Sebuah papan penunjuk jalan di Tana Beru, Bulukumba. Papan ini menunjukkan bahwa Pantai Pasir Putih Bira berjarak 18 kilometer dari Tana Beru. Saya punya kesempatan mengabadikan papan penunjuk jalan ini karena terjadi kemacetan. (Foto: Lomar Dasika)
---------------------------------------
Catatan Perjalanan ke Bira, Bulukumba (4)
Menembus 18 KM Tana Beru Ke Tanjung Bira
Oleh Lomar Dasika
http://lomardasika.blogspot.com/2010/03/menembus-18-km-tanaberru-ke-tanjung
Akhirnya! Pawai gerak jalan dalam rangka Hari Kemerdekaan Indonesia pun selesai di Tana Beru. Yippie! Waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore! Saya menunggu di tempat ini sudah satu jam lamanya.
Sayang, saya nggak bisa melintas ke arah perahu-perahu yang ditambatkan karena bisa dipastikan saya akan menganggu para peserta pawai kalau sampai nekad melakukan itu. Jadi, ya sebaiknya saya menunggu sambil berfoto-foto saja.
Pemandangan rumah dan pohon-pohon rindang dengan latar belakang bukit nan hijau. (Foto: Lomar Dasika)
Bapak yang tadi menawarkan jasa angkutan ke saya segera memanggil saya. Beberapa orang lain lagi segera berebut naik angkutan-angkutan yang segera berjalan begitu pawai selesai. Tampak jelas sekali, saya hanya satu-satunya wisatawan dalam angkutan tersebut. Semua penumpang lain yang saya amati adalah penduduk lokal Tana Beru atau Tanjung Bira. Mereka semua mengamati saya dengan seksama dengan pandangan yang entah aneh entah takjub. Haha...serasa jadi artis sesaat di Tana Beru.
Oh yah, jangan bayangkan angkutan yang membawa saya adalah pete-pete yang biasa kita lihat yach. Walaupun tampak sejumlah pete-pete dengan bentuk standard di Tana Beru, namun yang mengangkut saya (dan sejumlah orang lainnya) adalah mobil kijang lama yang sudah dimodifikasi namun alih-alih berkesan baru, saya malah menangkap kesan bobrok. Cat-cat mobil yang sudah mengelupas, pintu masuk di bagian belakang, interior yang gelap semakin menambah kuat kesan jaman dahulu.
Sebuah angkutan kota yang oleh masyarakat Sulawesi Selatan disebut pete'-pete' sedang parkir menunggu penumpang di tepi jalan. (Foto: Lomar Dasika)
Mobil pun berjalan perlahan menembus sisa 18 KM dari Tana Beru ke Tanjung Bira. Mulai dari deretan rumah-rumah arsitektur Bugis hingga hutan bakau terpanjang dan terlama yang pernah saya lalui menjadi bagian perjalanan saya menuju Tanjung Bira. Aneh rasanya berjalan menembus hutan bakau yang lebat selama kurang lebih sekian kilometer.
Situasi jalanan aspal yang mulus di tengah hutan bakau ini menimbulkan kesan perjalanan tanpa ujung. Konon, kata banyak supir yang melintas, daerah ini cukup rawan. Bukan dalam arti kejahatan atau criminal, namun wilayah hutan bakau rawa yang saya lewati ini memang hampir tidak berpenghuni.
Saya tidak melihat adanya tiang listrik atau adanya instalasi listrik yang melintasi daerah ini. Pasti akan gelap sekali di areal ini pada malam hari, terlebih angkutan Tana Beru – Tanjung Bira akan berhenti total selepas matahari terbenam. Dengan kata lain, semua wisatawan akan terjebak di Tanjung Bira selepas malam keuali mereka memiliki kendaraan sendiri.
Rawannya wilayah ini tampak dari beberapa kecelakaan misterius yang pernah terjadi tempat ini. Pada siang hari, sejumlah motor atau mobil diparkir di sisi jalan di wilayah ini, baik pasangan muda mudi atau keluarga berekreasi di areal lapang diantara pepohonan bakau tersebut. Namun pada malam hari, jangan harap anda bisa menemukan ada orang di tempat ini. Nah, pengemudi na'as tersebut menjumpai seseorang yang melintas malam-malam di hutan bakau ini. Karena kemunculannya yang mendadak, nggak heran pengemudi pun menjadi kehilangan kontrol dan menabrak. Masih agak mistis yach daerah ini...
Sebuah rumah kayu khas Bugis Bulukumba. (Foto: Lomar Dasika)
Perjalanan panjang dan seakan tanpa ujung tersebut akhirnya berakhir ketika saya menjumpai sebuah pelabuhan besar di sebelah kiri jalan. Pelabuhan Bira. Sejumlah rumah-rumah banyak berdiri di jalanan di sekitar pelabuhan tersebut. Tepat di sisi kanan pelabuhan, adalah Pua Janggo, satu-satunya bukit yang ada di Tanjung Bira.
Berhubung sudah sore, tidak banyak aktivitas berarti terjadi di pelabuhan ini. Saya hanya menjumpai sejumlah ibu-ibu yang menumpang angkutan sambil mengantarkan anak-anak mereka dalam busana pawai pakaian daerah di sekolah masing-masing. Berhubung angkutan yang tersedia sedikit, mereka pun rela berjejal-jejal di dalam angkutan tersebut. Untungnya, ini tidak berlangsung lama. Tak lama mereka pun turun dan tak lama kemudian, angkutan tiba di deretan bungalow-bungalow dengan pemandangan pantai yang cantik. Tanjung Bira, saya sampai!
[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar