Sebuah desa yang Pak Beye pasti tidaklah pernah dengar. Batukaropa namanya. Unik bukan? Saya jelaskan asal mula kata “batukaropa” terlebih dahulu. Nama itu berasal dari dua kata (bahasa bugis-konjo) yaitu “batu” yang berarti batu dan “karopa” yang artinya bersusun-susun dalam jumlah yang banyak. Kalau digabung, kira-kira artinya, batu yang bersusun-susun alias kampung dengan struktur daerah penuh batu.
---------------
Pak Beye Lebaran di Kampungku
Oleh Anis Kurniawan
Kompasiana (www.kompasiana.com)10 September 2010
http://sosbud.kompasiana.com/2010/09/10/pak-beye-lebaran-di-kampungku/
Gara-gara merespon tulisan Pak Kolonel Adjie, saya jadi kepikiran kalau saja Pak Beye lebaran di kampungku. Ehhm, mimpi apa saya ini. Berlebihan sekali rasanya berandai Pak Beye bakal berkunjung ke sebuah kampung nan jauh di Selatan Sulawesi-Selatan.
Sebuah desa yang Pak Beye pasti tidaklah pernah dengar. Batukaropa namanya. Unik bukan? Saya jelaskan asal mula kata “batukaropa” terlebih dahulu. Nama itu berasal dari dua kata (bahasa bugis-konjo) yaitu “batu” yang berarti batu dan “karopa” yang artinya bersusun-susun dalam jumlah yang banyak. Kalau digabung, kira-kira artinya, batu yang bersusun-susun alias kampung dengan struktur daerah penuh batu.
Kampung saya ini benar-benar sarangnya batu. Kalau sempat menggali tanah, susahnya bukan main. Mulai dari batu kecil hingga batu besar menghalangi linggis yang ditancap.
Ada sungai di sana, namanya sungai balantieng. Sungai itu pun penuh dengan batu. Kira-kira sepuluh tahun yang lalu, ada sebuah perusahaan tambang batu yang merampas batu-batu di sungai itu. Orang-orang tua kami tak pernah tahu kemana batu itu dibawa dan oleh siapa.
Ada pula perkampungan di pesisir sungai itu yang hidupnya dari batu. Batu bagi warga di kampung kami punya makna tersendiri. Batu sebagai kehidupan. Batu sebagai simbol keabadian. Batu sebagai senjata.
Saya teringat pesan ayah saya, ia bilang kalau berkelahi dengan siapa saja, saya tidak pernah takut meski pistol atau parang panjang mengancam. Kenapa? Kataku, ayahku bilang, selama ada batu, “tak ada kata mundur dalam benakku”. Wah pesan ini membuat saya dan sebagian besar warga kampung kami memang selalu punya cerita heroik dan tiada pernah takut untuk berkelahi dengan siapa pun. Kata ayah saya, selama itu untuk membela harga diri kita yang teraniaya atau membela kehormatan keluarga.
Semasa kecil, anak-anak lelaki di kampung kami gemar bermain bola. Meski tak tahu aturan dan cara-cara bermain bola. Bola kaki yang kami tendang pun biasanya hanya terbuat dari plastik tipis dan ringan. Kalau tak ada, buah jeruk bali pun jadi bola. Kapan pun yang penting main bola.
Seorang kawan saya bernama galung, dikenal paling pandai bermain bola. Bayangkan, meski tubuhnya kecil, ia bisa membawa bola dari daerahnya sendiri hingga ke gawang lawan dan gol. Pertandingan sepakbola yang digelar antar sekolah pun selalu kami menangkan kalau ada dia.
Kegemaran bermain bola selalu bersiko cedera pada kaki-kaki kami. Bayangkan, lapangan sepakbola yang kami pakai selalu dipenuhi dengan batu. Kerikil yang berserakan. Karena tak ada waktu menyingkirkannya, toh juga semakin disingkirkan semakin berserakan batunya, maka kami pun bermain bola di antara batu-batu tajam dan sewaktu-waktu kami kira bola sepak.
Itu sudah biasa. Sebab batu memang bukan lagi menjadi benda yang menakutkan. Batu sebagai senjata kami dalam perang-perangan di sekolah atau di kebun-kebun rimba tempat kami bermain. Batu pula yang biasa dipakai oleh orang-orang tua kami untuk melempari kami saat kami malas bekerja di kebun atau di sawah.
Ha…itulah kampung kami. Kampung batu. Kampung yang sebagian besar warganya juga berkepala batu. Kawan-kawan seumuran saya kebanyakan putus sekolah dan melancong ke Malaysia. Sebagian menjadi sopir mobil pete-pete atau tukang ojek. Sebagian besar menikah setelah tamat SMP punya anak banyak, bertani lalu merantau ke Malaysia pula.
Sebagian juga menyelesaikan sekolah hingga SMA.
Bagi kebanyakan di antara mereka, pekerjaan paling “jago” adalah menjadi “tentara” atau “polisi” dan sebagian juga bercita-cita jadi pegawai negeri. Berbaju dinas adalah kebanggaan besar bagi sebagian besar warga kampungku, maka kalau anda termasuk pegawai berseragam dinas pemerintah jalan-jalanlah ke kampungku. Pastilah akan jauh lebih dihormati, meskipun anda sebenarnya hanya bawahan atau pegawai biasa saja.
Kebanyakan dari mereka menghabiskan uangnya berpuluh-puluh juta bahkan ratusan juta untuk menyogok oknum tertentu agar anaknya diterima sebagai prajurit TNI atau anggota POLRI. Ini rahasia umum. Apa pun akan korbankan, berapa pun itu.
Fenomena lain yang juga menarik dan penting untuk diketahui Pak Beye adalah kampung kami ini dipenuhi Haji. Setiap tahun warga kampung berbondong-bondong ke mekkah.
Dengan segala cara pun dilakukan. Menjual harta warisan atau meminjam di bank. Status haji di kampung kami sangatlah istimewa dan sangat dihargai, barangkali itulah yang membuat kebanyakan dari mereka berhaji. Ahha.. sungguh berhati batu bukan. Tapi begitulah kenyataannya.
Kalau lebaran tiba, kita bisa menyaksikan haji-haji itu akan ke sebuah lapangan tempat shalat Id dengan pakaian ala haji di Mekkah. Seperti burung merpati yang keluar dari sarangnya lalu berkumpul sesamanya. Dan mereka selalu punya tempat khusus di shaff terdepan. Kalau Pak Beye lebaran di kampungku, pastilah akan dikelilingi pasukan haji tersebut. Ha…Pak Beye pasti akan didoakan agar terus kokoh sebagai Presiden kalau perlu tiga periode….ehhem.
Sayangnya, Pak Beye tak mungkinlah lebaran di kampungku. Pastilah lebaran di ibukota Jakarta bersama menteri-menterinya dan para duta besar negara sahabat. Kadang saya bertanya, kenapakah itu Pak Beye lebaran di ibukota terus, sesekali di kampung dong! Agar Pak Beye banyak tahu bagaimana rakyatnya di pelosok-pelosok.
Siapa tahu dengan berlebaran di kampung(ku), Pak Beye akan semakin paham, betapa kritikan Pak Kolonel itu ada benarnya. Hey, Pak Beye masih banyak warga di kampungku malah tak pernah merasakan listrik loh!
[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]
3 komentar:
Tulisan yang keren dari bung Anis di kompasiana.
Salam
Selamat berkarya terus kawan... karya kita akan membuat kita hidup selama bumi ini masih berputar.....
Posting Komentar