Pada hari ini di dataran ide, inilah yang “tergila” sepanjang sejarah sastra Indonesia bahkan dunia. Tujuh orang penulis dari satu keluarga dan serumah di Bulukumba bersepakat mengabadikan puluhan karyanya ke dalam satu buku antologi puisi. Hal penting lainnya yang menjadikannya patut dicatat sebagai buku sastra yang fenomenal adalah bahwa terdapat tiga generasi penulis Rumah Putih. Dimulai dari sang ayah, empat orang putri, seorang cucu, dan seorang menantu. (int)
-----------------
Resensi Buku:
“Rumah Putih, Antologi Puisi Terunik Di Dunia”
Oleh: Muhammad Aldy Jabir
Judul buku: Rumah Putih, Antologi Puisi Serumah
Penulis: Israwaty Samad, Fatimah, Sri Ulfanita, Nila Karmilawati, Nurlaisa Kamislisyai, Abdul Samad Rauf, dan Ivan Kavalera
Penerbit: Ombak Yogyakarta
Tebal: xii+166 hlm.;14x21 cm
ISBN: 978-602-258-118-5
Cetakan Pertama: Tahun 2013
Pada hari ini di dataran ide, inilah yang “tergila” sepanjang sejarah sastra Indonesia bahkan dunia. Tujuh orang penulis dari satu keluarga dan serumah di Bulukumba bersepakat mengabadikan puluhan karyanya ke dalam satu buku antologi puisi.
Sebuah hal unik lantaran di tempat lain di seantero dunia, biasanya antologi puisi ditulis secara kolektif oleh suatu komunitas ataupun lembaga seni. Hal penting lainnya yang menjadikannya patut dicatat sebagai buku sastra yang fenomenal adalah bahwa terdapat tiga generasi penulis Rumah Putih. Dimulai dari sang ayah, empat orang putri, seorang cucu, dan seorang menantu.
Israwaty Samad, Fatimah, dan Nila Karmilawati rupanya mewakili generasi sajak romantis. Yang menjadikannya berbeda dengan puisi cinta kebanyakan adalah terletak pada metafora-metafora yang dijejalkan secara dinamis. Itupun ternyata tidak luput menekankan unsur “bunyi” yang jamak dalam dunia puisi. Namun setiap lekuknya dipenuhi misteri dan kerap mendebarkan.
Secara keseluruhan puisi-puisi ketiganya terbungkus gairah cinta anak muda dan harmoni keluarga. Israwaty Samad misalnya, kita temukan salah satu gairah diksi dalam “Bersenggama Dengan ikhlas”: ”….bagaimana cara bercakap dengan purnama/pagi-pagi kau mendampingi lagi dengan senyum/sarapan bagi lelaki dari perempuan.” Bagaimana Fatimah misalnya menjelaskan seperti apa keluarganya dalam sajak berjudul “Rumah Putih Adalah”: Rumah putih adalah kita yang bepergian/dan bermukim dalam cinta/Jendela, angin sore, lumut hijau dan bebungaan/itu bukan bait terakhir/Kita di pintunya selalu membuka pagi/dan berhamburan/sambil minum teh/menyeruput segala awal mula puisi.
Sajak-sajak berbau Islami diusung secara dominan oleh Sri Ulfanita. Konsistensi puisi-puisinya menggambarkan bahwa dia sungguh datang dari haluan religi dan aroma alam. Dua tema khas ini yang tampaknya memang banyak dipilih oleh para penyair muda sejak penghujung 1990-an. Gayanya sedikit berbeda, tapi tetap cair dan renyah. Dia telah berhasil menemukan kekuatan pada unsur-unsur repetisi dan retoris.
Terdapat dua sosok unik dalam Rumah Putih. Pada bagian ini kita diajak mengembara kembali ke masa-masa emas puisi jenis “pantun”dalam dunia sastra Indonesia dan puisi polos kanak-kanak. Abdul Samad Rauf mewakili generasi ini. Syair-syair dan pantun-pantunnya berhasil menggelitik ruang kenangan kita terhadap jenis puisi lama Indonesia.
Nyatanya, pantun dan syair memang masih sangat digemari oleh banyak orang sampai kini. Sosok unik kedua adalah anak perempuan berbakat bernama Nurlaisa Kamislisyai alias Chaca. Puisi-puisinya meruapkan kekaguman dan harapan, betapa Indonesia layak terinspirasi oleh seorang bocah perempuan yang sudah menulis puisi pada umur empat tahun. Eksplorasi keduanya terhadap Tuhan, alam dan kehidupan tertuang jelas secara sederhana namun dengan elaborasi yang begitu mendalam.
Bab yang memuat rentetan sajak-sajak Ivan Kavalera akhirnya memperkuat kesimpulan bahwa “Rumah Putih, Antologi Puisi Serumah” merupakan buku sastra yang layak mengisi koleksi buku-buku keluarga Indonesia.
Dari sisi metaforis, Ivan nampaknya berhasil menemukan cara ungkap yang manis. Sekilas puisi-puisinya agak rumit namun menantang untuk selalu mendalami lebih jauh sumur imajinasinya. Beberapa puisinya yang bergaya prosaik merupakan salah satu keberanian tersendiri menantang arus puisi pada umumnya. Cinta, sketsa sosial dan aroma kampung halaman menjadi kekuatan tematiknya yang dibungkus dalam diksi-diksi tak terduga.
Buku kumpulan sajak tujuh penulis dari Bulukumba “Kota Seribu Penyair” ini juga berupaya memperlihatkan kepada pembacanya bagaimana hubungan-hubungan antar manusia itu bertumbuh dan berkembang dalam sebuah keluarga. Gambaran jelasnya dapat ditemui pada beberapa puisi yang sengaja ditulis buat sesama anggota keluarga lainnya. Semisal Fatimah dalam “Sekerat Sajak Ulangtahun” buat Papi Asmar (Abdul Samad Rauf), Sri Ulfanita dalam “Sepotong Puisi Untuk Penjaga Mawar” buat Kak Ivan Kavalera, dan Ivan Kavalera sendiri dalam “Chaca Kembali Ultah” buat Nurlaisa Kamislisyai.
Terlepas dari tipografi seluruh puisi yang cukup aneh-sengaja badan puisi dibentuk seragam-akan terpampang betapa makna-makna selalu berjalan berdampingan dengan misterinya, hubungan harmonis yang timbal balik dalam sebuah keluarga, cinta dan kehidupan yang ajaib. Partikel-partikel penting itu telah tertanam dalam-dalam di Rumah Putih. Kita bisa menjenguk semua itu melalui buku ini, antologi puisi terunik di dunia. (*)
(Muhammad Aldy Jabir, seorang pelajar dan penikmat kerja-kerja seni, bermukim di Maros Sulawesi Selatan.)
[Terima kasih atas kunjungan dan komentar Anda di Blog Kabupaten Bulukumba]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar