--------------------
Impian Seorang Bocah di Bulukumba
Oleh: AsnawinSelalu bersemangat, tidak punya beban, dan cukup berprestasi. Itulah sosok seorang bocah SD 10 Ela-ela, Kecamatan Ujungbulu, Kabupaten Bulukumba. Prestasinya cukup bagus, karena selalu masuk rangking tiga besar sejak kelas satu hingga kelas enam, bahkan bocah itu sering mewakili sekolahnya dalam berbagai ajang lomba atau pertunjukan.
Sejak SD, bocah itu juga sudah senang berorganisasi dengan menjadi anggota pramuka di sekolahnya. Setidaknya, dua kali ia mengikuti perkemahan pramuka saat masih duduk di bangku SD.
Ketika duduk di bangku kelas tiga SD, sang bocah dengan inisiatif sendiri, masuk sekolah sore di sebuah pesantren diniyah. Dengan demikian, bocah itu belajar pada dua sekolah sekaligus, yakni belajar di SD 10 Ela-ela pada pagi hari, dan belajar di Pesantren Babul Khaer, Kampung Nipa, pada siang hingga sore hari. Belajar pada dua sekolah tetap dilakoninya hingga duduk di bangku kelas dua SMP Negeri 1 Bulukumba.
Sebagai anak kampung, sang bocah sangat ingin dan memimpikan sekolah di ibukota provinsi, tepatnya di Kota Makassar. Sang bocah sangat ingin melanjutkan pendidikannya ke pesantren. Keinginan itu ia utarakan kepada kedua orangtunya (Aminuddin Gudang dan St Hasnah Bali). Kedua orangtuanya pun gembira mendengar keinginan sang bocah.
Sayangnya, keinginan itu tidak terwujudkan, karena kondisi keuangan kedua orangtuanya yang tidak memungkinkan menyekolahkan sang anak ke pesantren. Waktu itu, sang anak tidak mengerti dan tentu saja kecewa, tetapi ia tidak berontak, karena sang bocah bukan tipe pemberontak.
Sebagai anak yang mendapat didikan yang baik dari orangtua dan dari sekolah, kemarahan itu ia salurkan dengan cara lain.
"Mudah-mudahan saya diberi umur yang panjang dan kelak anak-anak saya mondok di pesantren," begitulah doa dan cara sang bocah menyalurkan kekecewaan dan kemarahannya.
Tiga puluh tiga tahun berlalu, barulah doa sang bocah yang kini sudah berusia 46 tahun, dikabulkan oleh Sang Khalik. Salah seorang anaknya-tepatnya anak ketiga dari lima bersaudara-akhirnya resmi masuk ke Pondok Pesantren Muhammadiyah, Gombara, Makassar.
Bersama isteri dan salah seorang adik perempuannya, pada hari Sabtu, 29 Juni 2013, ia mengantar Ahmad Hidayat-nama anak ketiganya itu-ke Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah, Gombara, Makassar.
Dia begitu bahagia dan terharu dapat mengantar anak dan menyaksikannya menikmati suasana hari pertama mondok di pesantren, apalagi kebetulan ibunya juga pernah nyantri di pesantren yang sama, lebih dari 20 tahun silam.
----------------------
Ahriyanti Hamid (kiri) bersama Ahmad Hidayat, di Pondok Pesatren Darul Arqam Muhammadiyah, Gombara, Makassar, Sabtu, 29 Juni 2013. Ahriyanti Hamid juga pernah mondok di pesantren ini. (Foto: Asnawin)
--------------------
Kegembiraannya menjadi lebih paripurna karena sang anak ternyata bisa langsung beradaptasi dengan suasana pondok pesantren, bahkan dia langsung mendapat teman yang kemudian diajaknya jalan dan foto bersama.
Saat berada di pondok, ia bertemu dan berbincang-bincang dengan beberapa orangtua dan keluarga santri baru. Dia juga sempat ngobrol-ngobrol dengan beberapa temannya yang kebetulan menjadi pembina di Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Gombara, Makassar, antara lain Pak Amir MR (Direktur II Kepesantrenan).
---------------------
Ahmad Hidayat di tempat tidur pondokan Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah, Gombara, Makassar, Sabtu, 29 Juni 2013. Ini adalah hari pertama Ahmad Hidayat mondok di pesantren yang lokasinya berada di jalan tol Dr Sutami, Kelurahan Pai, Kecamatan Biringkanaya, Makassar. (Foto: Asnawin)
----------------
Sebagai orangtua, ia tentu saja berharap anaknya dapat belajar dengan baik dan menjadi santri yang mampu berkreasi dan berprestasi.
Satu hal yang ia rasakan dan merasa perlu ia sampaikan kepada orang lain, yaitu menyekolahkan anak di pesantren, termasuk di Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah, Gombara, Makassar, butuh biaya ekstra, karena selain pembayaran uang sekolah, anak-anak juga harus membayar biaya mondok dan orangtua atau keluarga harus sering-sering atau sekali-sekali mengunjungi sekaligus menemui anak atau keluarganya di pondok pesantren.
Bagi orangtua atau keluarga yang cukup mampu dari segi ekonomi, biaya ekstra bukanlah masalah berarti, tetapi bagi orangtua atau keluarga yang kondisi keuangannya pas-pasan, termasuk dirinya, tentu akan menjadi masalah dan tantangan tersendiri. Namun apapun masalah atau tantangan yang dihadapi, dia sebagai orangtua harus menghadapinya demi masa depan anak-anak mereka.
-------------
Ahmad Hidayat dengan latar belakang papan nama Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah, Gombara, Makassar, Sabtu, 29 Juni 2013. (Foto: Asnawin)
---------------
Begitulah salah satu sisi dari kisah hidup saya. Tentu saja saya sangat bersyukur, karena salah seorang anak kami akhirnya masuk pesantren. Semoga anak kami dapat belajar dengan baik dan berprestasi. Begitupun dengan keempat anak-anak kami yang lain. Mudah-mudahan mereka semua kelak menjadi orang yang berguna bagi bangsa, agama, dan bagi sebanyak-mungkin orang lain. Aamiinnn......
[Terima kasih atas kunjungan dan komentar Anda di Blog Kabupaten Bulukumba]
3 komentar:
wahselamat ya pak, anaknya masuk pesantren Gombara:)
kisahnya sangat menarik pak
semoga anaknya Sukses
alhamdulillah, trims...
aamiinnn....
semoga nakda/dinda Akbar juga sukses meniti karier dan masa depan....
Posting Komentar