Minggu, 02 Agustus 2009

Tunrung Pakkanjara, Sumpah Kesetiaan Masyarakat Gantarang bagi Bupati, A.M. Sukri (2-Selesai)

Tunrung Pakkanjara, Sumpah Kesetiaan Masyarakat Gantarang bagi Bupati, A.M. Sukri (2-Selesai)

Kesetiaan Sejati Tidak Diucapkan, tapi Dilakukan


Harian Fajar (www.fajar.co.id)
13 Sep 2005

ARU Saoraja yang menandakan pelepasan masyarakat Gantarang bagi A.M. Sukri Sappewali menjadi Bupati Bulukumba pada 6 September 2005, pukul 10.00-12.00 di halaman saorajae di Ponre, Bulukumba, menantang aru, sumpah kesetiaan macam itu.
Itulah sebabnya saat Pimpinan Tubarani (Muhajir H Rasyid) yang memimpin 55 Tubarani (Pola Artistik Gantarang) mengawali sumpah kesetiaannya di depan Bupati Bulukumba, Tumarilaleng (Robert Mitchel Pelealu) menghentikannya, lalu mattabe' (minta izin) pada bupati untuk bicara.

Dan, setelah Tumarilaleng mendapat isyarat dari bupati, dia melanjutkan ucapannya: "Jangan kaget. Sumpah kesetiaan, mangngaru (bersumpah setia) sekarang ini tak ada artinya. Sebuah omong kosong. Yang Mulia telah menegaskan, kesetiaan sejati tidak diucapkan, tapi dilakukan, dibuktikan."

Sebagai bahan pertimbangan, di dalam Aru Saoraja diketengahkan dialog antara Arumpone (M. Alwy Gazali) dengan Kajao La Liddong (Safri M. Saleh) dalam gaya flash back (kilas balik) di atas panggung setinggi dua meter lebih. Dalam dialog tersebut, ada dua hal yang diangkat.
Pertama, tanrana namaraja tanae (tanda makmurnya negeri), yaitu: narekko malempu'i namacca arung mangkau'e (apabila raja yang memerintah jujur dan cerdas), dan tessisala-salae rilalempanuwa (tak ada konflik dalam negeri).

Kedua, tanra cinna-matena tana marajae (tanda-tanda runtuhnya kerajaan), yaitu: 1) kebrutalan, 2) jika raja yang memerintah tidak mau lagi diingatkan, 3) jika tidak ada lagi orang cerdas di dalam negeri, 4) jika hakim dan jaksa sudah makan sogok, 5) jika terjadi kesewenang-wenangan dalam negeri, dan 6) jika raja yang memerintah tidak lagi mengasihi rakyatnya.

Disebut pertimbangan oleh Tumarilaleng, karena: "Yang Mulia tidak akan memaksa kalian untuk mematuhinya atau tidak, karena kita adalah manusia yang sudah bisa berpikir. Kalau kita anggap baik, kita patuhi; tapi kalau kita anggap jelek, kita tinggalkan,"

Menjelang berakhirnya Aru Saoraja, sesuatu yang sangat mencekam terjadi. Kalau Aru Saoraja dikategorikan pertunjukan, maka setelah Tumarilaleng menekankan ajakan:

"Kita utamakan kesatupaduan, mulai dari keluarga, tetangga, ke seluruh warga, dan seterusnya sampai ke seluruh negeri, Insya Allah, Tuhan merahmati orang yang menyenangi kedamaian," pertunjukan telah berakhir. Tapi tidak. Aru Saoraja bukan pertunjukan, meskipun dalam proses penampilannya mendapat arahan dari aktor Syam Asrib dan sutradara Jacob Marala.

Suasana mencekam yang saya maksudkan adalah seusai kalimat ajakan tersebut di atas, A.M. Sukri Sappewali dalam kostum lengkap sebagai bupati, bangkit dari kursinya, dan berbicara dalam bahasa Indonesia dan bahasa Bugis, yang akhirnya begini: Tomatowa malebbi'kku, selessurekku, anri-anrikku, parinngerrangiya' narekko takkalupawa (Para orang tuaku yang mulia, Saudara-saudaraku, Adik-adikku. Ingatkanlah saya, jika saya terlupa).

Salam terakhirnya langsung disambut, lalu dilanjutkan dengan lantunan Subhanallah, Walhamdulillah, Walailaha IllaLah, Wallahu Akbar, yang kemudian berpadu dengan jenis pukulan gendang tunrung se're, tunrung tallu, tunrung panngallakkang, dan tunrung pakanjara'. Langit menguak, para rakyat menguak memberi jalan pada manusia A.M. Sukri Sappewali untuk melangkah, melangkah, dan terus melangkah ke depan.

Aru Saoraja bukan pertunjukan, tapi peristiwa budaya. Matahari terik, aspal meleleh, tantangan yang menggairahkan untuk dicengkeramai. Insya Allah.

Sumber : Fahmi Syariff, Penulis: aktivis Dewan Kesenian Makassar (DKM) dan dosen Fak. Sastra Unhas.

Tidak ada komentar: