PERAHU PINISI
'Nenek Moyangku Orang Pelaut'
Catatan: Artikel ini dimuat pada Majalah Indonesia Media edisi Desember 1999. Saya kutip dari www.indonesiamedia.com, pada hari Senin dinihari, 23 Agustus 2009. (Wassalam: Asnawin)
Dalam rangka penggalakan negara Maritim kembali, sesuai dengan kebutuhan wawasan nusantara yang banyak di usulkan oleh banyak tokoh tokoh Sosial budaya termasuk: Pramoedya Ananta Toer (pengarang buku "Hoakiaw" dan "Nanyi sunyi seorang bisu", Sarwono Kusumaatmadja (menteri eksplorasi laut dan mantan menteri lingkungan hidup).
Kedua tokoh ini dengan sangat serius pernah menekankan masalah penggalakan negara Maritim untuk Indonesia, sewaktu mereka memberikan konperensi Pers di Los Angeles, atas undangan Committee for Human Rights in Indonesia pada awal tahun ini, walaupun mereka berdatangan bukan pada waktu yang bersamaan.
Dipercaya bahwa usulan kembali ke negara maritim ini bukan hanya semata lahir dari kedua tokoh diatas, namun memang disadari oleh masyarakat Indonesia atas kebutuhan perlindungan kekayaan laut dan pemanfaatan sumberdaya laut nusantara.
Usulan ini ditanggapi secara nyata dengan pengangkatan Laksamana TNI Widodo sebagai panglima TNI (dulu Pangab), dan penciptaan menteri eksplorasi laut dalam kabinet baru ini.
Masih segar dalam ingatan kami atas kunjungan KRI Dewa Ruci ke AS. Mengingatkan kami kembali kepada "Nenek moyang kita orang pelaut" dan dilaut kita berjaya (Jalesveva Jaya Mahe). Untuk itu kami coba menahyangkan kebudayaan kami, "Pinisi" yang telah terbukti menjelajah ke penjuru dunia dari Madagaskar sampai ke pantai barat Amerika.
LEGENDA
Konon kabarnya Sawerigading, putra mahkota kerajaan Luwu di pesisir Sulawesi Selatan. Sang Pangeran yang gagah perkasa in baru pulang melanglang buana. Apa hendak dikata, di kampung halaman sendiri, Ia justru jatuh hati pada saudara kembarnya sendiri, Watentri Abeng nan jelita.
Tentu saja Sang Puteri menolak cinta sumbang ini. Raja dan Permaisuri pun murka. Itu tak boleh terjadi. Niat Sawerigading hanya akan mendatangkan petaka bagi bumi Luwu.
Oleh karena itu, Sawerigading harus diIaknat. Tapi, ya dasar saudara kembar, Watentri Abeng jadi ikut berduka. Untuk menghibur Saweri, Watenri menyuruh saudara kembarnya ini pergi ke negeri Tiongkok.
Di sana, kata Watentri, ada seorang puteri yang wajahnya mirip dengan Watenri. Puteri We Cudai namanya. Sawerigading menerima usulan adiknya itu. Celakanya, Sawerigading tidak dapat berlayar karena kapalnya sudah tua dan rapuh. Untuk membuat sebuah kapal yang baru dan tangguh, ditunjukkanlah kepadanya pohon welengrenge, sebatang pohon milik Dewata di Mangkutu. Pohon bertuah itu coba ditebang. Tetapi, sekuat daya diupayakan, pohon tak juga kunjung tumbang.
Atas saran Wetenri Abeng, diadakanlah upacara besar-besaraan, dipimpin Iangsung oleh nenek Sawerigading, seorang sakti mandraguna. Namun, tatkala pohon bertuah itu rubuh, Pohon welengrenge langsung masuk ke perut bumi membawa serta nenek Sawerigading.
Anehnya, sesat kemudian muncul sebuah parahu, bak tersembulkan dari perut bumi, megah nan indah. Maka berlayarlah Sawerigading menuju negeri Tiongkok.
Namun sebelum dia bertolak, sempat dia mengucap sumpah (mungkin karena patah hatinya) bahwa dia tidak akan pulang ke tanah Luwu, kecuali bila tulangnya dibawa tikus.
Sawerigadingpun berhasil mempersunting puteri We Cudai dari Tiongkok . Namun setelah sekian lamanya dia tinggal di negeri Tiongkok timbul juga rasa rindu ke tanah kelahirannya, akhirnya membuat dia berlayar kembali ke tanah Luwu.
Rupanya dia lupa akan sumpahnya, dan dia kembali berlayar pulang dengan perahu Walengrenge dulu. Dewata menjadi murka, menjelang perahu mendekat ke pantai Luwu, tiba-tiba perahunya pecah.
Pecahan perahunya terdampar di 3 tempat, yaitu seluruh papan lambung perahu terdampar di Ara. Tali temali dan layarnya terdampar di Bira, sedangkan lunas yang ada pada haluan sampai buritan terhempas di Lemo-lemo.
Oleh masyarakat bagian bagian perahu itu dirakit kembali menjadi sebuah perahu yang megah dan kelak perahu itu dinamakan perahu Pinisi atau penes.
Dari cerita rakyat inilah konon muncul ungkapan "Panre patangan’na Bira, Paingkolo tu Arayya, Pabingkung tu Lemo-lemoa" Maksudnya; Ahli melihat dari Bira, ahli memakai singkolo (alat untuk merapatkan papan) dari Ara, dan ahli menghaluskan dari Lemo-lemo.
Ungkapan ini tentu berkaitan dengan kemampuan membuat perahu yang akhirnya diwariskan turun-temurun. Para pengguna perahu pinisi yakin, bila para ahli dari ketiga daerah ini terlibat dalam pembuatan perahu, dapat dipastikan hasilnya akan sangat prima.
Walau kemudian perahu pinisi sangat populer sebagai armada pelayaran rakyat, menjadi alat pengangkut dan menjembatani kebutuhan masyarakat dari pulau ke pulau di Indonesia, namun ada juga yang mengatakan bahwa nama pinisi yang dilekatkan pada perahu pelaut-pelaut Bugis dari Sulawesi Selatan itu, sebenarnya berasal dari sebuah bandar di Laut Tengah (Italia) bernama Venice.
Bandar itu termasuk bandar yang ramai disinggahi oleh kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Khususnya ketika rempah-rempah dari bumi nusantara ini mengalir ke Eropa.
Suku Bugis Makasar memang biasa mengabadikan nama-nama tempat yang penuh kenangan atau yang mempunyai kesan istimewa pada perahunya. Suku Bugis Makasar juga mengidentikkan perahunya dengan sejenis ikan yang berenang sangat cepat di laut lepas. Berharap perahunya dapat lari seperti ikan itu, pemilik perahu pinisi banyak pula yang menamakan perahunya dengan ‘Pinisi Palari’.
Dari proses perkembangan Pinisi dapat kita jumpai dari macam prototypenya yang dinamakan "Adarak", yaitu papan yang bersusun tanpa paku, lalu berkembang menjadi "Nisikkok", diikat, kemudian menjadi "Salompong" yaitu memiliki undakan pada haluannya.
Zaman menuntut Pinisi bermetamorphosa menjadi "Jonggolang", dengan haluan tertutup. Sampai pinisi ini harus menyesuaikan dengan technologi modern, sehingga sulit akhirnya kita mengidentifikasikan yang mana pinisi yang asli.
Tapi pada dasarnya Pinisi yang asli adalah yang bertiang dua. Pinisi banyak terlihat di pelabuhan Sunda Kelapa (Pasar Ikan), masih digunakan untuk angkutan tradisionil intersuler.
Pembuatan Perahu Pinisi
Tana Beru adalah salah satu dimana kemegahan pinisi dilahirkan. Dari Ibukota Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan - 176 KM dari Ujungpandang atau 23 KM dan Bulukumba inilah sekarang perahu pinisi banyak diproduksi.
Para pembuat perahu tradisional ini, yakni: orang-orang Ara dan Bira, yang secara turun temurun mewarisi tradisi kelautan nenek moyangnya. Upacara ritual juga masih mewarnai proses pembuatan perahu ini. Hari baik untuk mencari kayu biasanya jatuh pada hari kelima dan ketujuh pada bulan yang berjalan.
Angka 5 (naparilimai dalle’na) yang artinya rezeki sudah di tangan. Sedangkan angka 7 (natujuangngi dalle’na) berarti selalu dapat rezeki. Setelah dapat hari baik, lalu kepala tukang yang disebut "punggawa" memimpin pencarian.
Sebelum pohon ditebang, dilakukan upacara untuk mengusir roh penghuni kayu tersebut. Seekor ayam dijadikan sebagai korban untuk dipersembahkan kepada roh. Jenis pohon yang ditebang itu disesuaikan dengan fungsi kayu tersebut. Pemotongan kayu untuk papan selalu disesuaikan dengan arah urat kayu agar kekuatannya terjamm. Setelah semua bahan kayu mencukupi, barulah dikumpulkan untuk dikeringkan.
Peletakan lunas juga memakai upacara khusus. Waktu pemotongan, lunas diletakkan menghadap Timur Laut. Balok lunas bagian depan merupakan simbol lelaki. Sedang balok lunas bagian belakang diartikan sebagai simbol wanita.
Setelah dimantrai, bagian yang akan dipotong ditandai dengan pahat. Pemotongan yang dilakukan dengan gergaji harus dilakukan sekaligus tanpa boleh berhenti. Karena itu, pemo-tongan harus dilakukan oleh orang yang ber-tenaga kuat.
Ujung lunas yang sudah terpotong tidak boleh menyentuh tanah. Bila balok bagian depan sudah putus, potongan itu harus dilarikan untuk dibuang ke laut. Potongan itu menjadi benda penolak bala dan dijadikan kiasan Sebagai suami yang siap melaut untuk mencari nafkah.Sedangkan potongan balok lunas bagian belakang disimpan di rumah, dikiaskan sebagai istri pelaut yang dengan setia menunggu suami pulang dan membawa rezeki.
Pemasangan papan pengapit lunas, disertai dengan upacara "Kalebiseang". Upacara "Anjerreki" yaitu untuk penguatan lunas, disusul dengan penyusunan papan dari bawah dengan ukuran lebar yang terkecil sampai keatas dengan ukuran yang terlebar. Jumlah seluruh papan dasar untuk perahu pinisi adalah 126 lembar.
Setelah papan teras tersusun, diteruskan dengan pemasangan buritan tempat meletakkan kemudi bagian bawah.
Apabila badan perahu sudah selesal dikerjakan, dilanjutkan dengan pekerjaan "a’panisi", yaitu memasukkan majun pada sela papan. Untuk merekat sambungan papan supaya kuat, digunakan sejenis kulit pohon barruk.
Selanjutnya, dilakukan allepa, yaitu mendempul. Bahan dempul terbuat dari campuran kapur dan minyak kelapa. Campuran tersebut diaduk Selama 12 jam, dikerjakan sedikitnya 6 orang. Untuk kapal 100 ton, diperlukan 20 kg dempul badan kapal. Sentuhan terakhir adalah menggosok dempul dengan kulit pepaya.
Proses terakhir kelahiran pinisi adalan peluncurannya. Upacara selamatan diadakan lagi. Untuk perahu dengan bobot kurang dan 100 ton, biasanya dipotong seekor kambing. Sedangkan untuk kapal 100 ton keatas, dipotong seekorsapi.
Ketika pinisi sudah mengapung dl laut, barulah dipasang layar dan dua tiang. Layarnya kadang-kadang berjumlah tujuh. Kapal yang diluncurkan biasanya sudah siap dengan awaknya.
Peluncuran kapal dilaksanakan pada waktu air pasang dan matahari sedang naik. Punggawa alias kepala tukang, sebagal pelaksana utama upacara tersebut, duduk di sebelah kiri lunas. Doa atau tepatnya mantra pun diucapkan:
Bismillahir Rahmanir Rahim BuIu-bulunnako buttaya, patimbonako bosiya, kayunnako mukmamulhakim, laku sareang Nabi Haidir (Artinya: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Kau adalah bulu-bulunya tanah, tumbuh karena hujan, kayu dari kekayuan dari Mukmanul Hakim saya per-caya Nabi Haidir untuk menjagamu).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
-
IKAN DUYUNG. Jumaning (60), membersihkan tubuh ikan duyung yang ditemuinya di tepi pantai saat mencuci bentang (tali rumput laut) di pesi...
-
Andi Sultan Daeng Radja bersama tujuh orang lainnya telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui Surat Keputusan Presiden RI (Sus...
-
BUNDARAN PHINISI. Kabupaten Bulukumba yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, terdiri atas 10 kecamatan dan 126 ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar