Kamis, 11 Agustus 2011

Nazaruddin, Wartawan, dan Media Massa

Melalui sikap yang skeptis, kebenaran itu dicari untuk kemudian dinyatakan atau diberitakan tanpa ragu. Dengan kata lain, wartawan harus selalu meragukan informasi awal yang diterimanya, agar tidak ragu-ragu dalam menyampaikan berita.  


---------------------
 

Nazaruddin, Wartawan, dan Media Massa 


Oleh: Asnawin 
(Pengurus PWI Cabang Sulsel) 

Nazaruddin Ditangkap. Begitulah judul berita utama halaman satu harian Tribun Timur, Selasa, 9 Agustus 2011. Kalau berita itu betul dan kalau semuanya berjalan sesuai rencana, maka M Nazaruddin, akan kembali ke Indonesia setelah selama beberapa bulan “berobat” dan “jalan-jalan” ke beberapa negara. 

Dan kalau mantan Bendahara Umum Partai Demokrat dan tersangka kasus suap Wisma Atlet SEA Games itu kembali ke Tanah Air, maka kita akan mengucapkan Selamat Datang Kembali Bung Nazar. 

Pertanyaannya, apa yang akan terjadi setelah Bung Nazar-sapaan akrab M Nazaruddin seperti sering digunakan rekannya sesama anggota Partai Demokrat, Ruhut Sitompul- kembali ke Tanah Air? Apakah semua yang pernah disampaikan melalui SMS, BBM, dan wawancara via telepon kepada beberapa media massa, akan dibuktikan di KPK dan di pengadilan nanti? Atau sebaliknya, apakah Bung Nazar tidak bisa membuktikan dan akhirnya dimasukkan ke dalam penjara dengan hukuman beberapa tahun? 

Tulisan ini tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dan juga tidak akan membahas masalah hukumnya, karena penulis juga bukan pakar hukum, tetapi tulisan ini hanya ingin mengingatkan kita semua tentang beberapa hal yang pernah dilakukan oleh Bung Nazar dan koleganya di Partai Demokrat yang diberitakan melalui berbagai media massa. 

Beberapa bulan lalu, ketika Bung Nazar kabur ke luar negeri, sejumlah petinggi Partai Demokrat dengan enteng mengatakan bahwa Nazaruddin pergi berobat karena sakit dan pasti akan kembali ke Tanah Air. Kenyataannya, Nazaruddin sehat-sehat saja, bahkan melakukan siaran langsung melalui stasiun televisi dalam keadaan sehat. 

Pelajaran apa yang bisa dipetik dari rangkaian peristiwa tersebut? Penulis ingin mengingatkan kita semua bahwa berita adalah fakta, tetapi tidak semua fakta adalah berita. SMS dan BBM adalah fakta, tetapi tidak semua SMS dan BBM adalah berita. 

Fakta-fakta yang terjadi di depan mata dengan melibatkan aktor eksekutif, legislatif, dan yudikatif, memang selalu menjadi berita menarik, tetapi wartawan harus tetap menjaga sikap skeptis. Jangan mudah percaya dengan informasi awal atau omongan pejabat publik. 

Wartawan harus bersikap skeptis dan mewaspadai setiap informasi awal yang diterimanya. SMS, BBM, dan berbagai informasi awal yang diterima oleh wartawan harus dianggap belum tentu benar sampai kemudian dilakukan konfirmasi atau pengujian informasi. 

Dalam dunia jurnalistik seperti sekarang ini, kata Atmakusumah Astraatmadja, informasi mudah diperoleh, tetapi media tetap harus menyertakan standarisasi Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Setiap wartawan wajib memiliki jiwa skeptis yang tidak mudah menjadikan sebuah informasi menjadi berita untuk dikonsumsi pembaca atau pemirsa. 

Informasi awal yang diperoleh harus diuji dengan melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi tersebut. Skeptis, kata Tom Friedman dari New York Times, adalah sikap untuk selalu mempertanyakan sesuatu, meragukan apa yang diterima, serta mewaspadai segala kepastian agar tidak mudah ditipu. 

Bersikap Skeptis 


Luwi Ishwara, mantan wartawan harian Kompas mengatakan, seorang yang skeptis berbeda dengan seorang yang sinis. Seorang yang skeptis akan berkata: “Saya kira itu tidak benar. Saya akan mengeceknya”. 

Sebaliknya, orang yang sinis selalu merasa telah mempunyai jawaban mengenai seseorang atau peristiwa yang dihadapinya, maka ia akan berkata: “Saya yakin itu tidak benar. Itu tidak mungkin. Saya akan menolaknya.” 

Inti dari sikap skeptis, lanjut Luwi, adalah keraguan, sedangkan inti dari sikap sinis adalah ketidakpercayaan. Keraguan membuat orang akan bertanya, mencari, sampai menemukan kebenaran, sedangkan sikap sinis membuat kita menolak dan tidak bertindak, sehingga kebenaran pun bisa kabur. 

Filsuf Rene Descartes dengan lantang mengatakan: “De omnibus dubitandum” (Segala sesuatu harus diragukan). Kalau mengacu pada pernyataan lantang tersebut , maka wartawan memang harus selalu bersikap skeptis dan tidak serta merta larut dalam kata “benar” yang muncul dari mulut penguasa, pimpinan parpol, atau orang-orang yang memiliki pengaruh luas di tengah masyarakat. 

Maka sesungguhnya sangat rawan kalau media massa melakukan wawancara langsung dengan seseorang, apalagi dengan seorang buronan yang tidak jelas keberadaannya. Wartawan harus skeptis pada kemampuan diri sendiri untuk mengetahui apa arti sesungguhnya dari sebuah peristiwa. Ini penting agar wartawan tidak memfatwa apalagi memvonis melalui berita. 

Melalui sikap yang skeptis, kebenaran itu dicari untuk kemudian dinyatakan atau diberitakan tanpa ragu. Dengan kata lain, wartawan harus selalu meragukan informasi awal yang diterimanya, agar tidak ragu-ragu dalam menyampaikan berita. 

Peristiwa Semu 


Joseph Pulitzer pernah berkata bahwa surat kabar tidak akan bisa menjadi besar dengan hanya sekadar mencetak selebaran-selebaran yang disiarkan oleh pengusaha, maupun tokoh-tokoh politik dan meringkas tentang apa yang terjadi sehari-hari. 

Wartawan, kata Pulitzer, harus terjun ke lapangan, berjuang, dan menggali hal-hal yang ekslusif. Ketidaktahuan membuka kesempatan korup, sedangkan pengungkapan mendorong perubahan. Masyarakat yang mendapat informasi lengkap, akan mendorong perbaikan dan reformasi. 

Wartawan dan media massa kini terlalu banyak menyiram informasi kepada masyarakat, padahal belum tentu semua informasi tersebut benar adanya, serta tidak semua berita kontrol yang diberitakan menganut asas keseimbangan. 

Lebih miris lagi, karena media massa dewasa ini terlalu banyak menyiramkan informasi dengan hanya berdasarkan omongan atau hasil wawancara (talking news), terutama melalui dialog-dialog di televisi, padahal sesungguhnya omongan, wawancara, jumpa pers dan semacamnya itu hanyalah sebuah peristiwa semu (pseudo-event). 

Akibat “siraman” berita-berita tersebut, tumbuhlah berbagai macam persepsi, dugaan, sinisme, saling curiga, ketidakpercayaan, bahkan vonis secara tidak langsung terhadap pihak-pihak tertentu. Dampak lain yang bisa timbul yaitu berkurangnya rasa persatuan dan kesatuan, berkurangnya semangat kebangsaan, terjadinya pengkotak-kotakan, serta perpecahan di tengah masyarakat. Itu semua terlihat nyata di depan mata kita. 

Masyarakat kini gampang marah, mudah diadu-domba, serta kerap bertindak anarkis ketika menyampaikan aspirasi. Tentu tidak semua dampak tersebut akibat “siraman” informasi media massa, atau akibat dari “ketelanjangan” informasi melalui media massa, karena para pemimpin kita, mulai dari Presiden, anggota dewan (DPR RI, DPRD), gubernur, hingga walikota dan bupati, juga punya andil besar dalam hal ini. 

Andil tersebut antara lain terejawantahkan melalui debat dan kata-kata kurang senonoh dalam sidang-sidang DPR RI yang disiarkan langsung media televisi dan ditonton jutaan rakyat, terjadinya “perselingkuhan” antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta money politics dalam Pemilukada. 

Fakta-fakta yang terjadi di depan mata dengan melibatkan aktor eksekutif, legislatif, dan yudikatif, memang selalu menjadi berita menarik, tetapi wartawan harus tetap menjaga sikap skeptis. Jangan mudah percaya dengan informasi awal atau omongan pejabat publik. 

Wartawan dan media massa hendaknya menumbuhkan sikap skeptis dan selalu mewaspadai berbagai informasi awal yang diterimanya. Wartawan hendaknya terjun ke lapangan, berjuang, menggali hal-hal yang ekslusif, melakukan investigasi, serta berupaya menemukan fakta dan dokumen autentik, agar berita-berita yang disiarkan dapat dipertanggungjawabkan, serta tidak menyesatkan. 

Media massa memang kini telah berubah menjadi industri, tetapi janganlah karena keinginan menarik minat masyarakat, memburu oplah besar, serta mencari keuntungan finansial, lalu melupakan tanggungjawab moral dalam mendidik dan menjaga bhinneka tunggal ika


Keterangan: 
- Artikel opini ini dimuat harian Tribun Timur, pada hari Kamis, 11 Agustus 2011 
- http://makassar.tribunnews.com/epaper/index.php?hal=1#  

[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/]

Tidak ada komentar: