengurus KPPSI. Untuk selanjutnya, rekomendasi di sampaikan kepada Presiden RI dengan surat No. 309/DPRD/2001 tanggal 24 April 2001.

Kesepakatan di atas ternyata juga mendapat respon baik oleh Paguyuban lintas fraksi Sulawesi Selatan DPR-RI. Ini terlihat dengan dibentuknya kelompok kerja (pokja) dengan SK tanggal 18 Mei 2001 yang antara lain bertugas melakukan pengkajian terhadap konsep Syari’at Islam dan rancangan operasionalnya secara akademis, komprehensif, dan konstitusional.

Pada tanggal 29-31 Desember 2001, masyarakat Islam Sulawesi Selatan kembali mengadakan Kongres Umat Islam yang kedua di Makassar, sebagai penegasan atau penajaman dan mengkristalisasikan penegakan Syari’at Islam menuju pembentukan otonomi khusus di daerah Sulawesi Selatan.

Pada tanggal 26-28 Maret 2005, KPPSI kembali memprakarsai Kongres Umat Islam Sulawesi Selatan ketiga di Kabupaten Bulukumba yang melahirkan beberapa rekomendasi yang pada intinya meminta dan mendesak pemerintah/DPRD Sulawesi Selatan untuk terus menyuarakan otonomi khusus pemberlakuan Syari’at Islam di Sulawesi Selatan.

Sambil menunggu (perjuangan) pemberlakuan UU otonomi khusus tersebut, KPPSI terus melakukan langkah-langkah konkrit dalam upaya menciptakan kondisi masyarakat yang kondusif agar siap menerima pemberlakuan Syari’at Islam.

Langkah-langkah tersebut, Pertama, Melaksanakan sosialisasi secara intensif dan menyeluruh tentang pengertian Syari’at Islam, untuk menyadarkan masyarakat betapa pentingnya kewajiban menegakkan Syari’at Islam.

Kedua, Memanfaatkan UU No. 22/1999 tentang Otoda, dengan mendesak pemerintah, DPRD kabupaten/kota se-Sulawesi Selatan untuk menerbitkan perda tentang keagamaan dan anti maksiat.

Ketiga, Para ulama, cendikiawan muslim, muballig/da’i dan tokoh umat agar mendorong masyarakat untuk mengamalkan secara optimal ajaran Islam dengan da’wah bî al-hal dan tauladan.

Keempat, Para pakar hukum Islam, ulama ahli fiqh menyusun konsep rancangan kitab undang-undang syari’ah yang dirumuskan bersama sehingga merupakan ijtihad jamâ’i.

Kelima, Mendirikan shalat lail dan witir setiap malam untuk memohon pertolongan Allah SWT, berupa petunjuk, bimbingan dan membuka hati umat, para pemimpin untuk berjuang menegakkan Syari’at Islam secara kaffah.

Dalam melakukan kegiatan-kegiatan ini, KPPSI mendapat dukungan dan respon yang sangat baik dari masyarakat Sulawesi Selatan. Hal itu dapat dilihat dari respon beberapa pemerintah Kabupaten di Sulawesi Selatan yang menyatakan kesiapannya untuk menerapkan Syari’at Islam di daerahnya masing-masing, dan kemudian ditindak lanjuti dengan pembuatan perda-perda keagamaan.

Bahkan di Kabupaten Maros saat ini sudah terlihat berlangsungnya penerapan Syari’at Islam. Sebagai contoh, apabila adzan dzuhur berkumandang, seluruh pegawai kantor Bupati menghentikan pekerjaannya dan bergegas menunaikan shalat berjama’ah. Seluruh pegawai perempuan pun diwajibkan memakai jilbab.

Sedangkan di Kabupaten Bulukumba sudah diterapkan empat Peraturan Daerah (Perda) tentang Syari’at Islam.

Bulukumba merupakan kabupaten paling ujung selatan Sulawesi Selatan, berjarak kurang lebih 153 km dari ibu kota propinsi Sulawesi Selatan, dengan jumlah penduduk 370.728 jiwa yang mayoritasnya beragama Islam, sebanyak 99,88 persen. Luas wilayah Bulukumba sekitar 1.154,67 km2 yang terbagi dalam 10 Kecamatan, 125 desa/kelurahan. Kondisi sosial budaya masyarakat Bulukumba berlatar belakang maritim dan agraris.

Setelah pemberlakuan empat perda tersebut tahun 2003 lalu, Bulukumba telah menunjukan perkembangan yang sangat pesat dimana masjid-masjid kian hidup oleh ramainya jama’ah, beberapa fasilitas perkantoran serta sekolah lebih bernuansa Islami karena dilengkapi dengan kaligrafi al-Qur’an, seluruh siswa-siswi beserta guru-guru yang beragama Islam memakai busana muslim dan muslimah.

Bahkan menurut penelitian, sebelum memberlakukan empat perda tersebut, 30 persen penduduk Bulukumba buta aksara al-Qur’an, angka kriminalitas, kenakalan remaja dan penyimpangan sosial pun sangat tinggi.

Namun setelah mencanangkan diri sebagai kabupaten yang menerapkan Syari’at Islam, angka 30 persen tersebut dapat didongkrak menjadi 100 persen bisa baca al-Qur’an, tingkat kriminalitas menurun hingga 80 persen.

Bupati Bulukumba dalam mensosialisasikan Syari’at Islam di daerahnya memprioritaskan pada enam segmen keagamaan yang terbingkai dalam “Crash Program Keagamaan”, yaitu:

(1) Pembinaan dan Pengembangan Pemuda Remaja Masjid, (2) Pembinaan dan Pengembangan Taman Kanak-Kanak al-Qur’an, (3) Pembinaan dan Pengembangan Majelis Taklim, (4) Pembinaan dan Pengembangan Perpustakaan Masjid, (5) Pembinaan dan Pengembangan Hifz al-Qur’ân, (6) Pembinaan dan Pengembangan Seni Berbusana Islami.

Selain itu, yang juga menjadi perhatian Bupati adalah pembembentukan desa percontohan muslim. Melalui desa percontohan ini diharapkan bisa menjadi pelopor pemberlakuan Syari’at Islam dalam sikap-perilaku sehari-hari, dan jadi desa pelopor zakat.

Setidaknya hingga Maret 2005 sudah terbentuk 12 desa percontohan muslim, salah satunya adalah Desa Padang, yang diresmikan sendiri oleh Bupati Bulukumba, H.A. Patabai Pabokori pada tanggal 11 Agustus 2004.

Desa Padang yang berjarak sekitar 12 km dari kota Bulukumba ini adalah desa yang sangat pro-aktif melaksanakan empat perda yang telah dikeluarkan pemerintah Kabupaten itu.

Bahkan untuk melancarkan pemberlakuan empat perda tersebut, Kepala Desa Padang, Andi Rukman Jabbar bersama jajarannya mengeluarkan peraturan desa tentang hukuman cambuk bagi pelanggaran hukum Syari’at seperti pelaku perzinaan, peminum minuman beralkohol, judi dan penganiayaan.

Dengan diberlakukannya Perdes ini sejak awal 2006, penduduk desa semakin merasa aman dan tentram, karena tidak ada lagi pemabuk, penjudi dan pencurian, bahkan kesadaran beragama masyarakat pun semakin meningkat, terlihat dari kegiatan-kegiatan keagamaan seperti majelis ta'lim yang semakin semarak. (bersambung)



Keterangan:
- Artikel / tulisan ini sebenarnya merupakan skripsi saudara Lukman (Lukman Bin Ma’sa) dengan judul : ”Penerapan Syari’at Islam Melalui Peraturan Daerah” (Studi Kasus Desa Padang Kec. Gantarang Kab Bulukumba Sulawesi Selatan), pada 11 April 2007.
- Skripsi setebal 142 halaman ini diajukan oleh Lukman (Lukman Bin Ma’sa) kepada Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah (STID) Mohammad Natsir, Jakarta, untuk memenuhi sebagian syarat mencapai gelar sarjana Ilmu Da’wah.
- Skripsi aslinya sudah saya baca melalui www.scribd.com.
- Artikel ini telah dimuat di beberapa website dan blog dunia maya, antara lain www.jurnalstidnatsir.co.cc, yang saya rekam pada Hari Sabtu, 22 Agustus 2009. Selanjutnya artikel ini saya muat secara bersambung di http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/. Terima kasih atas pengertian dan kerjasamanya. (Wassalam: Asnawin)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

asslm,. daeng,/
bisa minta no hpnya g?
kbtulan aq mw skripsi ttg perdah syariah di bulukumba,. aq mahasiswa ilmu pemerintahan n ilmu poltik ugm. kirim via email aja daeng,. hendra.juansyah@yahoo.co.id
trimakasih daeng!