Jumat, 29 April 2011

Upah Pekerja Pinisi Tak Semegah Kapalnya

SAWI. Seorang sawi (buruh) yang sedang mengerjakan labung kapal pinisi, di Tanah Beru, Kecamatan Bonto Bahari, Bulukumba, Sulawesi Selatan Di tanah yang dikenal dengan Panrita Lopi ini telah lahir karya-karya besar perahu pinisi dari tangan sawi, atau disebut dengan perajin perahu. (Foto: Kompas.com/K23-11) Jumat (29/4/2011).




-----------------------


Upah Pekerja Pinisi Tak Semegah Kapalnya


BULUKUMBA, KOMPAS.com — Tanah Beru terletak di Kecamatan Bonto Bahari, Bulukumba, Sulawesi Selatan, merupakan tanah leluhur para arsitek kapal pinisi. Di tanah yang dikenal dengan Panrita Lopi ini telah lahir karya-karya besar perahu pinisi dari tangan sawi, atau disebut dengan perajin perahu.

Sayang, di balik keindahan dan ketangguhan kapal pinisi yang memiliki nilai jual hingga miliaran rupiah itu, ada duka bagi para sawi yang telah lebih banyak berperan langsung dalam proses pengerjaannya.

Pengerjaan dengan sistem borongan ini, para sawi hanya diberi upah minim. Bahkan mungkin, upah yang mereka terima tidak sesuai dengan keringat yang mereka keluarkan. Malah, semakin lama pengerjaannya, makin kecil pula penghasilan yang mereka terima. Alhasil, tidak sedikit para sawi harus berutang untuk menutupi kebutuhan keluarga mereka.

"Dari pemborong terkadang kami dapat Rp 80 juta-Rp 150 juta, sesuai dengan kapal yang kami buat. Kemudian upah itu dibagi ke 10 orang sawi atau bahkan lebih, dengan jangka waktu dua tahun untuk menyelesaikan kapal pinisi," kata salah seorang sawi, Sarifuddin, kepada Kompas.com, Jumat (29/4/2011).

"Kami terkadang mengerjakan kapal pinisi lebih dari dua tahun, sementara gaji yang diberikan sudah semakin menipis. Jika mau untung, pengerjaan kapal harus kami kebut hingga malam hari," jelasnya lagi.

Kendati hanya menerima upah kecil, para sawi rela mengerjakan kapal hingga selesai sesuai dengan perjanjian antara sawi dan pemborong. Pasalnya, jika pekerjaan yang telah disepakati itu tidak diselesaikan pada waktunya, mereka bisa dituntut dan bukan mustahil penjara menantinya.

Uniknya, meski terbilang berpenghasilan kecil, persaingan antarpekerja terbilang ketat. Jika sebuah tawaran tidak diterima, misalnya, maka pekerjaan itu akan langsung diambil oleh pekerja lain.

Safruddin mengaku lebih memilih menjadi profesi sawi ketimbang nelayan atau petani. Pasalnya, jika dibandingkan dengan dua profesi itu, penghasilan sawi lebih mudah terprediksi. 

[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/]

Tidak ada komentar: