Selasa, 12 Oktober 2010

A Trip to: Pantai Bira, Bulukumba (part III-)


Keterangan gambar: Vierta Dewi Aulia fofo di tangga perahu phinisi yang sedang dalam proses pekerjaan, di Tana Beru, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba. (foto: dok pribadi)


A Trip to: Pantai Bira, Bulukumba (part III):
Perahu Phinisi dan Perahunya si Ikal


Oleh Vierta Dewi Aulia
Posted on Desember 27, 2009
http://viertaz.wordpress.com/2009/12/27/a-trip-to-pantai-bira-bulukumba-part-iii-perahu-phinisi-dan-perahunya-si-ikal/

Next stop, ngliat pembuatan perahu phinisi. Sudah sejak dulu Bulukumba terkenal dengan sebutan Butta Panrita Lopi (daerah ahli perahu). Tanaberu merupakan salah satu desa di Kecamatan Bira yang bisa membuat phinisi tradisional.

Sekitar setengah jam dari Bara Beach kami sampai di desa ini. Letaknya di bibir pantai. Sangat mudah menemukan bantilang atau galangan perahu phinisi. Berjejer-jejer di sepanjang tepi pantai. Warna kayunya yang coklat bersinar mengkilat terkena sinar matahari.

Berada di antara galangan perahu phinisi, saya tersedot ke dalamnya. Saya seperti berada di jaman kuda, belum ada teknologi modern. Seolah-olah jaman yang saya pijak sekarang belum ada pesawat terbang, sehingga untuk pulang kampung ke Pulau Jawa saya harus berlayar. OH MY GOD… :shock:

I’m very excited. Melihat tukang-tukang yang lagi kerja. Kayu-kayu sedang dibentuk. Perahu setengah jadi terlihat lunas dan gadingnya. Kebayang deh susahnya membuat perahu, ckckck…



Keterangan gambar: Perahu Phinisi yang masih sementara dalam proses pembuatan di Tana Beru, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba. (foto: Vierta Dewi Aulia)


Saya jadi teringat si Ikal di Maryamah Karpov. Ikal berhasil membuat perahu, padahal dia bukan turunan ahli pembuat perahu. Ikal memakai desain perahu dan perhitungan sains untuk merakit perahunya. Puiihh, gila ya, semangat saya belum selevel sama Ikal dech untuk membuat perahu…he he…

Tapi masyarakat Bugis lain, membuat perahu tanpa digambar, tanpa desain di atas kertas. Kog bisa ya? Wuaahh…kagumnya saya dengan masyarakat Bugis. Mereka secara turun menurun mempercayai dan mempertahankan pembuatan perahu phinisi secara tradisional.

Para pembuat phinisi ini mempercayai ritual ruling. Ruling berisi tata cara teknik pembuatan phinisi. Seperti pencarian dan penebangan pohon, pengeringan kayu dan pemotongan kayu, perakitan, pemasangan tiang perahu, dan peluncuran phinisi.

Pembuat phinisi dipimpin oleh seorang Punggawa (kepala tukang) yang dibantu oleh Sawi (tukang) dan Calon Sawi. Calon Sawi dilibatkan dalam pemasangan bagian-bagian kecil dalam perahu. Sedangkan upacara pembuatan perahu phinisi dipimpin oleh Pandita Lopi, tokoh adat yang juga ahli membuat perahu.

Kayu sebagai bahan pembuat phinisi adalah kayu Bitti, Katonde, dan Welengreng. Ketiga jenis kayu ini terkenal kuat dan tahan air.

Pencarian dan penebangan pohon dilakukan pada hari yang telah ditentukan. Tanggal 5 dan tanggal 7 setiap bulan dimana perahu mulai dibuat. Orang Tanaberu meyakini bahwa angka 5 (Naparilimai Dalle’na) berarti “rejeki sudah di tangan”, sedangkan angka 7 (Natujuanggi Dalle’na) berarti “selalu mendapat rejeki”.

Setelah pemotongan kayu, ada semacam ritual. Hal ini terlihat dalam peletakan balok lunas. Balok lunas diarahkan menghadap Timur Laut. Balok lunas yang diarahkan ke Timur Laut diartikan sebagai simbol laki laki.



Keterangan gambar: Salah satu perahu phinisi yang sedang dalam proses pekerjaan di Tana Beru, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba. (foto: Vierta Dewi Aulia)


Balok lunas yang lain dipasang ke arah yang berlawanan, hal ini diartikan sebagai simbol perempuan. Dalam pemotongan kayu, pantang berhenti sebelum putus. Hal ini dilakukan agar kekuatan kayu tetap terjamin.

Kalebiseang adalah ritual yang dilakukan pada saat pemasangan papan pengapit lunas. Papan-papan disusun berdasarkan ukuran dari yang terbesar hingga yang terkecil. Papan yang terkecil diletakkan di bagian bawah, sementara yang terbesar diletakkan di bagian atas. Keseluruhan papan berjumlah 126 lembar.

Setelah itu dilanjutkan dengan Anjerreki, yaitu memperkuat lunas. Dilanjutkan dengan bagian buritan dipasang dan bagian kemudi bawah mulai disusun.

Setelah papan merekat kuat, pekerjaan selanjutnya adalah “allepa” atau mendempul. Bahannya adalah campuran kapur dan minyak kelapa. Campuran tersebut diaduk oleh sedikitnya enam orang selama sekitar 12 jam.

Banyaknya dempul yang diperlukan tergantung dari besar-kecilnya perahu yang dibuat. Untuk perahu yang bobotnya mencapai 100 ton, maka dempul yang diperlukan sekitar 20 kilogram. Selanjutnya, badan perahu yang telah dilapisi dengan dempul itu dihaluskan dengan kulit buah pepaya.

Penggunaan bahan-bahan seperti kulit pohon barruk dan kulit buah pepaya, ada kaitannya dengan mitos penciptaan phinisi yang menggunakan kekuatan magis. Mengacu kepada mitos itu, orang-orang di Tanaberu merasa bahwa komunitas mereka sebagai mikrokosmos, yaitu bagian dari jagad raya (makrokosmos).

Hubungan antara kedua kosmos ini diatur oleh tata tertib abadi, sakral, dan telah dilembagakan oleh nenek moyang mereka sebagai adat istiadat. Kedua kosmos ini dijaga harmoninya, sehingga ada kecenderungan mempertahankan yang lama dan menolak atau mencurigai yang baru. Inilah yang kemudian menjadi penyebab mengapa mereka tidak begitu terpengaruh dengan teknologi modern.

Pemasangan tiang dan layar dilakukan ketika badan dan kerangka perahu selesai dikerjakan. Dua layar besar phinisi disebut Sombala. Layar besar depan berukuran 200 meter persegi, sedangkan layar besar belakang berukuran 125 meter persegi. Setiap layar besar mempunyai layar kecil berbentuk segitiga yang disebut Tanpasere. Letaknya diatas tiang layar besar.

Layar segitiga juga terdapat di haluan perahu. Berjumlah tiga buah, layar ini bernama Cocoro Pantara, Cocoro Tangaa, dan Talengke. Fungsi ketiga layar segitiga ini adalah untuk menambah kecepatan perahu.

Layar-layar pada perahu phinisi merupakan suatu kelebihan yang membedakan dengan jenis perahu lainnya. Bila anginnya bertambah, layar phinisi dapat dikurangi bagian demi bagian, sehingga memberikan kemudahan dalam pemakaiannya.



Keterangan gambar: Miniatur Perahu Phinisi. (foto: Vierta Dewi Aulia)


Ini dimulai dengan menutup layar topser dan layar anjungan. Jika anginnya bertambah lagi, maka agak gampang mengurangi layar besarnya dengan menariknya ke arah tiang, sehingga perahu dengan menggunakan layar yang ditutup setengah itu dan satu atau lebih layar anjungan masih bergerak secukupnya supaya daya kemudi tak hilang.

Selain itu, perahu phinisi memiliki perbedaan dalam kemampuan berlayar. Sebabnya, layar phinisi dapat berlayar lebih dekat ke arah angin. Dan yang paling penting adalah bahwa perahu dapat berbalik haluan dengan lebih gampang bila beropal-opal.

Perahu phinisi yang saya tongkrongi ini belum dipasangi layar. Dicat pun belum, baru selesai didempul dan baru sebagian dihaluskan. Sehingga lebih gampang membayangkan layarnya jika mengamati miniaturnya. (Lihat pula sekarang juga: Miniatur Phinisi – BUY NOW !!)

Menurut pengusahanya, perahu phinisi yang sedang ia selesaikan ini akan dijadikan perahu pesiar. Pemesannya berasal dari Pulau Lombok. Phinisi dengan panjang 11 meter ini dijual dengan harga 325 juta rupiah.

Sesampai di Lombok, pemesan bisa menjual lagi jika ada yang menginginkan perahu phinisi ini. Pembeli perahu phinisi Tanaberu memang berasal dari berbagai belahan dunia seperti, Amerika, Kanada, Afrika, Malaysia, Singapura dan Belanda.

Wooww…imajinasi saya tiba-tiba sampai pada mengelilingi belahan dunia dengan perahu phinisi. Alamakk, muluk-muluk sekali…

Ehemm, siapa tahu Tuhan mendengarnya. Bahkan si Ikal pun bermimpi dan Tuhan pun memeluk mimpi-mimpinya…

Well, setidaknya saya bermimpi ke belahan dunia lain, ke sebuah tempat bernama Mekkah. Tapiii… ke sananya naik pesawat sajja yaaaaa…


[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]

1 komentar:

Tabloid Demo's mengatakan...

tulisan menarik tentang tempat dan proses pembuatan perahu phinisi di Bulukumba, karena ditulis berdasarkan pengalaman langsung dan dengan hati gembira....