Inilah pemandangan yang sempat saya foto dalam perjalanan dari ibukota Bulukumba menuju Bira. Perjalanan ini melewati wilayah kota, desa, sawah, bahkan hingga kebun dan ladang. Sesekali pete-pete yang saya naiki berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. (Foto: Lomar Dasika)
------------------------------------------------------
Catatan Perjalanan ke Bira, Bulukumba (2)
Bulukumba ke Tanjung Bira yang Panjang dan Melelahkan
Oleh Lomar Dasika
Wednesday, March 24, 2010
Saya terduduk di depan sebuah warung di Jalan Raya Bulukumba – Tanjung Bira. Warung yang modern dan tampaknya pembangunan di Bulukumba cukup berjalan baik, pikir saya. Seberapa jauh lagi sih untuk menuju Tanjung Bira? Bapak yang menjaga warung tersebut berkata “Tanjung Bira masih jauh, dek!”. Ah si Bapak, bikin optimisme saya berkurang aja nich...
Sang supir kijang alias Pak Bella menurunkan saya di depan warung tersebut karena pete-pete menuju Tanjung Bira akan mengangkut saya di jalur ini. “Banyak”, begitu katanya ketika saya bertanya tentang jumlah pete-pete yang akan membawa saya ke Tanjung Bira. Ya sudah, saya mulai melakukan penantian pete-pete ini di tempat ini.
Pemandangan di sepanjang jalan dari ibukota Bulukumba menuju Bira. (Foto: Lomar Dasika)
Pertama-tama, sekali dua kali saya menjumpai pete-pete yang melintas. Ada yang mau menarik penumpang dan ada pula yang tidak. Beberapa yang menarik penumpang, begitu melihat saya sedang menunggu, mereka langsung memberhentikan kendaraan mereka. Segera saja saya bertanya “Bira?” lalu mereka menggeleng dan langsung bergegas. Bukan hanya sekali, kira-kira beberapa pete-pete yang saya tanyakan memberi jawaban yang sama.
Hah? Jadi tidak ada pete-pete yang mau membawa saya ke Tanjung Bira? Bagaimana ini? Kejadian ini berlangsung beberapa kali sampai salah seorang supir yang saya tanya tersebut berkata “tidak ada yang sampai Bira, hanya ke Tanaberru saja”.
Wah, saya jadi bingung. Apa iya tidak ada pete-pete yang akan membawa saya ke Tanjung Bira? Apakah ini permanen atau bagaimana? Apa mungkin saya sudah terlalu siang sehingga pete-pete menuju Tanjung Bira sudah tidak ada lagi?
Mungkin bapak tersebut melihat saya dan merasa iba. Anak pemilik toko yang saya tanyai tentang rute Tanjung Bira dan melihat saya menunggu cukup lama (hampir satu jam!) memanggil ayahnya. Bapak tersebut menanyakan tujuan yang ingin saya tempuh. Beliau memang mengatakan bahwa seharusnya ada pete-pete dari Bulukumba (disebut “Kumba” oleh para kenek dan supir pete-pete) menuju Tanjung Bira walaupun waktu masih menunjukkan pukul 3 sore.
Lama menunggu bersama bapak tersebut (dan mengobrol) tidak membuat saya mendapatkan angkutan juga. Beberapa supir bahkan ditanyai langsung oleh bapak tersebut dan mereka berbicara dalam dialek Bulukumba. Bapak tersebut menjelaskan tampaknya memang tidak ada pete-pete pada siang itu yang akan membawa saya ke Tanjung Bira.
Gimana donk? Pak Bella saja bahkan sudah sempat beristirahat, memutar dan siap berangkat kembali ke Makassar. Ia kembali bertanya kepada saya apakah saya ingin ikut ke Makassar atau tinggal di Bulukumba saja?
Rumah penduduk di jalan dari ibukota Bulukumba menuju Bira. (Foto: Lomar Dasika)
Jujur, saya jadi ragu. Waktu saya tinggal sehari lagi di Sulawesi. Mungkin nggak yah perjalanan ini berakhir di Bulukumba dan esok kembali ke Makassar tanpa menyentuh Bira lantaran keterbatasan waktu?
Namun bapak penjaga warung tersebut membesarkan hati saya. Ia menelepon rekannya di Tanjung Bira yang katanya memiliki penginapan. Temannya di telepon bahkan mengatakan seharusnya angkutan masih tersedia pada jam-jam tersebut. Bapak tersebut bahkan sampai merasa kasihan kepada saya dan berniat mengantarkan saya dengan motornya.
Wow! “Kasihan kamu, jauh-jauh datang, sampai sini tapi nggak sampai Pasir Putih. Kalau memang nggak ada angkutan lagi, biar saya saja yang mengantarkan kamu!”, begitu kata bapak tersebut. Waduh, saya sampai terharu mendengarnya. Baik banget sich si bapak. Kemudian si bapak tersebut meminta kunci dan STNK kepada anak perempuannya. Waduh, serius nich Pak?
Tak lama, datanglah sebuah pete-pete lagi. Saya kembali bertanya “Bira?” dan sang supir menggeleng dan menjawab, “hanya sampai Tanaberru saja”. Bapak tersebut bertanya kepada sang supir dan akhirnya bapak tersebut bilang agar saya sebaiknya naik sampai Tanaberru saja.
Rumah-rumah warga di jalan dari ibukota Bulukumba menuju Bira. (Foto: Lomar Dasika)
Tampaknya memang tidak ada angkutan menuju Bira. Nanti dari Tanaberru, saya bisa melanjutkan dengan angkutan ke Tanjung Bira. “Sudah cukup dekat dari Tanaberu untuk mencapai Bira”, begitu katanya. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore dan saya belum bergerak dari Bulukumba.
Untuk mengejar waktu dan masih bisa bermain di pasir pantai di Tanjung Bira, sebaiknya saya bergerak sekarang. Nggak mau donk sampai di pantai hanya melihat matahari terbenam dan bintang bertaburan di langit? Ya sudah, saya iyakan tawaran tersebut dan naik pete-pete menuju Tanaberru, bersama dengan segerombolan ibu dan bapak yang tampaknya baru saja belanja di pasar.
Di tengah jalan, saya sempat kaget melihat petunjuk jalan yang bertuliskan “Tanjung Bira 40 KM”. Wow...masih jauh sekali yach ternyata. Sampai di Bulukumba tidak serta merta menjadikan Tanjung Bira mudah dicapai. Masih cukup jauh ternyata.
Perjalanan ini melewati wilayah kota, desa, sawah, bahkan hingga kebun dan ladang. Sesekali pete-pete yang saya naiki berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Memang, jarak yang saya tempuh cukup jauh. Saya bahkan sudah cukup terbiasa dengan pemandangan yang berseliweran di sekitar.
Sebuah tugu di tepi jalan dari ibukota Bulukumba menuju Bira. (Foto: Lomar Dasika)
Tidak lama kemudian, pete-pete berhenti cukup lama. Terjebak di tengah jalan bersama dengan deretan kendaraan-kendaraan lain. Pete-pete yang saya naiki tampak berjuang untuk melepaskan diri dari kemacetan ini dengan melalui jalan tikus gang penduduk yang melintasi kebun dan hutan. Ya ampun, jalanannya kecil dan hanya muat satu kendaraan saja. Pete-pete yang saya naiki bahkan ikut tersendat dan macet di dalam gang sempit tersebut. Ya ampun, ada apa sich di Tanaberru?
Jawabannya keluar beberapa waktu kemudian. Saat itu adalah 17 Agustus 2009. Saat itu, sedang diadakan acara gerak jalan sekolah-sekolah yang ada di sekitar Bontobahari. Gerak jalan tersebut menutup jalan utama yang menghubungkan Bulukumba – Tanjung Bira.
Hebat! Pete-pete yang saya naiki berjuang keluar masuk gang-gang sempit untuk menghindari gerak jalan tersebut. Hingga pada suatu ketika, pete-pete tiba di sebelah pantai yang penuh dengan deretan-deretan perahu yang sudah jadi atau sedang dibuat.
Saya diturunkan disini karena kata pak supir, tidak ada lagi angkutan yang bisa membawa saya ke Tanjung Bira. Semuanya harus menunggu gerak jalan tersebut selesai. Ternyata ini toh penyebab banyak pete-pete tidak mau (dan tidak bisa) mengantarkan penumpang ke Tanjung Bira.
“Silahkan tunggu saja sekitar setengah jam lagi”, begitu katanya.
Ya, disinilah saya, terjebak di Tanaberru, sekitar pukul setengah 4 sore tanpa kepastian adanya pengangkutan dari Tanaberru menuju destinasi, Tanjung Bira. Benar, ini perjalanan yang panjang dan tak pasti.
[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar