Minggu, 02 Agustus 2009

Tunrung Pakkanjara, Sumpah Kesetiaan Masyarakat Gantarang bagi Bupati, A.M. Sukri (1)

Tunrung Pakkanjara, Sumpah Kesetiaan Masyarakat Gantarang bagi Bupati, A.M. Sukri (1)

Aru Saoraja: Sebuah Reinterpretasi


Harian Fajar (www.fajar.co.id)
12 Sep 2005

KERIUHAN manusia yang memadati halaman saoraja (istana) sederhana itu, mendadak lebur oleh tunrung pakanjara' (sejenis pukulan gendang Makassar) dari atas panggung setinggi manusia yang dibangun khusus sekitar 2 meter dari tangga saoraja.
Tunrung pakanjara' yang bersumber dari 20 gendang tambah perangkat musik tradisional Makassar lainnya itu, dimainkan oleh Sanggar Katangka, Sungguminasa, pimpinan Kalimuddin Tombong.

Seorang laki-laki (didampingi istri) dalam pakaian putih-murni dan topi yang baru saja melewati ambang pintu saorajae, melangkah ke luar, ke anak tangga teratas. Dia mengangguk senyum menyambut ajakan seorang laki-laki yang berpakaian tradisional Bugis. Pasangan suami-istri itu lalu turun menapaki anak tangga demi anak tangga. Di anak tangga terbawah keduanya disambut oleh empat sahabatnya sejak kecil, langsung ditadah dengan lellu' (tudung istana) yang dipersiapkan sejak tadi.

Seorang lagi laki-laki, juga dengan istri dan dalam pakaian putih-murni dan topi, menyusul. Di belakangnya lagi melangkah tiga anak laki-laki yang masing-masing berusia SLA, SMP, dan SD.
Mereka langsung ke sebuah panggung kecil. Enam perempuan dalam kostum tradisional Makassar menyusulnya.

Ketika kedua pasangan suami-istri dan 3 anak laki-laki itu sudah di atas panggung kecil, lalu berbalik, pukulan gendang berubah, dan kini dari kelompok Makassar Art. Keenam perempuan yang menyusulnya tadi itu jongkok mengawali tari Pakurru' Sumanga' (ciptaan koreografer Ida Joesoef Madjid). Lagu Ati Raja (ciptaan musisi Baba' Wak Rowa', 1800-an) lewat Awaluddin dari Makassar Art yang awalnya mendayu, makin lama makin jelas, dan kemudian merambat ke relung hati terdalam.

Akhirnya, antara ketiga unsur (sastra lewat syair, musik lewat nada dan irama, tari lewat gerak) yang audio visual itu, terjadi perpaduan yang cair, sehingga yang terkomunikasi adalah kadar ritual, serah diri pada Kemahakuasaan Tuhan.

Pakurru' Sumanga' yang merupakan eksposisi penampilan beranjak ke tanjakan. Lima puluh enam laki-laki dari satu arah, masuk dengan langkah-langkah panjang, tegap, langsung jongkok di depan panggung. Sebuah monolog melancar dari laki-laki terdepan: Tabe', ta'ddampengenngi atatta, riolo ale'bbireta, ritudangeng matanreta (Permisi, ampunkan hamba, di depan kemuliaanmu, di atas singgasanamu).

Tangan kiri ke-56 laki-laki yang dari tadi melekat di pinggang kiri, mereka dorong ke depan, sehingga hulu keris mereka mencuat. Pelan tangan kanan mencabut keris, ujungnya pelan dirapatkan di hidung, di kening, kemudian dengan tangkas diacungkan lurus ke atas bersamaan dengan dongakan kepala dan lantunan vokal: a!

Monolog kembali terdengar: "Puakku (Sembahanku), kini, dan untuk selamanya..." Keris yang teracung ke atas pelan diturunkan mengarah ke depan: "Terimalah aru, pernyataan sumpah kesetiaan kami..." Dengan tangkas keris dihunjamkan ke bawah menyentuh bumi, lagi-lagi disertai vokal: a!

Namun, hanya satu-satunya vokal itulah yang terdengar, karena dipatahkan oleh satu patah kata bernada rendah, tidak keras tapi padat dari Tumarilaleng (Robert Mitchel Pelealu): "Hentikan." Gendang meledak satu kali, pui'-pui' melengking satu kali. Selanjutnya, beku. Kebekuan selama beberapa tarikan napas itu, kemudian pelan cair oleh lanjutan suara bernada rendah tadi. Mengapa?

Berangja' kunipate'ba', pangkulu'ja' kunisoweyang (Saya hanya parang yang ditetakkan, kapak yang diayunkan); itulah antara lain isi aru, pernyataan sumpah kesetiaan yang sekian lama ini diucapkan oleh kalangan abdi bagi tempatnya mengabdi. Tapi masih bisakah pernyataan sumpah kesetiaan macam itu diterima pada saat sekarang ini? Masihkah seorang abdi sekadar parang yang ditetakkan, menetak siapa saja sesuai keinginan yang menetakkannya? Masihkah seorang abdi hanya kapak yang diayunkan, meskipun arah kapak itu terayun ke dirinya?

Sumber : Fahmi Syariff, Aktivis DKM dan dosen Fak. Sastra Unhas.

Tidak ada komentar: