Metode pendekatan tasawuf yang diterapkan Dato Tiro di Bulukumba selanjutnya melahirkan akulturasi budaya di mana masyarakat Tiro kemudian menjalankan ajaran-ajaran tasawuf Dato Tiro dengan tidak sedikit pun meninggalkan budaya lama mereka yang tetap gemar terhadap masalah-masalah kebatinan, sihir, dan doti.
Perkawinan Agama dan Budaya Lokal
Oleh Muh. Quraisy Mathar
(Dosen UIN Alauddin Makassar)
Sintesis, asimilasi, dan akuturasi merupakan tiga anak hasil perkawinan antara agama dan budaya yang berlangsung dengan cara persuasif dengan saling menjaga ajaran asli dari agama atau budaya tersebut. Agama-agama yang datang ke wilayah tertentu pada awalnya tidak diterima oleh masyarakat lokal begitu saja. Hal ini disebabkan perbedaan cara pandang yang berbeda pula terhadap segala sesuatu yang terjadi di masyarakat lokal itu sendiri.
Bentuk perkawinan antaragama dengan budaya yang paling umum dalam kehidupan masyarakat adalah permohonan sebuah kelompok agama untuk bergabung dengan kelompok budaya yang lain. Agama menjadi kelompok pemohon yang akan diupayakan terintegrasi ke dalam kelompok budaya yang lain.
Agama tentu akan berusaha mencari ruang-ruang yang dapat menjadi pintu-pintu masuk ke bangunan-bangunan budaya lokal yang akan berusaha untuk dipadukan.
Perkawinan antaragama dan budaya akan sangat dipengaruhi oleh penentuan strategi sebagai jalur untuk mempersunting kelompok budaya yang lain. Tentu dibutuhkan proses penjajakan atau "pacaran" antaragama dan budaya yang selanjutnya akan meningkat kepada proses "lamaran" satu agama kepada budaya yang lain.
Agama yang baik bibit (asal usul), bobot (kepribadian) dan bebetnya (pendidikan) tentu akan sangat mudah diterima lamarannya oleh pihak budaya penerima (lokal). Sementara agama yang tidak bagus bibit, bobot dan bebetnya cenderung akan menerima penolakan dari budaya lokal.
Selanjutnya, agama akan melakukan akselerasi terhadap hasil lamarannya terhadap budaya lokal. Jika ditolak, maka akan muncul dua kemungkinan, yakni pertama agama akan kembali ke kelompok asalnya atau menjadi agama terasing, dan yang kedua adalah terjadinya agresi (pemaksaan) yang dapat kita sebut juga sebagai proses "kawin paksa".
Agresi budaya model ini oleh Moyer disebut dengan istilah agresi instrumental. Sementara akselerasi agama terhadap hasil lamarannya yang diterima oleh budaya lokal akan berujung kepada proses perkawinan antaragama dan budaya lokal.
Perkawinan antara agama dan budaya tentu juga membutuhkan strategi yang lain, misalnya ritual mappacci atau korontigi yang sering kita temukan dalam ritual pra-perkawinan di dalam tradisi Bugis-Makassar. Ritual pra-perkawinan merupakan ritual persiapan yang dilakukan oleh budaya lokal sebelum menerima agama baru sebagai calon mempelainya.
Ritual pra-perkawinan ini biasanya berbentuk dialog atau pertemuan antarpemangku adat lokal. Dialog atau pertemuan tersebut akan merumuskan tentang banyak hal, misalnya tentang pakaian apa yang akan digunakan, makanan apa yang akan disajikan atau berapa uang "panai"nya (mahar).
Perkawinan antaragama dan budaya ini selanjutnya akan berproses untuk menghasilkan tiga kemungkinan dari bentuk keturunannya (anak), yakni : (1) Sintesis, sebuah budaya baru (2) Asimilasi, budaya campuran, dan (3) Akulturasi, budaya gabungan.
Sintesis adalah anak budaya baru yang direpresentasikan seperti air panas dan air dingin dalam sebuah gelas yang ketika diaduk akan menghasilkan air baru yang disebut air hangat, bukan air panas dan bukan air dingin lagi. Contoh sintesis agama dan budaya adalah lahirnya songkok, sajadah, tasbih, halal bi halal, takbir keliling dan lain sebagainya sebagai produk budaya yang betul-betul baru.
Asimilasi adalah anak budaya campuran yang direpresentasikan seperti kopi dan susu dalam sebuah gelas yang ketika diaduk akan bercampur dan tetap terasa sebagai campuran antara rasa kopi dan susu. Contoh asimilasi agama dan budaya adalah lahirnya ritual barasanji, maudu' lompoa (perayaan maulid Nabi) dan lain sebagainya sebagai produk budaya campuran agama dan budaya.
Sementara, akulturasi adalah anak budaya gabungan yang direpresentasikan seperti minyak dan air dalam sebuah gelas yang dapat diaduk sebagai sesama bahan cair, namun tetap tidak akan bercampur. Contoh akulturasi agama dan budaya adalah lahirnya manasik haji, khitanan (sunatan) massal dan lain sebagainya sebagai produk budaya gabungan agama dan budaya.
Ketika seorang berkata "agama adalah sebuah budaya", sebagian orang pun tersentak dan balik bertanya "Apa maksud pernyataan tersebut?" Sikap pro dan kontra pun bermunculan. Kemudian muncul pertanyaan lanjutan "Apakah agama memang harus selalu statis, sementara budaya menjadi barang yang dinamis?" Persoalan hubungan agama dengan konsep budaya lokal yang melingkupinya menjadi sesuatu yang selalu menarik untuk didiskusikan.
Para budayawan tentulah cenderung berpandangan bahwa agama memang adalah sebuah produk budaya sebab budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.
Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia (Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, 2006). Budaya menjadi suatu perangkat nilai-nilai yang disimbolkan sebagai sesuatu yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri. Sesuatu tersebut selanjutnya mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya yang juga berbeda-beda.
Agama dan sistem kepercayaan lainnya tentu merupakan sesuatu yang terintegrasi dengan sebuah kebudayaan. Religion yang berasal dari bahasa latin religare yang berarti menambatkan adalah salah satu unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia.
Sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati (Reese, WL, 1980).
Perdebatan tentang apakah budaya melahirkan agama atau justru agamalah yang melahirkan budaya menjadi sebuah perdebatan yang sama dengan perdebatan tentang mana yang lebih dulu, telur atau ayam, apakah agama datang ketika kebudayaan manusia telah ada pada masa-masa sebelumnya atau manusia menjadi lebih berbudaya setelah sudah ada sistem kepercayaan atau agama yang telah ada di masa-masa sebelumnya.
Seperti itulah realita hidup, budaya memproduksi agama dan agama selanjutnya juga memproduksi budaya. Terlepas dari hal tersebut, sebagian besar orang lebih senang menyimpulkan bahwa agama merupakan sebuah sistem kepercayaan. Walaupun sebagian orang tetap pada pendapat bahwa sebuah sistem kepercayaan merupakan budaya yang dihasilkan oleh budaya-budaya sebelumnya.
Perkawinan agama dan budaya lokal tentu tidak lepas dari sejarah masuknya penyebar agama-agama di wilayah tersebut. Misalnya, sejarah kedatangan tiga Datu', yakni Abdul Makmur, Khatib Tunggal (Datu' ri Bandang), Sulaiman, Khatib Sulung (Datu' Pattimang) dan Abdul Jawab Khatib Bungsu (Datu' Tiro) sebagai penyebar agama Islam di Sulawesi Selatan menjadi awal terciptanya perkawinan antaragama dan budaya di wilayah Sulawesi Selatan.
Menurut Risalah Kutai (Moyer, KE, 1968) Datu' ri Bandang sudah pernah berkunjung ke Makassar pada abad XVI M. Namun, masyarakat Makassar pada waktu itu masih sangat kuat berpegang kepada budaya lokalnya, termasuk masalah kepercayaannya. Hal tersebut menyebabkan Datu' ri Bandang mengalihkan perjalanannya ke wilayah Kutai.
Datu' ri Bandang selanjutnya mengajak Datu Pattimang dan Datu' Tiro untuk bersama-sama melakukan Islamisasi di wilayah Sulawesi Selatan setelah berhasil mengIslamkan Datu' (Raja) Luwu, ke-3 Datu' tersebut selanjutnya membagi tenaga dan daerah sasaran dakwah yang disesuaikan dengan keahlian mereka dan kondisi budaya masyarakat di daerah tugas masing-masing,
yakni : (1) Datu' ri Bandang yang dikenal sebagai ahli fikih bertugas di wilayah Gowa dan Tallo. Metode yang digunakan oleh Datu' ri Bandang adalah pelaksanaan hukum syariat (2) Datu' Pattimang bertugas di wilayah Luwu. Datu' Pattimang menggunakan metode ajaran tauhid sederhana dengan menjelaskan tentang sifat-sifat Tuhan, dan (3) Datu' Tiro bertugas di wilayah Tiro (Bulukumba). Datu' Tiro menggunakan metode pendekatan tasawuf.
Metode syariat yang diterapkan oleh Datu' ri Bandang untuk mengawinkan agama Islam dan budaya lokal di wilayah Gowa dan Tallo selanjutnya melahirkan sintesis budaya di mana masyarakat Gowa dan Tallo pada waktu itu selanjutnya lebih disibukkan kepada urusan-urusan syariat dan meninggalkan tradisi perjudian, minum ballo dan sabung ayam.
Sementara, metode tauhid yang digunakan oleh Datu' Pattimang di wilayah Luwu selanjutnya melahirkan asimilasi budaya di mana masyarakat Luwu kemudian dapat menerima ajaran tauhid dengan cara mencampur ajaran keyakinan percaya kepada Allah swt dengan kepercayaan terhadap Dewata Seuwae sebagai sebuah peninggalan budaya Luwu kuno yang terdokumentasi dalam I La Galigo.
Sementara itu, metode pendekatan tasawuf yang diterapkan Datu' Tiro di wilayah Bulukumba selanjutnya melahirkan akulturasi budaya di mana masyarakat Tiro selanjutnya menjalankan ajaran-ajaran tasawuf Datu' Tiro dengan tidak sedikit pun meninggalkan budaya lama mereka yang tetap gemar terhadap masalah-masalah kebatinan, sihir dan doti.
Keagamaan kita ternyata memang tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan lokal kita sendiri. Sebuah kebudayaan yang telah menerima pinangan dari agama, menikah dan melahirkan sintesis, asimilasi dan akulturasi sebagai budaya yang lain. Cara pandang kita tentang keagamaan kita tentu juga dipengaruhi oleh bagaimana kita mengenal diri kita.
Apakah kita merupakan sintesis, asimilasi atau akulturasi? Jika kita mampu menjawabnya, maka kita pasti akan beriman dalam kesesatan (pemikiran). Sementara jika kita tetap tidak mampu mengidentifikasi sintesis, asimilasi dan akulturasikah kita, maka kita masih akan tetap menjadi masyarakat yang tersesat dalam keimanannya. (*)
Keterangan:
- Artikel ini kami muat ulang ke blog ini karena mengambil contoh kasus penyebaran agama Islam oleh Dato Tiro di Bulukumba.
- Artikel ini dimuat di Harian Fajar, Makassar, Senin, 6 Desember 2010, http://metronews.fajar.co.id/read/111303/19/perkawinan-agama-dan-budaya-lokal.
- Artikel ini dimuat di Harian Fajar, Makassar, Senin, 6 Desember 2010, http://metronews.fajar.co.id/read/111303/19/perkawinan-agama-dan-budaya-lokal.
[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar