Minggu, 30 Agustus 2009

Koordinator Kopel Siap Maju di Bulukumba

Harian Fajar (www.fajar.co.id)
Minggu, 30 Agustus 2009


Koordinator Kopel Siap Maju di Bulukumba

MAKASSAR -- Koordinator Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Sulawesi, Syamsuddin Alimsyah tak ingin hanya jadi penonton. Dia siap maju sebagai calon bupati Bulukumba periode 2010-2015. Jauh-jauh hari, Syamsuddin sudah mulai bekerja. Salah satunya dengan menggarap basis istrinya, Andi Mariattang. Pada Pemilu Legislatif 2009, Mariattang terpilih kembali ke DPRD Sulsel dengan 8.000 suara.

Juru bicara tim Syamsuddin, Ramli, Sabtu, 29 Agustus, mengatakan suara yang diperoleh Mariattang adalah massa riil yang dihimpun pada enam kecamatan. Yaitu, Herlang, Kajang, Bulukumpa, Gantarang, Kindang, dan Ujung Loe.

Menurut Ramli, selain sebagai warga asli kawasan Ammatoa, Syamsuddin juga memiliki basis massa di kalangan parlemen group binaannya yang ada di sepuluh kecamatan di Butta Panrita Lopi.

Sosok Syamsuddin, lanjutnya, mudah diterima. Sebab, dia sudah memahami seluk-beluk analisis anggaran lewat pengalamannya mengadvokasi anggaran di lembaga DPRD.

"Selain kalangan NGO, Syamsuddin juga didukung kelompok masyarakat tani dan nelayan," ungkap Ramli.

Selain dikenal sebagai orang yang bergelut dalam lembaga pemantau kinerja parlemen, Syamsuddin juga merupakan sosok pendiri Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) yang selama ini sudah diterapkan di Bulukumba. (asw)

Rabu, 26 Agustus 2009

Pejabat Pemkot Makassar Daftar di PAN

Harian Fajar (www.fajar.co.id)
Jumat, 21-08-09 | 23:41 | 75 View


Pejabat Pemkot Makassar Daftar di PAN

BULUKUMBA -- Setelah Dirut PT Pusaka Lestari Jaya, A Syukur, kini giliran Kepala Bagian Tata Pemerintahan Kota Makassar, A Gani Sirman yang mendaftar sebagai calon bupati di Partai Amanat Nasional (PAN) Bulukumba. Gani datang ke kantor PAN Bulukumba pukul 17.30 Wita Kamis, 20 Agustus 2009.

Mantan Camat Parangloe, Gowa itu didampingi kerabat dan anggota keluarganya. Saat mendaftar, Gani hanya mengenakan kaus berkerah hitam, celana jins, dan sepatu cats.

"Saya sengaja memilih berpakaian seperti ini, karena ingin menunjukkan bahwa saya ini siap turun di tengah-tengah masyarakat untuk melakukan pengabdian.

Tampil seperti ini memberikan kita energi untuk melakukan sesuatu demi kepentingan masyarakat Bulukumba ke depan," ujar Gani kepada panitia pendaftaran cabup PAN.

Usai mendaftar di PAN yang diterima Ketua Tim 9 DPD PAN, Irhan Rahimin, Bendahara, Banri Alang, serta panitia lainnya, Gani menyempatkan diri bersilaturahmi dengan masyarakat Bulukumba di salah satu warkop. Ketua DPD PAN Bulukumba, Edy Manaf juga hadir dalam silaturahmi tersebut.

Gani menjelaskan, pembangunan yang terjadi di daerah ini belum sesuai dengan harapan masyarakat secara keseluruhan. Karenanya kata dia, dirinya ingin melengkapi proses pembangunan yang saat ini sudah ada yang tampak.

"Jadi bukan tidak ada pembangunan di Bulukumba, tapi itu masih perlu kita lengkapi, sehingga potensi yang cukup menjanjikan baik SDA dan SDM bisa dikelola maksimal," jelas Gani.

Untuk mengelola potensi yang cukup menjanjikan itu, dia menegaskan bahwa pemerintah tidak sekadar membutuhkan kemitraan lokal, tapi juga membutuhkan kerja sama dengan kabupaten, dan provinsi lain, termasuk pihak investor.

Menurut dia, untuk membuat sebuah daerah maju, maka yang diperlukan penentu kebijakan adalah dengan melakukan kerjasama seluas-luasnya kepada semua pihak. Tanpa adanya kerja sama yang baik dengan pihak luar, maka potensi yang cukup menjanjikan sebagaimana dimiliki daerah ini, sulit untuk dikelola secara maksimal.

"Tidak ada daerah yang bisa maju kalau tidak membangun kerja sama dengan pihak luar. Bantaeng saat ini mulai menampakkan kemajuannya, karena mereka membangun kerjasama yang baik dengan pihak luar," jelas Gani.

Secara terpisah Ketua DPW PAN Sulsel, Ashabul Kahfi menegaskan penentuan calon kepala daerah di partai ini ditentukan mekanisme survei. Figur yang mendaftar di masing-masing kabupaten, kata dia akan disurvei lebih dahulu untuk mengetahui popularitas dan elektibilitas kandidat bersangkutan. (sah-amr)

Sukri-Padasi Bersaing untuk Didukung PAN

Sukri-Padasi Bersaing untuk Didukung PAN

Harian Seputar Indonesia Sulawesi Selatan
(www.seputar-indonesia.com)
Tuesday, 25 August 2009

MAKASSAR(SI) – Persaingan antara Bupati Bulukumba Sukri Sappewali dan Wakil Bupati Padasi menjelang Pilkada 23 Juni 2010 mendatang,mulai terlihat terang-terangan.

Dua incumbent itu dipastikan “bercerai” pada periode 2010–2015. Penyebabnya, baik Sukri maupun Padasi, menyatakan siap maju memperebutkan posisi bupati. Bahkan, saat ini keduanya terlibat persaingan mengendarai Partai Amanat Nasional (PAN) setelah ikut mendaftar.

Ketua DPD PAN Bulukumba Edy Manaf tidak menampik persaingan dua bakal kandidat tersebut. Sukri dan Padasi dianggap berpeluang sama diusung nanti, setelah melalui berbagai mekanisme di internal partai, termasuk lewat survei.

“Memang keduanya telah mendaftar bersama dua bakal calon lainnya, yakni Syukur (pengusaha) dan Gani Firman (birokrat). Namun, sampai saat ini kami belum menentukan usungan karena harus melihat hasil survei dulu sebelum ditetapkan DPW,” ungkap Edy kepada SI kemarin.

Dia menambahkan, peluang mengusung dua incumbent tersebut sangat terbuka bila nanti berdasarkan hasil survei, popularitas, dan elektabilitasnya sangat signifikan.

Hanya, dia tidak bisa memprediksi siapa terkuat antara Sukri dan Padasi karena masing- masing dianggap memiliki kelebihan dan kekurangan. Selain bersaing di PAN, Sukri dan Padasi juga dikabarkan terus melakukan penjajakan komunikasi untuk mengendarai partai peraih suara terbanyak di Kabupaten Bulukumba, yakni Partai Golkar. Apalagi,Ketua DPD II Golkar Muttamar Mattotorang telah memberikan sinyal tidak akan maju.

Pengurus Bappilu DPD II Partai Golkar Bulukumba Risman Pasigai menjelaskan, peluang Sukri dan Padasi sangat terbuka diusung partainya. Kendati demikian, pihaknya tetap mendorong Muttamar berpasangan dengan salah satu dari dua kandidat incumbent tersebut.

“Mengenai posisi ketua kami (Muttamar) nanti dilihat realitas politik yang berkembang. Pastinya, kami tentu akan realistis.Kalau memang tidak memungkinkan di posisi 01, tentu tidak diusung untuk posisi itu. Tetapi, sampai saat ini kami belum menentukan siapa yang jadi diusung,” kata Risman yang juga Wakil Ketua DPP KNPI versi Ahmad Doli Kurnia ini.

Mantan Presidium Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) ini menambahkan, DPD II Golkar Bulukumba masih menunggu petunjuk teknis dari DPD I Partai Golkar Sulsel mengenai mekanisme penentuan kandidat. Apakah tetap dilakukan konvensi atau melalui survei. (arif saleh)

Senin, 24 Agustus 2009

Visi Kandidat Bupati Bulukumba Diuji

Harian Fajar (www.fajar.co.id)
Minggu, 23-08-09 | 00:22 | 83 View


Visi Kandidat Bupati Bulukumba Diuji

MAKASSAR -- Warga Bulukumba diingatkan untuk tidak membeli kucing dalam karung. Sebelum menentukan pilihan, sebaiknya mencari informasi lebih dahulu tentang visi-misi kandidat calon yang ada saat ini.

Dua lembaga asal Bulukumba, yakni Phinisi Institute dan Jaringan Jaringan Politik untuk Kerakyatan (JiPeK) membuka kesempatan untuk itu. Visi-misi para kandidat dibedah sebelum maju jadi calon.
Bedah kandidat bupati Bulukumba itu sudah berlangsung dua seri. Pada seri pertama, tampil Syamsul Bahri Gaffar, mantan kepala BNI Cabang Parepare.

Lalu, pada seri kedua yang berlangsung Jumat, 21 Agustus, malam, tampil kandidat lainnya, Abdul Syukur. Dia adalah salah seorang direksi BUMN di Jayapura, Papua. Acara itu digelar di Hotel Boulevard, Makassar.

Hadir sebagai panelis antara lain Konsultan Pertanian Dinas Pertanian Bulukumba, Dr Kamaruddin, Manajer Program Kopel Sulawesi, Herman, akademisi Andhika Mappasomba, dan Andi Baso Mappasulle dari Phinisi Institute.

Koordinator JiPeK Bulukumba, Anis Kurniawan Al Ansyari, Sabtu, 22 Agustus, mengatakan sejauh ini sudah lima kandidat bupati yang mendaftar ikut bedah visi-misi itu. Termasuk Syamsul Bahri dan Abdul Syukur.

Tiga kandidat lainnya yang siap membeberkan visi-misinya adalah Wakil Bupati Bulukumba periode 2005-2010 Padasi, Kepala Bagian Tata Pemerintahan Makassar, Gani Sirman, dan Bupati Pohuwato, Gorontalo, Zainuddin Hasan.

"Kami membedah semua bidang. Mulai ekonomi, sosial, hingga soal tata kelola pemerintahan," jelas Anis.
Setelah semua kandidat rampung mendapat giliran memaparkan visi-misinya satu per satu, rencananya seluruh kandidat calon bupati akan dipertemukan dalam satu forum.

Menurut Anis, pihaknya masih membuka ruang bagi kandidat calon bupati lainnya untuk tampil dalam debat tersebut. "Termasuk incumbent kalau beliau bersedia," tambahnya.
Selain itu, kandidat wakil bupati juga diberi kesempatan. "Hanya saja, hingga saat ini mereka tampaknya masih malu-malu," tandasnya.(sap)

Minggu, 23 Agustus 2009

PERAHU PINISI : Nenek Moyangku Orang Pelaut

PERAHU PINISI
'Nenek Moyangku Orang Pelaut'


Catatan: Artikel ini dimuat pada Majalah Indonesia Media edisi Desember 1999. Saya kutip dari www.indonesiamedia.com, pada hari Senin dinihari, 23 Agustus 2009. (Wassalam: Asnawin)

Dalam rangka penggalakan negara Maritim kembali, sesuai dengan kebutuhan wawasan nusantara yang banyak di usulkan oleh banyak tokoh tokoh Sosial budaya termasuk: Pramoedya Ananta Toer (pengarang buku "Hoakiaw" dan "Nanyi sunyi seorang bisu", Sarwono Kusumaatmadja (menteri eksplorasi laut dan mantan menteri lingkungan hidup).

Kedua tokoh ini dengan sangat serius pernah menekankan masalah penggalakan negara Maritim untuk Indonesia, sewaktu mereka memberikan konperensi Pers di Los Angeles, atas undangan Committee for Human Rights in Indonesia pada awal tahun ini, walaupun mereka berdatangan bukan pada waktu yang bersamaan.

Dipercaya bahwa usulan kembali ke negara maritim ini bukan hanya semata lahir dari kedua tokoh diatas, namun memang disadari oleh masyarakat Indonesia atas kebutuhan perlindungan kekayaan laut dan pemanfaatan sumberdaya laut nusantara.

Usulan ini ditanggapi secara nyata dengan pengangkatan Laksamana TNI Widodo sebagai panglima TNI (dulu Pangab), dan penciptaan menteri eksplorasi laut dalam kabinet baru ini.

Masih segar dalam ingatan kami atas kunjungan KRI Dewa Ruci ke AS. Mengingatkan kami kembali kepada "Nenek moyang kita orang pelaut" dan dilaut kita berjaya (Jalesveva Jaya Mahe). Untuk itu kami coba menahyangkan kebudayaan kami, "Pinisi" yang telah terbukti menjelajah ke penjuru dunia dari Madagaskar sampai ke pantai barat Amerika.

LEGENDA

Konon kabarnya Sawerigading, putra mahkota kerajaan Luwu di pesisir Sulawesi Selatan. Sang Pangeran yang gagah perkasa in baru pulang melanglang buana. Apa hendak dikata, di kampung halaman sendiri, Ia justru jatuh hati pada saudara kembarnya sendiri, Watentri Abeng nan jelita.

Tentu saja Sang Puteri menolak cinta sumbang ini. Raja dan Permaisuri pun murka. Itu tak boleh terjadi. Niat Sawerigading hanya akan mendatangkan petaka bagi bumi Luwu.

Oleh karena itu, Sawerigading harus diIaknat. Tapi, ya dasar saudara kembar, Watentri Abeng jadi ikut berduka. Untuk menghibur Saweri, Watenri menyuruh saudara kembarnya ini pergi ke negeri Tiongkok.

Di sana, kata Watentri, ada seorang puteri yang wajahnya mirip dengan Watenri. Puteri We Cudai namanya. Sawerigading menerima usulan adiknya itu. Celakanya, Sawerigading tidak dapat berlayar karena kapalnya sudah tua dan rapuh. Untuk membuat sebuah kapal yang baru dan tangguh, ditunjukkanlah kepadanya pohon welengrenge, sebatang pohon milik Dewata di Mangkutu. Pohon bertuah itu coba ditebang. Tetapi, sekuat daya diupayakan, pohon tak juga kunjung tumbang.

Atas saran Wetenri Abeng, diadakanlah upacara besar-besaraan, dipimpin Iangsung oleh nenek Sawerigading, seorang sakti mandraguna. Namun, tatkala pohon bertuah itu rubuh, Pohon welengrenge langsung masuk ke perut bumi membawa serta nenek Sawerigading.

Anehnya, sesat kemudian muncul sebuah parahu, bak tersembulkan dari perut bumi, megah nan indah. Maka berlayarlah Sawerigading menuju negeri Tiongkok.

Namun sebelum dia bertolak, sempat dia mengucap sumpah (mungkin karena patah hatinya) bahwa dia tidak akan pulang ke tanah Luwu, kecuali bila tulangnya dibawa tikus.

Sawerigadingpun berhasil mempersunting puteri We Cudai dari Tiongkok . Namun setelah sekian lamanya dia tinggal di negeri Tiongkok timbul juga rasa rindu ke tanah kelahirannya, akhirnya membuat dia berlayar kembali ke tanah Luwu.

Rupanya dia lupa akan sumpahnya, dan dia kembali berlayar pulang dengan perahu Walengrenge dulu. Dewata menjadi murka, menjelang perahu mendekat ke pantai Luwu, tiba-tiba perahunya pecah.

Pecahan perahunya terdampar di 3 tempat, yaitu seluruh papan lambung perahu terdampar di Ara. Tali temali dan layarnya terdampar di Bira, sedangkan lunas yang ada pada haluan sampai buritan terhempas di Lemo-lemo.

Oleh masyarakat bagian bagian perahu itu dirakit kembali menjadi sebuah perahu yang megah dan kelak perahu itu dinamakan perahu Pinisi atau penes.

Dari cerita rakyat inilah konon muncul ungkapan "Panre patangan’na Bira, Paingkolo tu Arayya, Pabingkung tu Lemo-lemoa" Maksudnya; Ahli melihat dari Bira, ahli memakai singkolo (alat untuk merapatkan papan) dari Ara, dan ahli menghaluskan dari Lemo-lemo.

Ungkapan ini tentu berkaitan dengan kemampuan membuat perahu yang akhirnya diwariskan turun-temurun. Para pengguna perahu pinisi yakin, bila para ahli dari ketiga daerah ini terlibat dalam pembuatan perahu, dapat dipastikan hasilnya akan sangat prima.

Walau kemudian perahu pinisi sangat populer sebagai armada pelayaran rakyat, menjadi alat pengangkut dan menjembatani kebutuhan masyarakat dari pulau ke pulau di Indonesia, namun ada juga yang mengatakan bahwa nama pinisi yang dilekatkan pada perahu pelaut-pelaut Bugis dari Sulawesi Selatan itu, sebenarnya berasal dari sebuah bandar di Laut Tengah (Italia) bernama Venice.

Bandar itu termasuk bandar yang ramai disinggahi oleh kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Khususnya ketika rempah-rempah dari bumi nusantara ini mengalir ke Eropa.

Suku Bugis Makasar memang biasa mengabadikan nama-nama tempat yang penuh kenangan atau yang mempunyai kesan istimewa pada perahunya. Suku Bugis Makasar juga mengidentikkan perahunya dengan sejenis ikan yang berenang sangat cepat di laut lepas. Berharap perahunya dapat lari seperti ikan itu, pemilik perahu pinisi banyak pula yang menamakan perahunya dengan ‘Pinisi Palari’.

Dari proses perkembangan Pinisi dapat kita jumpai dari macam prototypenya yang dinamakan "Adarak", yaitu papan yang bersusun tanpa paku, lalu berkembang menjadi "Nisikkok", diikat, kemudian menjadi "Salompong" yaitu memiliki undakan pada haluannya.

Zaman menuntut Pinisi bermetamorphosa menjadi "Jonggolang", dengan haluan tertutup. Sampai pinisi ini harus menyesuaikan dengan technologi modern, sehingga sulit akhirnya kita mengidentifikasikan yang mana pinisi yang asli.

Tapi pada dasarnya Pinisi yang asli adalah yang bertiang dua. Pinisi banyak terlihat di pelabuhan Sunda Kelapa (Pasar Ikan), masih digunakan untuk angkutan tradisionil intersuler.

Pembuatan Perahu Pinisi

Tana Beru adalah salah satu dimana kemegahan pinisi dilahirkan. Dari Ibukota Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan - 176 KM dari Ujungpandang atau 23 KM dan Bulukumba inilah sekarang perahu pinisi banyak diproduksi.

Para pembuat perahu tradisional ini, yakni: orang-orang Ara dan Bira, yang secara turun temurun mewarisi tradisi kelautan nenek moyangnya. Upacara ritual juga masih mewarnai proses pembuatan perahu ini. Hari baik untuk mencari kayu biasanya jatuh pada hari kelima dan ketujuh pada bulan yang berjalan.

Angka 5 (naparilimai dalle’na) yang artinya rezeki sudah di tangan. Sedangkan angka 7 (natujuangngi dalle’na) berarti selalu dapat rezeki. Setelah dapat hari baik, lalu kepala tukang yang disebut "punggawa" memimpin pencarian.

Sebelum pohon ditebang, dilakukan upacara untuk mengusir roh penghuni kayu tersebut. Seekor ayam dijadikan sebagai korban untuk dipersembahkan kepada roh. Jenis pohon yang ditebang itu disesuaikan dengan fungsi kayu tersebut. Pemotongan kayu untuk papan selalu disesuaikan dengan arah urat kayu agar kekuatannya terjamm. Setelah semua bahan kayu mencukupi, barulah dikumpulkan untuk dikeringkan.

Peletakan lunas juga memakai upacara khusus. Waktu pemotongan, lunas diletakkan menghadap Timur Laut. Balok lunas bagian depan merupakan simbol lelaki. Sedang balok lunas bagian belakang diartikan sebagai simbol wanita.

Setelah dimantrai, bagian yang akan dipotong ditandai dengan pahat. Pemotongan yang dilakukan dengan gergaji harus dilakukan sekaligus tanpa boleh berhenti. Karena itu, pemo-tongan harus dilakukan oleh orang yang ber-tenaga kuat.

Ujung lunas yang sudah terpotong tidak boleh menyentuh tanah. Bila balok bagian depan sudah putus, potongan itu harus dilarikan untuk dibuang ke laut. Potongan itu menjadi benda penolak bala dan dijadikan kiasan Sebagai suami yang siap melaut untuk mencari nafkah.Sedangkan potongan balok lunas bagian belakang disimpan di rumah, dikiaskan sebagai istri pelaut yang dengan setia menunggu suami pulang dan membawa rezeki.

Pemasangan papan pengapit lunas, disertai dengan upacara "Kalebiseang". Upacara "Anjerreki" yaitu untuk penguatan lunas, disusul dengan penyusunan papan dari bawah dengan ukuran lebar yang terkecil sampai keatas dengan ukuran yang terlebar. Jumlah seluruh papan dasar untuk perahu pinisi adalah 126 lembar.

Setelah papan teras tersusun, diteruskan dengan pemasangan buritan tempat meletakkan kemudi bagian bawah.

Apabila badan perahu sudah selesal dikerjakan, dilanjutkan dengan pekerjaan "a’panisi", yaitu memasukkan majun pada sela papan. Untuk merekat sambungan papan supaya kuat, digunakan sejenis kulit pohon barruk.

Selanjutnya, dilakukan allepa, yaitu mendempul. Bahan dempul terbuat dari campuran kapur dan minyak kelapa. Campuran tersebut diaduk Selama 12 jam, dikerjakan sedikitnya 6 orang. Untuk kapal 100 ton, diperlukan 20 kg dempul badan kapal. Sentuhan terakhir adalah menggosok dempul dengan kulit pepaya.

Proses terakhir kelahiran pinisi adalan peluncurannya. Upacara selamatan diadakan lagi. Untuk perahu dengan bobot kurang dan 100 ton, biasanya dipotong seekor kambing. Sedangkan untuk kapal 100 ton keatas, dipotong seekorsapi.

Ketika pinisi sudah mengapung dl laut, barulah dipasang layar dan dua tiang. Layarnya kadang-kadang berjumlah tujuh. Kapal yang diluncurkan biasanya sudah siap dengan awaknya.

Peluncuran kapal dilaksanakan pada waktu air pasang dan matahari sedang naik. Punggawa alias kepala tukang, sebagal pelaksana utama upacara tersebut, duduk di sebelah kiri lunas. Doa atau tepatnya mantra pun diucapkan:

Bismillahir Rahmanir Rahim BuIu-bulunnako buttaya, patimbonako bosiya, kayunnako mukmamulhakim, laku sareang Nabi Haidir (Artinya: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Kau adalah bulu-bulunya tanah, tumbuh karena hujan, kayu dari kekayuan dari Mukmanul Hakim saya per-caya Nabi Haidir untuk menjagamu).

Wisudawan Terbaik Unismuh Diprioritaskan Jadi Dosen

Wisudawan Terbaik Unismuh Diprioritaskan Jadi Dosen

Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar memberi prioritas untuk diangkat menjadi dosen tetap yayasan kepada wisudawan terbaik pada acara wisuda ke-42 Unismuh Makassar, Senin, 27 Juli 2009. Pada acara wisuda tersebut, Koordinator Kopertis IX Sulawesi, Prof Dr HM Basri Wello MA, turut memberikan sambutan.

Wisudawan terbaik tersebut atas nama Mallombassi. Pria asal Kabupaten Bulukumba ini kuliah pada program studi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), dengan IPK 3,73 dan lama studi 4,8 tahun.

Selain memberi prioritas jadi dosen, Unismuh juga akan memberikan beasiswa kepada wisudawan terbaik tersebut untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang magister (S2), baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

"Ini kami lakukan untuk memberdayakan alumni, khususnya yang memiliki prestasi bagus. Daripada orang lain yang ambil, lebih baik kita yang memanfaatkannya," kata Rektor Unismuh Dr Irwan Akib MPd, kepada Humas Kopertis IX Sulawesi, Asnawin, dan sejumlah wartawan, saat rehat acara wisuda.

Berikut nama-nama wisudawan terbaik masing-masing fakultas dan Program Pascasarjana:
1. Rahmiati (program studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Agama Islam, IPK 3,8, lama studi 4 tahun, asal daerah Kabupaten Maros).
2. Mallombassi (Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP, IPK 3,73, lama studi 4,8 tahun, asal daerah Kabupaten Bulukumba).
3. A. Chaidir Ghalib (program studi Ilmu Administrasi Negara, Fisipol, IPK 3,47, lama studi 4,5 tahun, asal daerah Kabupaten Dili, Timor Timur).
4. Mawardi (program studi Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian, IPK 3,71, lama studi 5,5 tahun, asal daerah Kabupaten Pinrang).
5. Ismail (program studi Akuntansi, Fakultas Ekonomi, IPK 3,80, lama studi 4,8 tahun, asal daerah Kabupaten Jeneponto).
6. Indah Wahyuni (program studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, IPK 3,51, lama studi 7 tahun).
7. Rosdiana, SE (program studi Magister Manajemen, Konsentrasi Manajemen Keuangan, Program Pascasarjana, IPK 3,94, lama studi 1,9 tahun, asal daerah Kabupaten Bone).

Pembantu Rektor I Unismuh, Abdul Rahman Rahim, menjelaskan, calon wisudawan terbaik diusulkan oleh masing-masing fakultas dan kemudian diseleksi di tingkat universitas, yang meliputi pengetahuan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, baca tulis Al-Qur'an, pengetahuan tentang akademik, organisasi perguruan tinggi, seta kemahasiswaan.

Sejak beberapa tahun lalu, Unismuh Makassar melaksanakan wisuda dua kali setahun. Pada acara wisuda kali ini, alumni yang diwisuda lebih dari 400 orang.

Acara wisuda juga diisi dengan orasi ilmiah oleh Prof Dr Zamroni MSc (Bendahara Umum PP Muhammadiyah) dengan judul "Menuju Indonesia yang Berkeadaban, Refleksi Peran dan Eksistensi Muhammadiyah dalam Pembangunan Umat dan Bangsa."

Makassar, 27 Juli 2009
Humas Kopertis IX : Asnawin

Orang Bulukumba Alumnus Terbaik Unismuh

Orang Bulukumba Alumnus Terbaik Unismuh

Laporan: Suryana Anas
tribuntimurcom@yahoo.com (www.tribun-timur.com)
Rabu, 28 Januari 2009 | 15:20 WITA

MAKASSAR, TRIBUN - Ahmad, mahasiswa pendidikan agama Islam, menjadi alumnus terbaik Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar pada acara wisuda sarjana di Auditorium Al Amien Unismuh, Jl Sultan Alauddin, Rabu (28 Januari 2009).

Ahmad asal Kabupaten Bulukumba ini menempuh pendidikan hingga jadi sarjana selama 4 tahun. Indeks prestasi kumulatif (IPK) Ahmad 3,93.

Hari ini Unismuh baru saja mewisuda 1.536 orang yang berasal dari Fakultas Ekonomi, Teknik, Pertanian, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Pertanian, Pendidikan Agama Islam, dan Pendidikan Guru Sekolah Dasar.

Unismuh kembali akan melakukan wisuda pada Kamis (29/1) besok untuk wisudawan dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.(*)

Studi Banding HKm, dari Bulukumba ke Gunungkidul

Studi Banding HKm, dari Bulukumba ke Gunungkidul

Direkam dari: perhimpunanshorea.org, pada 23 Agustus 2009

Pemerintah daerah Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan mengunjungi Kabupaten Gunungkidul pada 21 Juli 2009. Kunjungan itu dalam rangka studi banding hutan kemasyarakatan (HKm). Sejumlah 20 orang, terdiri atas delapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan 12 pejabat daerah Bulukumba.

Rombongan dari Kabupaten Bulukumba tersebut disambut oleh Pejabat Kecamatan Paliyan, Pejabat Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Pamong Desa Karangasem, dan Kelompok Tani Hutan Sedyo Lestari.

Berlokasi di Kelompok Tani tersebut, di Desa Karangasem Paliyan, peserta studi banding berdiskusi dan melihat langsung kegiatan ekonomi produktif kelompok HKm.

Sabtu, 22 Agustus 2009

Golkar Kontrak LSI Rp 750 Juta

Harian Fajar (www.fajar.co.id)
Sunday, 16 August 2009


Golkar Kontrak LSI Rp 750 Juta

MAKASSAR (SI)- Target Partai Golkar Sulsel menyapu bersih 11 kabupaten yang menggelar Pilkada 23 Juni 2010 mendatang,mulai disiapkan.

Tidak tanggung-tanggung, partai pemenang pemilu legislatif di Sulsel ini, menggelontorkan dana Rp750 juta untuk menyewa jasa “raja” survei, yakni Lembaga Survei Indonesia (LSI).

Ketua DPD I Golkar Sulsel, Ilham Arief Sirajuddin menyatakan, lembaga survei yang dikontrak tersebut, akan melakukan survei di 11 kabupaten untuk melihat tingkat popularitas dan elektabilitas masing-masing bakal calon bupati dan wakil bupati sebelum direkomendasikan.

Menurut Ilham, langkah yang ditempuh DPD I tersebut, dengan langsung membiayai lembaga survei professional, diharapkan bisa objektif dalam menentukan bakal calon yang diusung. Sebab, bila survei dilakukan oleh DPD II, dikhawatirkan hasilnya subjektif untuk kandidat tertentu.

“Intinya, kami tidak mau lagi untuk tidak mengusung kandidat yang pasti menang. Kalau memang surveinya tinggi, maka kita akan usung dia. DPD I siap menurunkan konsultan politik nantinya, begitupun pembiayaannya akan ditanggung DPD I,” tegas Ilham saat memberikan pengarahan di Orientasi Calon Anggota FPG DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota di Ballroom Singgasana Makassar, kemarin.

Ilham yang juga Wali Kota Makassar dua periode ini menegaskan, hasil survei yang dikeluarkan nantinya, akan dijadikan rujukan merekomendasikan siapa bakal calon berhak mengendarai Golkar.

Jika nantinya,lanjut dia,yang tertinggi adalah kader Golkar sendiri, maka diprioritaskan. Namun, bila ada kandidat lain di luar struktur Golkar yang dianggap lebih berpeluang, makapeluangnya sangatbesar diusung.

Golkar tetap memberikan kesempatan kepada kader terbaiknya. Tapi, itu harus dilandasi oleh kajian yang mendalam. Kita memang prirotaskan, namun bila ada figur lain yang dicintai masyarakat maka kita akan berikan kesempatan,” tandas Ilham kepada wartawan usai memberikan pengarahan.

Mengenai tradisi Golkar di daerah selama ini, yakni penentuan melalui konvensi. Ilham mengaku, tidak dijadikan rujukan lagi. Namun, bila ada DPD II ingin melakukan konvensi, pihaknya tidak melarang.

Akan tetapi,hasil dari konvensi itu, bisa saja tidak sesuai dengan rekomendasi DPD I nantinya.

“Dana Rp750 juta untuk survei, termasuk pembiayaan mekanisme tahapantahapannya, memang kami biayai. Dan hasil semua ini nanti,sekali lagi akan menjadi dasar menentukan figur usungan Golkar. Kalau kewenangan DPD II, tetap kita berikan, tapi hanya sebatas aspirasi saja, karena penentuannya di DPD I,” tambah mantan Ketua DPD II Golkar Makassar.

Sekadar diketahui, dari 10 kabupaten minus Tana Toraja Utara yang menggelar pilkada Juni 2010 mendatang, hanya lima diantaranya dimenangkan oleh Golkar saat Pilkada 2005, yakni Kabupaten Barru, Gowa, Pangkep, Maros, dan Luwu Timur.

Sementara lima daerah lainnya, Soppeng, Selayar, Bulukumba, Tana Toraja, dan Luwu Utara, kandidat usungan Golkar ditumbangkan. Sementara hasil pilkada 2007-2008, dari 13 daerah, Golkar merebut kemenangan di delapan daerah, yakni Takalar, Bone, Palopo, Sinjai, Enrekang, Parepare, Jeneponto, dan Makassar.

Untuk Bantaeng, Sidrap, Pinrang,Wajo, dan Luwu diambil alih usungan koalisi partai politik lainnya. Berdasarkan pantauan, dari 10 daerah yang menggelar pilkada 2010, tiga Ketua DPD II Golkar yang saat ini menjabat sebagai bupati di periode keduanya, dipastikan tidak bisa lagi ikut bertarung, Bupati Maros Andi Najamuddin, Bupati Barru Muh Rum, dan Bupati Tana Toraja Johanis Amping Situru.

Khusus tiga incumbent usungan Golkar saat pilkada 2005, yakni Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo, Bupati Pangkep Syafruddin Nur, dan Bupati Luwu Timur Andi Hatta Marakarma, peluangnya disebutsebut menguat kembali mengendarai partai bernomor urut 23 ini.

Untuk incumbent Bulukumba, Andi Sukri Sappewali yang mengalahkan usungan Golkar saat Pilkada 2005, peluangnya terbuka mengendarai Golkar. Apalagi, Ketua DPD II Golkar Bulukumba, Muttamar Mattotorang yang disebut-sebut akan maju, justru menyatakan sikapnya hanya ingin fokus di DPRD dan lebih memberikan jalan bagi kandidat lain, khususnya incumbent.

Informasi yang dihimpun, di Pilkada Soppeng, Ketua DPRD yang juga Pelaksana tugas (Plt) Ketua DPD II Golkar Soppeng, Andi Kaswadi Razak sudah digadang-gadang oleh kader beringin di Kota Kalong tersebut, untuk mengendarai Golkar sebagai calon bupati. Termasuk peluang politisi senior DPP Partai Golkar, Malkan Amin di Barru. (arif saleh)

Jumat, 21 Agustus 2009

400 Masjid di Bulukumba Tak Kebagian Dai


MASJID BABUL KHAER. Sekitar 400 masjid di Kabupaten Bulukumba tidak kebagian dai untuk bulan suci Ramadhan ini. Dari sekitar 600-an masjid yang tersebar di 10 kecamatan di Bulukumba, hanya 200 masjid yang mendapatkan dai untuk menyampaikan dakwah selama bulan puasa ini. (Foto: Asnawin)

----------------------

400 Masjid di Bulukumba Tak Kebagian Dai

Harian Tribun Timur (www.tribun-timur.com)
Saturday, 22-08-2009

Bulukumba, Tribun - Sekitar 400 masjid di Kabupaten Bulukumba tidak kebagian dai untuk bulan suci Ramadhan ini. Dari sekitar 600-an masjid yang tersebar di 10 kecamatan di Bulukumba, hanya 200 masjid yang mendapatkan dai untuk menyampaikan dakwah selama bulan puasa ini.

Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bulukumba Kamaluddin Jaya mengatakan, Muhammadiyah bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Bulukumba telah menyebarkan sejumlah dai. Namun tidak semua masjid kebagian dai dan beberapa tempat juga sulit diakses.

"Sekitar 200-an masjid di Bulukumba yang mendapatkan dai selama bulan puasa dari 600-an masjid yang biasa dipakai salat Jumat," kata Kamaluddin, sore kemarin.

Sementara dua kecamatan di wilayah Bulukumba yang berbatasan tiga daerah lainnya di Sulsel, dipastikan tidak mendapatkan lagi dai. Tempat tersebut cukup jauh dari ibu kota kabupaten, berjarak antara 40-52 kilometer.

Daerah tersebut antara lain Kecamatan Kindang dan Kajang. Kindang mempunyai daerah terpencil yang terletak di antara dua kabupaten lainnya di Sulsel, yakni Gowa dan Bantaeng.

Lokasi tersebut bernama Kahayyah, Kindang. Sementara di Lulisan, Kecamatan Kajang Bulukumba berbatasan Kabupaten Sinjai.

Kampung Kahayyah ini aksesnya lumayan jauh dibandingkan sejumlah dearah lainnya di Bulukumba dan berada di kaki bukit antara pegunungan Bawakareang dan wilayah daratan Bulukumba. Sama halnya dengan Lulisan yang terletak di wilayah bagian utara Bulukumba.

Muhammadiayah Bulukumba hanya memiliki 38 orang dai yang akan mengisi safari yang digulirkan selama Ramadan tersebut untuk membawakan ceramah tarwih. Jumlah tersebut jauh tidak mencukupi masjid yang ada di Butta Panrita Lopi ini. (cr5)

Angkatan Muda di Wilayah Terpencil

PD Muhammadiyah Bulukumba menggerakkan angkatan muda Muhammadiyah di daerah ini. Sebab sejumlah masjid tidak kebagian penceramah tarwih.

"Kita gerakkan saja angkatan muda Muhammadiyah, karena banyak masjid tidak dapat dai, termasuk daerah yang berada di Kindang dan Kajang," kata Kamaluddin.

Angkatan Muda Muhammadiyah yang dimaksudkan di antaranya mahasiswa Muhammadiyah, pelajar Muhammadiyah, Nasyiatul Nasyiah, Tapak Suci Muhammadiyah, dan Hisbul Watan. (cr5)

PD Muhammadiyah-Pemkab Berseteru

Harian Fajar (www.fajar.co.id)
Kamis, 20-08-09 | 20:47 | 39 View

PD Muhammadiyah-Pemkab Berseteru
-Terkait Balkesmas di Kalumeme

BULUKUMBA -- Pengurus Daerah (PD) Muhammadiyah Bulukumba terlibat perseteruan dengan Pemkab Bulukumba terkait keberadaan Balai Kesehatan Masyarakat (Balkesmas) yang dulunya adalah gedung Loka Bina Karya eks milik Departemen Sosial.

Muhammadiyah keberatan dengan sikap pemkab yang ingin mengambil alih gedung yang dikelola Muhammadiyah itu tanpa berkoordinasi dengan pengurus Muhammadiyah.

Dalam keterangan pers yang disampaikan Ketua PD Muhammadiyah Bulukumba, Kamaluddin Jaya, Rabu, 19 Agustus, ormas Islam ini merasa pemkab seolah-olah menempatkan Muhammadiyah sebagai pengelola ilegal gedung tersebut. Hal itu terlihat dari surat yang dilayangkan Bupati Bulukumba, AM Sukri Sappewali sebanyak tiga kali kepada PD Muhammadiyah.

Dalam surat tersebut, bupati dengan tegas meminta PD Muhammadiyah Bulukumba mengosongkan Balkesmas yang terletak di Kelurahan Kalumeme, Kecamatan Ujung Bulu, Bulukumba itu. Tidak hanya itu, PD Muhammadiyah diminta segera menyerahkan kunci gedung tersebut kepada Dinas Kesejahteraan Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kesosnakertrans) Bulukumba.

Surat bupati yang meminta segera melakukan pengosongan dan penyerahan kunci gedung itu dinilai Muhammadiyah kurang etis. Padahal menurut Kamaluddin, gedung tersebut tidak pernah dirampas, namun diserahkan oleh pemkab secara baik-baik.

Kamaludin menjelaskan, gedung itu dikelola Muhammadiyah mulai 2002 lalu. Bupati Bulukumba saat itu, A Patabai Pabokori, mewakili pemkab selaku pihak pertama dan PD Muhammadiyah sebagai
pihak kedua sepakat menyerahkan gedung dikelola Muhammadiyah.

"Poin lain menegaskan bahwa jika gedung itu sudah tidak difungsikan lagi oleh Muhammadiyah, maka pihak kedua (Muhammadiyah) harus menyerahkannya kepada pemkab. Masalahnya gedung itu masih kita fungsikan untuk kemaslahatan masyarakat Bulukumba," jelas Kamaluddin.

Kamaluddin menjelaskan, gedung tersebut dimanfaatkan sebagai pelayanan kesehatan seperti pemeriksaan kandungan ibu hamil, persalinan, pengobatan umum, tempat praktik siswa SMK Keperawatan Muhammadiyah, Sekretariat Muhammadiyah, serta pusat Pendidikan dan Latihan Muhammadiyah.

Bupati Bulukumba, AM Sukri Sappewali dalam suratnya menjelaskan, eks Gedung Loka Bina Karya itu akan direhabilitasi untuk selanjutnya digunakan kepentingan sosial khususnya penyandang cacat. Informasi yang diperoleh, Departemen Sosial akan menggelontorkan proyek ke daerah ini untuk penyandang cacat, namun karena tidak ada gedung lain maka gedung yang dikelola Muhammadiyah itu ditunjuk pemkab.

Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Bulukumba, Jalaluddin, Rabu 19 Agustus, membenarkan keinginan pemkab mengambil alih gedung tersebut. Hanya saja, terkait persoalan yang memicu perseteruan, diserahkan Jalaluddin kepada (sah)
SULAWESI SELATAN
Kamis, 20-08-09 | 20:47 | 39 View
PD Muhammadiyah-Pemkab Berseteru
Terkait Balkesmas di Kalumeme

BULUKUMBA -- Pengurus Daerah (PD) Muhammadiyah Bulukumba terlibat perseteruan dengan Pemkab Bulukumba terkait keberadaan Balai Kesehatan Masyarakat (Balkesmas) yang dulunya adalah gedung Loka Bina Karya eks milik Departemen Sosial.

Muhammadiyah keberatan dengan sikap pemkab yang ingin mengambil alih gedung yang dikelola Muhammadiyah itu tanpa berkoordinasi dengan pengurus Muhammadiyah.

Dalam keterangan pers yang disampaikan Ketua PD Muhammadiyah Bulukumba, Kamaluddin Jaya, Rabu, 19 Agustus, ormas Islam ini merasa pemkab seolah-olah menempatkan Muhammadiyah sebagai pengelola ilegal gedung tersebut. Hal itu terlihat dari surat yang dilayangkan Bupati Bulukumba, AM Sukri Sappewali sebanyak tiga kali kepada PD Muhammadiyah.

Dalam surat tersebut, bupati dengan tegas meminta PD Muhammadiyah Bulukumba mengosongkan Balkesmas yang terletak di Kelurahan Kalumeme, Kecamatan Ujung Bulu, Bulukumba itu. Tidak hanya itu, PD Muhammadiyah diminta segera menyerahkan kunci gedung tersebut kepada Dinas Kesejahteraan Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kesosnakertrans) Bulukumba.

Surat bupati yang meminta segera melakukan pengosongan dan penyerahan kunci gedung itu dinilai Muhammadiyah kurang etis. Padahal menurut Kamaluddin, gedung tersebut tidak pernah dirampas, namun diserahkan oleh pemkab secara baik-baik.

Kamaludin menjelaskan, gedung itu dikelola Muhammadiyah mulai 2002 lalu. Bupati Bulukumba saat itu, A Patabai Pabokori, mewakili pemkab selaku pihak pertama dan PD Muhammadiyah sebagai
pihak kedua sepakat menyerahkan gedung dikelola Muhammadiyah.

"Poin lain menegaskan bahwa jika gedung itu sudah tidak difungsikan lagi oleh Muhammadiyah, maka pihak kedua (Muhammadiyah) harus menyerahkannya kepada pemkab. Masalahnya gedung itu masih kita fungsikan untuk kemaslahatan masyarakat Bulukumba," jelas Kamaluddin.

Kamaluddin menjelaskan, gedung tersebut dimanfaatkan sebagai pelayanan kesehatan seperti pemeriksaan kandungan ibu hamil, persalinan, pengobatan umum, tempat praktik siswa SMK Keperawatan Muhammadiyah, Sekretariat Muhammadiyah, serta pusat Pendidikan dan Latihan Muhammadiyah.

Bupati Bulukumba, AM Sukri Sappewali dalam suratnya menjelaskan, eks Gedung Loka Bina Karya itu akan direhabilitasi untuk selanjutnya digunakan kepentingan sosial khususnya penyandang cacat. Informasi yang diperoleh, Departemen Sosial akan menggelontorkan proyek ke daerah ini untuk penyandang cacat, namun karena tidak ada gedung lain maka gedung yang dikelola Muhammadiyah itu ditunjuk pemkab.

Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Bulukumba, Jalaluddin, Rabu 19 Agustus, membenarkan keinginan pemkab mengambil alih gedung tersebut. Hanya saja, terkait persoalan yang memicu perseteruan, diserahkan Jalaluddin kepada (sah)

Penerapan Syari’at Islam Di Desa Padang Bulukumba Sulawesi Selatan (bagian 7-habis)

Penerapan Syari’at Islam Di Desa Padang Bulukumba Sulawesi Selatan (bagian 7-habis)

Oleh: Lukman Ma’sa



Penutup

Menda’wahkan tegaknya Syari’at Islam dan mengaplikasikannya baik secara individu, keluarga, bermasyarakat maupun dalam kehidupan bernegara, adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Hal ini bukanlah pekerjaan mudah yang bisa dianggap remeh.

Menegakkan syari’at Islam adalah pekerjaan besar yang membutuhkan keseriusan, kecerdikan, semangat yang membaja dan membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit.

Oleh karena itu, dalam usaha penerapan syari’at Islam di Indonesia secara struktural, diperlukan terobosan-terobosan atau strategi-strategi baru dalam upaya penerapannya di tengah-tengah masyarakat.

Salah satunya adalah dengan memanfaatkan Undang-Undang Otonomi Daerah Tahun 1999, dimana dalam undang-undang tersebut diatur tentang kebebasan pemerintah daerah dalam mengelola dan mengembangkan urusan rumah tangganya sendiri, yang bersumber pada otonomi dan tugas perbantuan.

Berdasarkan undang-undang otonomi daerah, pemerintah daerah dapat membuat peraturan, berupa peraturan daerah (perda) untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah yang bersangkutan. Termasuk di dalamnya mengatur masalah keagamaan, dimana sebagian kegiatan keagamaan ini dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah dalam rangka menumbuhkembangkan kehidupan beragama di wilayahnya.

Salah satu perda yang dapat disusun oleh pemerintah daerah dalam rangka menumbuhkembangkan kehidupan beragama tersebut adalah perda yang berlandaskan syari’at Islam.

Seperti yang telah dilakukan oleh pemerintah kabupaten Bulukumba dengan menyusun dan menerapkan perda tentang larangan peredaran dan penjualan minuman beralkohol, perda pengelolaan zakat profesi, infaq dan shadaqah, perda berpakaian muslim dan muslimah, dan perda pandai baca al-Qur’an bagi siswa dan calon pengantin.

Dalam upaya menegakkan empat perda ini, pemerintah kabupaten Bulukumba melakukan berbagai macam bentuk sosialisasi dan strategi dalam memahamkannya kepada masyarakat.

Salah satu strateginya adalah dengan membentuk Desa Percontohan Muslim, yang diharapkan menjadi pelopor pelaksanaan syari'at Islam. Salah satu dari 12 desa Muslim yang telah terbentuk adalah desa Muslim Padang.

Sebagai salah satu daerah otonom, pemerintah Desa Padang dapat melakukan sosialisasi dan strategi-strategi yang sesuai dengan keadaan atau kebutuhan daerahnya serta dapat membuat aturan-aturan desa yang dapat membantu terlaksananya perda-perda tersebut di Desa Padang.

Penerapan perda-perda tersebut di Bulukumba khususnya di Desa Padang, benar-benar telah membawa perubahan yang signifikan. Dan penegakan perda-perda tersebut tidak hanya memajukan hal-hal yang diatur dalam perda tersbut, akan tetapi aspek-aspek lainnya pun ikut dimajukan dan ditumbuhkembangkan.

Seperti dalam hal pemahaman, motivasi dan kesadaran beragama. Hal lainnya adalah warga Desa Padang semakin terbiasa dengan simbol-simbol keislaman yang sebelumnya asing bagi mereka.

Hasil signifikan yang telah dicapai dari penerapan perda syari’at Islam di Desa Padang, menunjukan bahwa penegakan syari’at Islam melalui perda sangatlah urgen dan strategis dalam menegakan syari’at Islam.

Karena ketika syari’at Islam dijadikan hukum positif, masyarakat akan lebih mudah menerima, begitu pula pemerintah setempat akan lebih leluasa dan mempunyai otoritas untuk memaksakannya kepada masyarakat. Untuk itulah peluang dan kesempatan menegakan syari'at Islam ini harus benar-benar mendapat perhatian yang serius.

Meskipun telah banyak hasil yang dicapai dalam menegakan syari’at Islam melalui perda ini, tetap saja perda-perda tersebut belum sepenuhnya bisa dikatakan seabagai perda syari’at Islam karena disana sini masih terdapat banyak kekurangan, seperti dalam hal pemberian sanksi yang belum sepenuhnya sesuai dengan hukum hudud dalam Islam, dan juga cakupan perda tersebut yang masih sangat terbatas.

Namun demikian, setidaknya ini adalah langkah awal dalam memperkenalkan Syari’at Islam kepada masyarakat umum yang masih sangat awam akan kewajiban menegakan syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

- Andi Nur Aminah, Bulukumba Menuju Penerapan Syari’at Islam, Republika, Jakarta, 27 maret 2005.
- Eman Mulyaman, “Dari bulukumba belomba Tegakkan Syari’at”, Sabili, Edisi 20 TH.XII, 21 April 2005.
- Fauzan Al-Anshari, Pesan dari Bulukumba, Sabili, Edisi 20 TH.XII, 21 April 2005.
- Mahrus Andris (ed.), H.A. Patabai Pabokori Mengawal Bulukumba Ke Gerbang Syari’at Islam, Makassar : Karier Utama, 2005.
- Muhammad Iqbal, Para Snouck Melayu dan Syari’at Islam, dalam Gatra.Com, 16 Mei 2001.
- Salim Segaf Al-Jufri, et. al., Penerapan Syariat Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Globalmedia Cipta Publishing, 2004, Cet. I.
- Shalih bin Ghanim As-Sadlan, Aplikasi Syari’at Islam, (terj. Kathur Suhardi), Jakarta: Darul Falah, Cet. I, 2002.
- Sirajuddin, et. al., Ikhtiar Menuju Darussalam, Jakarta: KPPSI Sulawesi Selatan dan Pustaka Ar-Rayhan, 2005.
- Peraturan Desa Padang Kec. Gantarang Kab. Bulukumba, 2006.
- Usman Jasad, at. al. Membumikan Al-Qur’an di Bulukumba, Makassar, 2005.
- Website: http://www.tribun-timur.com/15 April 2005.
- Website: http://www.wanita-muslimah@yahoogroups.com/20 Februari 2006
- Website: http://www. Fajar.co.id/20 februari 2006
- Wawancara dengan Andi Rukman, Kepala Desa Padang, 31 Juli 2006.
- Wawancara dengan H. Abdul Malik, Tokoh Agama Desa Padang, 29 Juli 2006.
- Wawancara dengan H. Andi Umar, Warga Desa Padang, 31 Juli 2006.
- Wawancara dengan Lilis Henrika Utami, Warga Desa Padang, 31 Juli 2006.

Keterangan:
- Artikel / tulisan ini sebenarnya merupakan skripsi saudara Lukman (Lukman Bin Ma’sa) dengan judul : ”Penerapan Syari’at Islam Melalui Peraturan Daerah” (Studi Kasus Desa Padang Kec. Gantarang Kab Bulukumba Sulawesi Selatan), pada 11 April 2007.
- Skripsi setebal 142 halaman ini diajukan oleh Lukman (Lukman Bin Ma’sa) kepada Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah (STID) Mohammad Natsir, Jakarta, untuk memenuhi sebagian syarat mencapai gelar sarjana Ilmu Da’wah.
- Skripsi aslinya sudah saya baca melalui www.scribd.com.
- Artikel ini telah dimuat di beberapa website dan blog dunia maya, antara lain www.jurnalstidnatsir.co.cc, yang saya rekam pada Hari Sabtu, 22 Agustus 2009. Selanjutnya artikel ini saya muat secara bersambung di http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/. Terima kasih atas pengertian dan kerjasamanya. (Wassalam: Asnawin)

Penerapan Syari’at Islam Di Desa Padang Bulukumba Sulawesi Selatan (bagian 6-bersambung)

Penerapan Syari’at Islam Di Desa Padang Bulukumba Sulawesi Selatan (bagian 6-bersambung)

Oleh: Lukman Ma’sa




4. Analisis Terhadap Perda No. 06 Th. 2003, Tentang Pandai Baca al-Qur’an Bagi Siswa dan Calon Pengantin

a. Kelebihan

Perintah untuk belajar membaca al-Qur’an dalam Islam yang telah diatur melalui perda dan telah diterapkan di Desa Padang tentunya memiliki kelebihan atau kemudahan dalam menerapkannya di Desa Padang, antara lain;

Pertama, Pemerintah Desa Padang punya otoritas untuk menerapkan peraturan ini di masyarakat.

Sudah dimaklumi bahwa ketika sebuah peraturan ditetapkan atau diberlakukan oleh pihak yang berwenang dan punya otoritas, maka peraturan tersebut akan mudah diterapkan dan dilaksanakan serta akan sangat sedikit kemungkinan adanya penentangan atau penolakan dari masyarakat, ditambah lagi aturan pandai baca al-Qur’an ini legal baik secara agama maupun hukum positif di Indonesia.

Kedua, sanksi terhadap warga yang melakukan pelanggaran. Maka dengan dijadikannya kewajiban pandai baca al-Qur’an ini sebagai hukum positif, maka untuk memberikan sanksi kepada warga yang tidak mau belajar membaca al-Qur’an dapat dilakukan, tanpa takut akan adanya penentangan dan perlawanan dari masyarakat.

Ketiga, Pemerintah Desa Padang dapat membuat aturan-aturan baru yang dapat mendukung dan memperkuat perda yang sudah ada. Dalam hal ini di Desa Padang telah diterapkan aturan bagi warga yang ingin menikah. Yaitu tidak akan diberi surat keterangan nikah atau surat nikahnya akan ditahan hingga ia bisa membaca al-Qur’an. Dan kemampuan baca al-Qur’an ini dibuktikan di depan kepala desa atau Pembantu Pencatat Nikah (PPN), seperti yang diakui Andi Rukman.

Keempat, Warga masyarakat Desa Padang yang mengadakan kegiatan-kegiatan keagamaan yang berhubungan dengan al-Qur’an, seperti lomba-lomba tahfidz surat-surat pendek, tilawah al-Qur’an, dan kaligrafi sangat didukung dan dibantu sepenuhnya oleh pemerintah setempat. Baik bantuan berupa materi maupun fasilitas-fasilitas yang diperlukan dalam kegiatan tersebut.

b. Dampak/ Pengaruh

Berdasarkan wawancara dengan beberapa warga Desa Padang, dapat diketahui bahwa perubahan atau pengaruh diterapkannya perda ini terhadap diri mereka, antara lain;

Pertama, Orang tua tidak malu untuk belajar membaca al-Qur’an. Sebelum ada perda tentang pandai baca al-Qur’an di Desa Padang belum ada TPA khusus orang tua (TPA-O) dan tidak didapati ada orang tua yang belajar membaca al-Qur’an, namun setelah diterapkannya perda pandai baca al-Qur’an ini tahun 2003, setidaknya telah berdiri tiga TPA orang tua dengan jumlah santri 187 jiwa dan telah mewisuda kurang lebih 90 santri.

Kedua, bermunculannya lembaga-lembaga pendidikan al-Qur’an dan semaraknya lomba-lomba yang berkaitan dengan al-Qur’an. Dengan gencarnya sosialisasi perda pandai baca al-Qur’an bagi siswa dan calon pengantin ini, mendorong para pengurus masjid dan mushalla untuk mendirikan TPA atau TKA, baik untuk anak-anak ataupun bagi orang tua.

Begitu pula setiap hari-hari besar Islam selalu diadakan lomba-lomba yang dapat memotivasi para santri untuk lebih giat dan bersemangat dalam belajar membaca al-Qur’an. Seperti lomba tilawah al-Qur’an, tahfidz surat-surat pendek dan kaligrafi.

Ketiga, Warga semakin termotivasi untuk belajar membaca al-Qur’an. Dengan semakin ramainya TPA, TKA dan semakin semaraknya lomba-lomba yang diadakan antar TPA, memberikan motivasi tersendiri pada warga yang belum bisa membaca al-Qur’an untuk mau belajar membaca al-Qur’an meskipun usia mereka sudah lanjut.

Keempat, Tingkat buta aksara al-Qur’an menurun drastis hingga 80% seiring dengan semakin banyaknya TPA dan TKA yang didirikan dan semakin antusiasnya warga desa belajar membaca al-Qur’an, baik anak-anak maupun para orang tua.

Hal ini diakui oleh Kepala Desa Padang dan beberapa tokoh agama di sana bahwa sebelum diberlakukan perda pandai baca al-Qur’an, warga yang bisa membaca al-Qur’an hanya sekitar 20 %, TPA-TPA pun sangat jarang, apalagi TPA orang tua belum ada sama sekali.

c. Kendala dan Kelemahan

Dalam pelaksanaan perda ini ditengah-tengah masyarakat Desa Padang, ada beberapa kendala ataupun kelemahan, di ataranya adalah;

Pertama, Kurangnya tenaga pengajar atau guru mengaji. Ini adalah kendala utama yang dihadapi pemerintah Desa Padang dalam menegakkan perda pandai baca al-Qur’an.

Meskipun pemerintah desa telah melakukan langkah-langkah antisipasi atau penyelesaian kendala kurangnya guru mengaji ini, dengan melakukan kerjasama dengan beberapa pesantren atau Perguruan Tinggi Islam yang ada di Bulukumba dalam pemberantasan buta aksara al-Qur’an. Namun hal tersebut kurang maksimal karena sifatnya hanya insidental saja, sedangkan yang dibutuhkan adalah keseriusan dan kontinuitas dalam penanganannya.

Kedua, Belum ada sanksi yang tegas. Seperti perda-perda lainnya, perda pandai baca al-Qur’an pun belum mempunyai sanksi yang tegas terhadap warga yang melanggar.

Walaupun sebenarnya dalam perda ataupun perdes telah disebutkan sanksi. Tapi itu hanya berlaku bagi warga yang ingin menikah atau anak-anak sekolah yang ingin melanjutkan sekolah saja.

Ketiga, Pemahaman masyarakat tentang pentingnya belajar al-Qur’an masih rendah akibat rendahnya tingkat pendidikan dan pemahaman masyarakat di Desa Padang. Sehingga kesadaran warga untuk belajar atau memaksa anaknya untuk belajar membaca al-Qur’an masih rendah, bahkan masih ada diantara mereka yang bersikap acuh tak acuh terhadap pendidikan al-Qur’an ini maupun pendidikan lainnya.


Keterangan:
- Artikel / tulisan ini sebenarnya merupakan skripsi saudara Lukman (Lukman Bin Ma’sa) dengan judul : ”Penerapan Syari’at Islam Melalui Peraturan Daerah” (Studi Kasus Desa Padang Kec. Gantarang Kab Bulukumba Sulawesi Selatan), pada 11 April 2007.
- Skripsi setebal 142 halaman ini diajukan oleh Lukman (Lukman Bin Ma’sa) kepada Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah (STID) Mohammad Natsir, Jakarta, untuk memenuhi sebagian syarat mencapai gelar sarjana Ilmu Da’wah.
- Skripsi aslinya sudah saya baca melalui www.scribd.com.
- Artikel ini telah dimuat di beberapa website dan blog dunia maya, antara lain www.jurnalstidnatsir.co.cc, yang saya rekam pada Hari Sabtu, 22 Agustus 2009. Selanjutnya artikel ini saya muat secara bersambung di http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/. Terima kasih atas pengertian dan kerjasamanya. (Wassalam: Asnawin)

Penerapan Syari’at Islam Di Desa Padang Bulukumba Sulawesi Selatan (bagian 5-bersambung)

Penerapan Syari’at Islam Di Desa Padang Bulukumba Sulawesi Selatan

Oleh: Lukman Ma’sa



3. Analisis Terhadap Perda No. 05 Th. 2003, Tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah

a. Kelebihan

Perintah berpakaian muslim dan muslimah dalam Islam yang telah diatur melalui perda dan telah diterapkan di Desa Padang tentunya memiliki kelebihan atau kemudahan dalam menerapkannya di Desa Padang, antara lain;

Pertama, Pemerintah Desa Padang punya otoritas untuk menerapkan peraturan ini dimasyarakat.

Sudah dimaklumi bahwa ketika sebuah peraturan ditetapkan atau diberlakukan oleh pihak yang berwenang, maka peraturan tersebut akan mudah dilaksanakan dan akan sangat sedikit kemungkinan adanya penentangan atau penolakan dari masyarakat. Ditambah lagi aturan tersebut legal baik menurut agama maupun hukum positif.

Kedua, dapat menjatuhkan sanksi terhadap warga yang melakukan pelanggaran. Dan sudah diketahui bahwa suatu peraturan yang tidak ada sanksinya tidak akan dapat berjalan dengan baik.

Maka dengan dijadikannya kewajiban berpakaian muslim dan muslimah dalam Islam ini sebagai hukum positif, pemerintah dapat memberikan sanksi kepada warga yang melanggar, tanpa takut akan adanya penentangan dan perlawanan dari masyarakat.

Ketiga, Pemerintah Desa Padang dapat membuat aturan-aturan baru yang dapat mendukung dan memperkuat perda yang sudah ada.

Kadang suatu peraturan daerah yang dibuat oleh Pemda kabupaten tidak secara detail menyebutkan teknis pelaksanaannya disuatu daerah (tingkat desa), maka diperlukan perangkat-perangkat aturan lainnya yang dapat mendukung terlaksananya perda tersebut dengan baik serta sesuai untuk dilaksanakan di daerah setempat.

Dalam hal ini Kepala Desa Padang mengakui telah membuat aturan-aturan baru yang mendukung penerapan perda berpakaian Muslim dan Muslimah ini di Desa Padang, seperti aturan bahwa warga yang tidak berpakaian Muslim dan Muslimah tidak akan dilayani keperluannya di kantor desa.

Keempat, Warga masyarakat Desa Padang yang mengadakan kegiatan-kegiatan keagamaan yang berhubungan dengan busana Muslim, seperti lomba-lomba busana Muslim akan didukung dan dibantu sepenuhnya oleh pemerintah setempat, baik bantuan berupa materi maupun fasilitas-fasilitas yang diperlukan dalam kegiatan tersebut.

b. Dampak/ Pengaruh

Sebagai sebuah peraturan, perda berpakaian Muslim dan muslimah tentu saja akan menimbulkan pengaruh terhadap masyarakat, dimana peraturan itu diberlakukan. Berdasarkan wawancara dengan beberapa warga Desa Padang, dapat diketahui bahwa perubahan atau pengaruh diterapkannya perda ini terhadap diri mereka, antara lain;

Pertama, mereka yang selama ini malu untuk berhijab, sudah dapat mamakai hijab dengan bebas tanpa merasa malu, sebab kewajiban hijab ini sudah menjadi peraturan pemerintah yang berlaku kepada semua warga Desa Padang. Kita ketahui bahwa sesuatu yang berlaku umum akan dianggap biasa dan tidak lagi kelihatan asing.

Kedua, warga malu keluar rumah tanpa mengenakan hijab, meskipun, hijab yang digunakan belum sepenuhnya memenuhi syarat yang ditetapkan Syari’at Islam. Seperti masih terdapat warga yang mengenakan jilbab yang ketat, sempit, dan kecil.

Ketiga, Warga semakin termotivasi dan terdorong untuk memakai hijab. Dengan diterapkannya beberapa perda keagamaan di Desa Padang, maka kesemarakan syi’ar Islam sangat terasa dengan bermunculannya kegiatan-kegiatan keagamaan seperti, ramainya TPA-TPA, majelis ta’lim-majelis ta’lim bermunculan, lomba-lomba yang bernuansa keislaman, semakin banyaknya warga yang memakai hijab. Tentunya hal ini menimbulkan motivasi dan dorongan tersendiri bagi warga yang lain untuk berhijab.

Keempat, Penyanyi Orkes/Electon sudah memakai hijab, lagu-lagu yang dinyanyikan pun bernuansa islami.

Sejak dari awal diterapkannya perda yang mengatur pakaian muslim dan muslimah di Desa Padang, pemerintah desa telah membuat aturan bahwa tidak akan memberi izin kepada warga yang ingin mengadakan hiburan Orkes atau Electon sebelum pemilik hiburan tersebut menandatangani pernyataan akan berpakaian muslim dan muslimah serta lagu-lagu yang akan dinyanyikan harus bernuansa Islami.

Kelima, Maraknya lomba-lomba busana Muslim. Salah satu dampak positif yang ditimbulkan dari penerapan perda tentang berpakaian muslim dan muslimah di Desa Padang adalah maraknya lomba-lomba busana muslim, sebagai salah satu sarana mengenalkan busana-busana yang sesuai Syari’at Islam kepada warga, yang tentunya diharapkan dapat memotivasi warga untuk berhijab.

Lomba-lomba busana muslim ini bukan hanya diadakan tingkat TPA atau TKA saja, tapi tingkat ibu-ibu PKK dan majelis ta’lim pun diadakan, sehingga menambah semarak syi’ar Islam di Desa Padang.

Keenam, Meningkatnya jumlah warga yang memakai hijab. Dengan adanya aturan untuk berhijab bagi warga Desa Padang dan adanya sanksi-sanksi yang diberlakukan bagi warga yang tidak berhijab, serta semakin semaraknya syi’ar Islam di Desa Padang, tentu saja semakin memotivasi dan mendorong warga untuk berhijab. Fenomena ini memperlihatkan semakin meningkatnya jumlah warga Desa Padang yang mau berhijab.

c. Kendala dan Kelemahan

Seperti yang diungkapkan Andi Rukman, bahwa dalam penegakan perda berpakaian Muslim dan Muslimah ini di Desa Padang, mengalami beberapa kendala dan kelemahan, di ataranya adalah;

Pertama, Pemahaman masyarakat tentang kewajiban berhijab masih sangat minim. Rendahnya tingkat pendidikan dan pemahaman masyarakat di Desa Padang menjadi kendala utama penegakan perda hijab ini, sehingga kesadaran warga untuk berhijab pun rendah atau pun melaksanakan tapi baru sebatas karena hal tersebut menjadi peraturan pemerintah yang mesti dilaksanakan sebagai warga negara.

Kedua, Tidak ada sanksi yang tegas. Diakui oleh Kepala Desa Padang bahwa memang sudah ada sanksi yang diterapkan tapi itu hanya sanksi administrasi saja. Belum ada sanksi yang benar-benar tegas yang diterapkan kepada warga yang melanggar.

Ketiga, Merasa tidak nyaman mengenakan jilbab ketika ke sawah/kebun. Warga Desa Padang 99% adalah petani/berkebun, yang sehari-harinya bekerja di sawah ataupun di kebun-kebun, sehingga sebagian dari meraka merasa terganggu ketika harus memakai jilbab turun ke sawah, ditambah lagi pemahaman akan kewajiban hijab masih sangat kurang.

Keempat, Gencarnya media massa (TV) mempromosikan budaya Barat. Ini merupakan problem yang dihadapi hampir seluruh warga negara Indonesia tak terkecuali warga Desa Padang yang sedang gencar-gencarnya mensosialisasikan kewajiban berhijab bagi seorang muslim.

Sehingga menjadi pemandangan yang ganjil ketika warga selalu dihimbau untuk menutup aurat tapi di rumah, mereka selalu disuguhi budaya-budaya yang bertentangan dengan Syari’at Islam tersebut melalui TV.


Keterangan:
- Artikel / tulisan ini sebenarnya merupakan skripsi saudara Lukman (Lukman Bin Ma’sa) dengan judul : ”Penerapan Syari’at Islam Melalui Peraturan Daerah” (Studi Kasus Desa Padang Kec. Gantarang Kab Bulukumba Sulawesi Selatan), pada 11 April 2007.
- Skripsi setebal 142 halaman ini diajukan oleh Lukman (Lukman Bin Ma’sa) kepada Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah (STID) Mohammad Natsir, Jakarta, untuk memenuhi sebagian syarat mencapai gelar sarjana Ilmu Da’wah.
- Skripsi aslinya sudah saya baca melalui www.scribd.com.
- Artikel ini telah dimuat di beberapa website dan blog dunia maya, antara lain www.jurnalstidnatsir.co.cc, yang saya rekam pada Hari Sabtu, 22 Agustus 2009. Selanjutnya artikel ini saya muat secara bersambung di http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/. Terima kasih atas pengertian dan kerjasamanya. (Wassalam: Asnawin)
Penerapan Syari’at Islam Di Desa Padang Bulukumba Sulawesi Selatan (bagian 4-bersambung)

Oleh: Lukman Ma’sa


2. Analisis Terhadap Perda No. 02 Th. 2003, Tentang Pengelolaan Zakat Profesi, Infaq dan shadaqah

a. Kelebihan

Perintah membayar zakat, infaq dan shdaqah dalam Islam yang telah diatur melalui perda dan telah diterapkan di Desa Padang. Tentunya memiliki kelebihan atau kemudahan dalam menerapkannya di Desa Padang, antara lain;

Pertama, Pemerintah Desa Padang punya otoritas untuk menerapkan peraturan ini dimasyarakat.

Sudah dimaklumi bahwa ketika sebuah peraturan ditetapkan atau diberlakukan oleh pihak yang berwenang dan punya otoritas, maka peraturan tersebut akan lebih mudah diterapkan dan dilaksanakan serta akan sangat kecil kemungkinan adanya penentangan atau penolakan dari masyarakat, ditambah lagi aturan tersebut legal baik menurut agama maupun hukum positif.

Kedua, Pemerintah Desa Padang dapat menjatuhkan sanksi terhadap warga yang melakukan pelanggaran. Dan sudah diketahui bahwa suatu peraturan yang tidak ada sanksinya tidak akan dapat berjalan dengan baik.

Maka dengan dijadikannya kewajiban membayar zakat, infaq dan shadaqah dalam Islam ini sebagai hukum positif, maka untuk memberikan sanksi kepada warga yang tidak mau membayar zakat, infaq dan shadaqah dapat dilakukan, tanpa takut akan adanya penentangan dan perlawanan dari masyarakat. Sebab selain sebagai kewajiban agama yang mesti dilaksanakan oleh setiap muslim, kewajiban ini juga sudah menjadi kewajiban warga Desa Padang sebagai warga negara.

Ketiga, Pemerintah Desa Padang dapat membuat aturan-aturan baru yang dapat mendukung dan memperkuat perda yang sudah ada. Kadang suatu peraturan daerah yang dibuat oleh Pemda kabupaten tidak secara detail menyebutkan teknis pelaksanaannya disuatu daerah (tingkat desa), maka diperlukan perangkat-perangkat aturan lainnya yang dapat mendukung terlaksananya perda tersebut dengan baik serta sesuai untuk dilaksanakan di daerah setempat.

Dalam hal ini Kepala Desa Padang mengakui telah membuat aturan-aturan baru yang mendukung penerapan perda pengelolaan zakat, infaq dan shadaqah ini di Desa Padang, meskipun belum maksimal, tapi dia telah membuat aturan bahwa warga yang belum membayar zakat atau infaq dan shadaqahnya tidak akan dilayani keperluannya di kantor desa serta tetap akan dikenakan denda sesuai jumlah zakat yang belum dibayar.

b. Dampak/ Pengaruh

Sebagai sebuah peraturan, perda pengelolaan zakat, infaq dan shadaqah tentu saja akan menimbulkan pengaruh terhadap masyarakat tempat peraturan itu diberlakukan.

Berdasarkan wawancara dengan beberapa warga Desa Padang, dapat diketahui bahwa perubahan atau pengaruh diterapkannya perda ini terhadap diri mereka, antara lain;

Pertama, Warga yang tidak pernah membayar zakat mal sudah mulai membayar zakat mal. Sebelum adanya keharusan membayar zakat mal dalam bentuk peraturan daerah, banyak diantara warga Desa Padang yang belum membayar zakatnya, bahkan warga yang mau membayar zakat mal ini bisa dihitung jari. Ini bisa terjadi dikarenakan beberapa faktor seperti kurangnya pemahaman warga tentang kewajiban zakat mal, dan belum ada yang mengkoordinir pengumpulannya.

Kedua, warga mengumpulkan zakatnya melalui satu jalur yaitu melalui Unit Pengumpul Zakat (UPZ) desa. Diakui oleh H. Leleng, ketua UPZ Desa Padang, bahwa selama ini warga yang mengeluarkan zakatnya, baik zakat fitra maupun zakat mal langsung dibagikan kepada fakir miskin yang dikenalnya, sehingga kurang maksimal dalam pembagiannya. Namun setelah pengelolaan zakat ini dituangkan dalam peraturan daerah, dan diberlakukan di Desa Padang, semua warga desa yang ingin mengeluarkan zakatnya, baik zakat fitrah maupun zakat mal harus melalu UPZ desa.

Ketiga, Pendataan muzakki dan mustahiq serta penditribusian zakat sudah teratur. Salah satu kemajuan yang dicapai dalam pengelolaan zakat melalui perda di Desa Padang ini adalah pendataan terhadap para muzakki (wajib zakat) dan mustahiq (yang berhak menerima zakat) di setiap dusun sudah teratur, sehingga dapat dilakukan pendistribusian yang merata kepada para mustahiq.

Keempat, Meningkatnya pemasukan pembayaran zakat, infaq dan shadaqah warga. Seiring dengan dijadikannya kewajiban zakat dalam Islam menjadi peraturan daerah yang mesti diikuti oleh warga setempat, serta gencarnya sosialisasi kewajiban zakat, melalui pengajian-pengajian, masjid-masjid maupun pertemuan di kantor desa semakin memotivasi warga desa untuk membayar zakat, yang artinya semakin bertambahnya pemasukan zakat di Desa Padang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

c. Kendala dan Kelemahan

Seperti yang diungkapkan Andi Rukman, bahwa dalam penegakan perda zakat, infaq dan shadaqah ini di Desa Padang, mengalami beberapa kendala dan kelemahan, di ataranya adalah;

Pertama, Pemahaman masyarakat tentang kewajiban zakat, infaq dan shadaqah masih sangat minim, bahkan ada anggapan warga bahwa zakat yang dikeluarkan hanyalah zakat fitrah.

Rendahnya tingkat pendidikan dan pemahaman masyarakat di Desa Padang menjadi kendala utama penegakan perda zakat ini, sehingga kesadaran warga untuk membayar zakat, infaq dan shadaqah pun sangat rendah. Karena sebagaian mereka beranggapan bahwa zakat itu hanya zakat fitrah.

Kedua, Tidak ada sanksi yang tegas. Sanksi dalam suatu aturan merupakan salah satu unsur terlaksananya peraturan tersebut dengan baik. Maka inilah yang menjadi salah satu kelemahan perda pengelolaan zakat, infaq dan shadaqah yang diterapkan di Desa Padang, yaitu belum adanya sanksi yang tegas. Diakui oleh Kepala Desa Padang bahwa memang sudah ada sanksi yang diterapkan tapi itu hanya sanksi administrasi saja, belum ada sanksi yang benar-benar tegas.

Ketiga, Jumlah zakat dari hasil pertanian ditentukan sendiri oleh warga. Ini juga adalah salah satu kekurangan dalam pelaksanaan perda zakat di Desa Padang, dimana pada saat panen warga sendiri yang menentukan jumlah zakat yang dikeluarkan tanpa disaksikan oleh anggota Unit Pengumpul Zakat (UPZ) desa. Hal ini sangat memungkinkan ketidaksesuaian jumlah zakat yang seharusnya dikeluarkan.

Keempat, Pengelolaan belum maksimal. Yang dimaksud disini adalah bagaimana pemerintah Desa Padang bisa memenej hasil pengumpulan zakat, infaq dan shadaqah warga. Tidak hanya mengumpulkan zakat lalu membagikannya kepada fakir miskin dan dhu’afa, karena hal seperti ini sudah dapat dilakukan oleh muzakki sendiri.

Yang diharapkan disini adalah bagaimana pemerintah Desa Padang bisa lebih kreatif dalam pendayagunaannya, seperti pengembangan SDM, berupa pemberian beasiswa dari tingkat SD/MI (Madrasah Ibtidaiyah) sampai S3 (strata 3), pengembangan di bidang ekonomi seperti pinjaman tanpa kredit dan sitem bagi hasil.

Kelima, Sebagian warga adalah penggarap sawah orang lain. Ini juga kendala yang dihadapi warga dalam melaksanakan perda zakat ini, dimana mereka akan merasa tambah berkurang pendapatannya ketika harus mengeluarkan zakat lagi.


Keterangan:
- Artikel / tulisan ini sebenarnya merupakan skripsi saudara Lukman (Lukman Bin Ma’sa) dengan judul : ”Penerapan Syari’at Islam Melalui Peraturan Daerah” (Studi Kasus Desa Padang Kec. Gantarang Kab Bulukumba Sulawesi Selatan), pada 11 April 2007.
- Skripsi setebal 142 halaman ini diajukan oleh Lukman (Lukman Bin Ma’sa) kepada Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah (STID) Mohammad Natsir, Jakarta, untuk memenuhi sebagian syarat mencapai gelar sarjana Ilmu Da’wah.
- Skripsi aslinya sudah saya baca melalui www.scribd.com.
- Artikel ini telah dimuat di beberapa website dan blog dunia maya, antara lain www.jurnalstidnatsir.co.cc, yang saya rekam pada Hari Sabtu, 22 Agustus 2009. Selanjutnya artikel ini saya muat secara bersambung di http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/. Terima kasih atas pengertian dan kerjasamanya. (Wassalam: Asnawin)

Penerapan Syari’at Islam Di Desa Padang Bulukumba Sulawesi Selatan (bagian 3-bersambung)

Penerapan Syari’at Islam Di Desa Padang Bulukumba Sulawesi Selatan (bagian 3-bersambung)

Oleh: Lukman Ma’sa




Substansi Perda Syari’at Islam di Bulukumba

Pembuatan perda-perda Syari’at Islam tingkat provinsi maupun kabupaten adalah salah satu sarana atau strategi yang sangat baik dalam penegakan Syari’at Islam di tengah-tengah masyarakat. Sebagaimana yang diterapkan di Desa Padang Kabupaten Bulukumba dengan 4 perda Syari’at Islam. Hal inilah yang akan dianalisa dengan melihat dari sisi kelebihan, pengaruh, kendala dan kelemahannya.

1. Analisis terhadap Perda No. 03 Th. 2002, Tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban, dan Penjualan Minuman beralkohol

a. Kelebihan

Jika suatu perintah diwujudkan dalam sebuah peraturan yang sifatnya mengikat dan pelanggaran terhadapnya adalah suatu pelanggaran hukum, tentu hal ini akan memotivasi dan mendorong masyarakat untuk melaksanakannya.

Demikian halnya larangan mengkonsumsi minuman beralkohol dalam Islam yang telah diatur melalui perda dan telah diterapkan di Desa Padang. Tentunya memiliki kelebihan atau kemudahan dalam menerapkannya di Desa Padang, antara lain;

Pertama, Pemerintah Desa Padang punya otoritas untuk menerapkan peraturan ini di masyarakat.

Sudah dimaklumi bahwa ketika sebuah peraturan ditetapkan atau diberlakukan oleh pihak yang berwenang, maka peraturan tersebut akan mudah dilaksanakan dan akan sangat sedikit kemungkinan adanya penentangan atau penolakan dari masyarakat, ditambah lagi aturan tersebut legal baik menurut agama maupun hukum positif, serta memiliki landasan filosofis di tengah-tengah masyarakat.

Kedua, Pemerintah Desa Padang dapat menjatuhkan sanksi terhadap warga yang melakukan pelanggaran. Sudah diketahui bersama bahwa suatu peraturan yang tidak ada sanksinya tidak akan dapat berjalan dengan baik.

Maka dengan dijadikannya larangan peredaran dan penjualan minuman beralkohol ini sebagai hukum positif, memberikan sanksi kepada warga yang tidak mau mentaati larangan tersebut dapat dilakukan, tanpa takut akan adanya penentangan dan perlawanan dari masyarakat.

Sebab selain menjadi larangan dalam agama yang mesti ditaati oleh setiap muslim, larangan ini juga sudah menjadi larangan terhadap warga Desa Padang sebagai warga negara.

Seperti yang dikatakan oleh Andi Rukman bahwa sejak tahun 2005 telah diterapkan sanksi terhadap warga yang melanggar aturan ini, yaitu hukum cambuk sebanyak 40 kali bagi warga yang ketahuan mengkonsumsi minuman beralkohol.

Selama rentang waktu 2005 hingga sekarang (2006) sudah ada lima warga yang mendapat hukuman tersebut. Selain hukuman cambuk, mereka yang melakukan pelanggaran terhadap perda ini juga akan mendapatkan sanksi berupa sanksi moral. Sebab ketika ada warga yang dihukum, semua warga desa tahu.

Ketiga, Pemerintah Desa Padang dapat membuat aturan-aturan baru yang dapat mendukung dan memperkuat perda yang sudah ada. Kadang suatu peraturan daerah yang dibuat oleh Pemda kabupaten tidak secara detail menyebutkan teknis pelaksanaannya di suatu daerah (tingkat desa), maka diperlukan perangkat-perangkat aturan lainnya yang dapat mendukung terlaksananya perda tersebut dengan baik serta sesuai untuk dilaksanakan di daerah setempat.

Dalam hal ini Kepala Desa Padang, Andi Rukman, mengakui telah membuat aturan-aturan berupa peraturan desa (perdes) yang dapat mendukung penerapan perda ini di desanya.

Adapun peraturan desa yang dibuat berkenaan dengan perda larangan peredaran dan penjualan miras adalah perdes No. 05 Th. 2006 tentang pelaksanaan hukum cambuk. Dimana dalam perdes ini dimuat aturan yang mempertegas dan lebih merinci apa yang telah diatur dalam perda larangan peredaran dan penjualan minuman keras serta menetapkan sanksi terhadap pelanggaran perda tersebut.

b. Dampak/ Pengaruh

Sebagai sebuah peraturan, perda larangan peredaran dan penjualan minuman beralkohol, tentu saja akan menimbulkan pengaruh terhadap masyarakat tempat peraturan itu diberlakukan. Berdasarkan wawancara dengan beberapa warga Desa Padang, dapat diketahui bahwa perubahan atau pengaruh diterapkannya perda ini terhadap diri mereka, antara lain:

Pertama, Tidak ada lagi warga yang mabuk-mabukan di jalan-jalan. Sudah menjadi pemandangan yang lazim di Desa Padang sebelum diberlakukannya perda larangan peredaran dan penjualan minuman keras, banyak pemuda-pemuda desa yang nongkrong di jalan-jalan sambil mabuk-mabukan.

Tapi setelah perda tentang larangan peredaran, penertiban dan penjualan minuman beralkohol di Bulukumba diterapkan di Desa Padang, serta diberlakukannya hukum cambuk terhadap pelanggaran perda ini, maka tidak ditemukan lagi ada pemuda-pemuda desa yang nongkrong di jalan-jalan sambil mabuk-mabukan.

Bahkan menurut H. Andi Umar, jangankan di jalan-jalan, kios atau dirumah-rumah warga yang biasa dipakai untuk pesta minuman keras pun sudah tidak ada lagi.

Kedua, warga merasa aman dalam beraktivitas, hal ini hampir dirasakan oleh semua warga Desa Padang, dimana sebelumnya warga sangat merasa terganggu dengan ulah beberapa warga yang suka mabuk-mabukan baik di jalan-jalan maupun rumah dan warung-warung.

Hal ini diungkapkan oleh Lilis Henrika Utami, salah seorang pelajar di Desa Padang, demikian pula beberapa warga lainnya yang diwawancarai, bahwa sejak diberlakukannya perda minuman keras ini mereka sudah merasa aman dalam beraktivitas, tidak ada lagi gangguan dari preman-preman desa yang suka mabuk-mabukan.

Ketiga, berkurangnya warga, ataupun kios dan warung-warung yang menjual minuman keras. Jenis minuman keras yang banyak dijumpai di Desa Padang sebelum adanya perda yang melarang peredaran dan penjualan minuman keras adalah jenis tuak, hal ini disebabkan karena hampir semua warga yang memiliki pohon aren bisa membuatnya, dan harganya pun relatif lebih murah dibandingkan minuman keras lainnya.

Namun setelah diberlakukannya perda miras, dan gencarnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah Desa Padang serta adanya hukuman yang tegas terhadap warga yang melanggar menjadikan Desa Padang bebas dari minuman keras, setidaknya demikianlah asumsi yang diungkapkan kepala Desa Padang, Andi Rukman. Bahwa kalaupun ada warga yang menjual minuman keras, itu sangat sedikit dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Keempat, tingkat kriminalitas menurun drastis hingga 99%. Dampak positif yang paling dirasakan warga Desa Padang dengan diterapkannya perda-perda Syari’at Islam di Desa Padang adalah menurunnya tingkat kriminalitas.

Dimana sebelumnya warga desa sangat merasa tidak nyaman dengan maraknya kejahatan di Desa Padang seperti pencurian, penganiayaan, perkelahian dan tindak kriminal lainnya. Bahkan menurut H. Abdul Malik, bahwa bukan hanya warga Desa Padang yang merasa aman dengan semakin terciptanya ketentraman dan keamanan di Desa Padang, tetapi desa tetangga pun merasa aman, karena sebelumnya Desa Padang dikenal dengan banyak pencuri.

c. Kendala dan Kelemahan

Kendala dan kelemahan akan senantiasa menyertai penerapan suatu aturan yang ingin diberlakukan di suatu masyarakat tertentu. Demikian halnya pemberlakuan perda tentang larangan peredaran dan penjualan minuman keras di Desa Padang kabupaten Bulukumba. Bahwa dalam pelaksanaan perda di tengah-tengah masyarakat Desa Padang, mengalami beberapa kendala ataupun kelemahan.

Seperti yang diungkapkan Kepala Desa Padang Andi Rukman, bahwa penegakan perda minuman keras ini menghadapi beberapa kendala dan kelemahan, diataranya adalah;

Pertama, Pemahaman masyarakat tentang keharaman dan bahaya minuman beralkohol masih sangat minim.

Diakui oleh kepala Desa Padang, tokoh-tokoh agama serta tokoh masyarakat Desa Padang, bahwa yang menjadi kendala utama warga Desa Padang dalam melaksanakan perda minuman keras ini, adalah minimnya pengetahuan mereka akan keharaman dan bahaya minuman beralkohol. Bahkan ada sebagian warga yang menjadikannya sebagai mata pencaharian, dengan memproduksi tuak dari nira aren.

Kedua, Sanksi yang diberlakukan belum sepenuhnya hukum Islam. Walaupun pemerintah Desa Padang telah membuat peraturan desa (perdes) yang mengatur tentang sanksi terhadap pelanggaran perda minuman keras ini, tetapi sanksi tersebut belum sepenuhnya sesuai hukum hudud dalam Syari’at Islam, sebab warga yang melakukan pelanggaran terhadap perda, boleh memilih hukuman yang diterimanya antara hukuman cambuk (Hukum hudud) atau dilimpahkan kepada kepolisian yang kemudian diproses sesuai hukum KUHP (Hukum Positif).

Ketiga, Penjualan miras secara sembunyi-sembunyi atau pembelian miras diluar Desa Padang. Ini juga menjadi kendala pemerintah Desa Padang dalam memberantas minuman keras di Desa Padang, bahwa ada penjualan miras yang dilakukan warga secara sembunyi-sembunyi atau ada warga yang membeli minuman terlarang tersebut di luar Desa Padang kemudian membawanya ke Desa Padang.


Keterangan:
- Artikel / tulisan ini sebenarnya merupakan skripsi saudara Lukman (Lukman Bin Ma’sa) dengan judul : ”Penerapan Syari’at Islam Melalui Peraturan Daerah” (Studi Kasus Desa Padang Kec. Gantarang Kab Bulukumba Sulawesi Selatan), pada 11 April 2007.
- Skripsi setebal 142 halaman ini diajukan oleh Lukman (Lukman Bin Ma’sa) kepada Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah (STID) Mohammad Natsir, Jakarta, untuk memenuhi sebagian syarat mencapai gelar sarjana Ilmu Da’wah.
- Skripsi aslinya sudah saya baca melalui www.scribd.com.
- Artikel ini telah dimuat di beberapa website dan blog dunia maya, antara lain www.jurnalstidnatsir.co.cc, yang saya rekam pada Hari Sabtu, 22 Agustus 2009. Selanjutnya artikel ini saya muat secara bersambung di http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/. Terima kasih atas pengertian dan kerjasamanya. (Wassalam: Asnawin)

Penerapan Syari’at Islam Di Desa Padang, Bulukumba (Bagian-2)


Kondisi sosial budaya masyarakat Desa Padang yang mayoritas suku Bugis, Makassar, masih sangat kental dengan semangat kebersamaan dan kekeluargaan. Satu sama lain saling menolong dan memperhatikan sehingga hampir tidak ada masalah yang tidak diselesaikan bersama. Hampir seluruh warga Desa Padang satu dengan yang lainnya saling kenal dan sikap kepedulian terhadap sesama masyarakat sangat tinggi. Mereka dengan suka rela akan membantu, baik itu berupa materi, tenaga, maupun pikiran. (int)

Penerapan Syari’at Islam Di Desa Padang Bulukumba Sulawesi Selatan (1-bersambung)

Penerapan Syari’at Islam Di Desa Padang Bulukumba Sulawesi Selatan

Oleh: Lukman Ma’sa


Geliat pemberlakuan perda-perda bernuansa syari'ah memang telah bermunculan di berbagai daerah di Nusantara. Kesadaran akan pentingnya menjadikan Islam sebagai sistem yang mengatur kehidupan manusia lambat laun menemukan partisipannya.

Meski hal itu tidaklah mudah untuk diwujudkan, mengingat banyak arus-arus pemikiran yang justru bertentangan dengan keyakinan tersebut, kaum muslimin yang komit terhadap ajarannya terus berupaya untuk mewujudkannya.

Salah satu wilayah yang setidaknya memiliki unsur-unsur perda syari'at (meski tidak sempurna) adalah Bulukumba.

Salah satu wilayah di Sulawesi Selatan ini bisa dijadikan satu dari beberapa data peta da'wah bagi para da'i mengingat pemberlakuan perda-perda bernuansa syari'ah tersebut justeru sanggup dijalankan dan didukung oleh elemen partai besar yang tidak berasaskan Islam. Artinya, sesungguhnya syari'at Islam dapat diterima di masyarakat tak hanya dalam komunitas muslim saja.


Pendahuluan

Menegakkan Syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari adalah sesuatu yang harus dilaksanakan karena demikianlah yang diperintahkan Allah kepada setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan.

Allah berfirman dalam al-Qur’an yang artinya:“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain), tentang urusan mereka...”(Q.S. Al-ahzab/33:36).

Demikian pula Rasulullah saw jauh hari telah mengingatkan kita akan wajibnya berhukum hanya kepada apa yang beliau bawa sebagaimana sabdanya:
لاَيُؤمِنُ اَحَدُ كُم حَتَّى يَتَّبِعُ هَوَاهُ لِمَاجِئتُ بِهِ.

Artinya: “Salah seorang diantara kamu tidak beriman sebelum hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa”.

Di sini sangat jelas bahwa iman seseorang tidak sempurna kecuali jika beriman kepada Allah, rela kepada keputusannya dalam masalah kecil maupun besar, berhukum kepada syari’at-Nya dalam segala masalah, baik yang berkaitan jiwa, harta, dan kehormatan.

Selain ayat-ayat, hadits, dan keterangan ulama di atas masih banyak ayat lain yang memerintahkan umat Islam agar menjalankan Syari’at Islam, menegakkannya di muka bumi ini dan menjadikannya sebagai sumber hukum. Maka dari sini penerapan Syariat Islam bagi umat Islam merupakan sesuatu yang mendesak untuk segera dilaksanakan.

Sehubungan dengan perjuangan penegakan Syari’at Islam di Indonesia, dan sejak awal masuknya Islam ke Nusantara, ia telah mengalami pasang surut. Salim Segaf Al-Jufri mengutip tulisan Muhammad Iqbal mengatakan bahwa sebenarnya sejak Islam masuk ke Indonesia abad ke-7, penerapan Syari’at Islam sudah berlangsung di beberapa kerajaan Nusantara baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara.

Setelah sekian puluh tahun isu penerapan Syari’at Islam hilang dari pentas nasional, maka pada era reformasi yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaannya tanggal 21 Mei 1998, penerapan Syari’at Islam di Indonesia kembali disuarakan kaum Muslimin baik melalui parlemen maupun di luar parlemen.

Seperti yang terjadi di parlemen ketika sidang tahunan MPR RI tanggal 7-18 Agustus 2000, dimana Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) dan Fraksi Partai Bulan Biantang (F-PBB) dengan konsisten memperjuangkan masuknya kembali ‘tujuh kata’ dalam Piagam Jakarta ke dalam rumusan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Tapi usulan ini pun kembali mendapat penentangan dan pro-kontra di kalangan anggota dewan maupun masyarakat secara umum yang pada akhirnya mengalami kegagalan untuk yang kesekian kalinya.

Tidak berhasilnya usulan perubahan Pasal 29 UUD 1945 terutama ayat (1) tidak menyurutkan semangat kalangan pendukung Piagam Jakarta untuk terus memperjuangkan penerapan Syari’at Islam baik dalam forum konstitusional kenegaraan maupun di masyarkat.

Ormas-ormas Islam seperti, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Hizbullah, Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Milisi Ansharullah, Hizbut Tahrir, Al Irsyad Al Islamiyah, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), Pelajar Islam Indonesia (PII). Serta masih banyak lagi ormas, yayasan dan lembaga da’wah yang turut menyuarakan penerapan Syari’at Islam .

Begitu pula keadaannya dengan sejumlah daerah di seluruh Nusantara, mereka turut berjuang menuntut penerapan Syari’at Islam di daerahnya masing-masing, tak terkecuali Sulawesi Selatan.

Sudah menjadi fakta historis bahwa sejak abad ke-14, Islam di Sulawesi Selatan sudah menjadi anutan para raja dan rakyatnya. Syari’at Islam menjadi dasar orientasi dan way of life.

Jika dilihat dari sisi filosofis, Islam di Sulawesi Selatan telah menjadi sistem nilai kehidupan masyarakat. Aktualisasi Islam sebagai nilai dasar filosofi kehidupan orang Bugis, Makassar ataupun Mandar, sungguh banyak bertebaran dalam khasanah budaya masyarakat Sulawesi Selatan.

Dengan kata lain, Islam telah membudaya dan secara turun temurun telah berasimilasi dalam sistem budaya. Dari sudut pandang sosiologis, daerah Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa masyarakat disana mayoritas beragama Islam dan dikenal sangat religius.

Kondisi ini jelas merupakan argumentasi sosiologis untuk menegakkan Syari’at Islam secara formal. Dengan kata lain, dilihat dari sisi historis, filosofis dan sosiologis, formalistik penegakkan Syari’at Islam di Sulawesi Selatan telah menjadi sebuah keharusan sejarah.

Di era reformasi, elemen-elemen muda seperti Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) Sulawesi Selatan mengadakan seminar dan dialog terbuka Syari’at Islam sebagai respon terhadap dinamika politik tanah air dan besarnya animo masyarakat untuk pemberlakuan Syari’at Islam secara legal formal.

Dari dialog ini kemudian merekomendasikan pelaksanaan kongres Umat Islam se-Sulawesi Selatan di Makassar.

Maka pada tanggal 19-21 Oktober 2000, FUI Sulawesi Selatan menggelar Kongres Umat Islam Pertama se-Sulawesi Selatan yang bertempat di Asrama Haji Sudiang Makassar, yang melahirkan beberapa keputusan dan pembentukan suatu wadah perjuangan penegakan Syari’at Islam yang di sebut Komite Persiapan Penegakan Syari’at Islam (KPPSI) Sulawesi Selatan.

KPPSI diberi amanat memperjuangkan pemberlakuan Syari’at Islam di Sulawesi Selatan melalui otonomi khusus secara konstitusional, demokratis dan tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

KPPSI dalam kiprahnya melaksanakan amanah kongres telah berhasil membentuk KPPSI daerah di 24 Kabupaten/kota se-Sulawesi Selatan. Pemerintah/DPRD propinsi pun memberikan respon yang sangat baik dengan adanya kesepakatan bersama anggota DPRD Sulawesi Selatan untuk melegal-formalkan pemberlakuan Syari’at Islam di Sulawesi Selatan, dengan rekomendasi DPRD Sulawesi Selatan tertanggal 23 April 2001 dan ditandatangani langsung pimpinan DPRD, serta seluruh ketua fraksi.

Rekomendasi tersebut diantar dan dijelaskan langsung kepada pimpinan DPR-RI pada tanggal 25 April oleh wakil ketua DPRD Sulawesi Selatan beserta seluruh ketua frraksi dan pengurus KPPSI. Untuk selanjutnya, rekomendasi di sampaikan kepada Presiden RI dengan surat No. 309/DPRD/2001 tanggal 24 April 2001.

Kesepakatan di atas ternyata juga mendapat respon baik oleh Paguyuban lintas fraksi Sulawesi Selatan DPR-RI. Ini terlihat dengan dibentuknya kelompok kerja (pokja) dengan SK tanggal 18 Mei 2001 yang antara lain bertugas melakukan pengkajian terhadap konsep Syari’at Islam dan rancangan operasionalnya secara akademis, komprehensif, dan konstitusional.

Pada tanggal 29-31 Desember 2001, masyarakat Islam Sulawesi Selatan kembali mengadakan Kongres Umat Islam yang kedua di Makassar, sebagai penegasan atau penajaman dan mengkristalisasikan penegakan Syari’at Islam menuju pembentukan otonomi khusus di daerah Sulawesi Selatan.

Pada tanggal 26-28 Maret 2005, KPPSI kembali memprakarsai Kongres Umat Islam Sulawesi Selatan ketiga di Kabupaten Bulukumba yang melahirkan beberapa rekomendasi yang pada intinya meminta dan mendesak pemerintah/DPRD Sulawesi Selatan untuk terus menyuarakan otonomi khusus pemberlakuan Syari’at Islam di Sulawesi Selatan.

Sambil menunggu (perjuangan) pemberlakuan UU otonomi khusus tersebut, KPPSI terus melakukan langkah-langkah konkrit dalam upaya menciptakan kondisi masyarakat yang kondusif agar siap menerima pemberlakuan Syari’at Islam.

Langkah-langkah tersebut, Pertama, Melaksanakan sosialisasi secara intensif dan menyeluruh tentang pengertian Syari’at Islam, untuk menyadarkan masyarakat betapa pentingnya kewajiban menegakkan Syari’at Islam.

Kedua, Memanfaatkan UU No. 22/1999 tentang Otoda, dengan mendesak pemerintah, DPRD kabupaten/kota se-Sulawesi Selatan untuk menerbitkan perda tentang keagamaan dan anti maksiat.

Ketiga, Para ulama, cendikiawan muslim, muballig/da’i dan tokoh umat agar mendorong masyarakat untuk mengamalkan secara optimal ajaran Islam dengan da’wah bî al-hal dan tauladan.

Keempat, Para pakar hukum Islam, ulama ahli fiqh menyusun konsep rancangan kitab undang-undang syari’ah yang dirumuskan bersama sehingga merupakan ijtihad jamâ’i.

Kelima, Mendirikan shalat lail dan witir setiap malam untuk memohon pertolongan Allah SWT, berupa petunjuk, bimbingan dan membuka hati umat, para pemimpin untuk berjuang menegakkan Syari’at Islam secara kaffah.

Dalam melakukan kegiatan-kegiatan ini, KPPSI mendapat dukungan dan respon yang sangat baik dari masyarakat Sulawesi Selatan. Hal itu dapat dilihat dari respon beberapa pemerintah Kabupaten di Sulawesi Selatan yang menyatakan kesiapannya untuk menerapkan Syari’at Islam di daerahnya masing-masing, dan kemudian ditindak lanjuti dengan pembuatan perda-perda keagamaan.

Bahkan di Kabupaten Maros saat ini sudah terlihat berlangsungnya penerapan Syari’at Islam. Sebagai contoh, apabila adzan dzuhur berkumandang, seluruh pegawai kantor Bupati menghentikan pekerjaannya dan bergegas menunaikan shalat berjama’ah. Seluruh pegawai perempuan pun diwajibkan memakai jilbab.

Sedangkan di Kabupaten Bulukumba sudah diterapkan empat Peraturan Daerah (Perda) tentang Syari’at Islam.

Bulukumba merupakan kabupaten paling ujung selatan Sulawesi Selatan, berjarak kurang lebih 153 km dari ibu kota propinsi Sulawesi Selatan, dengan jumlah penduduk 370.728 jiwa yang mayoritasnya beragama Islam, sebanyak 99,88 persen. Luas wilayah Bulukumba sekitar 1.154,67 km2 yang terbagi dalam 10 Kecamatan, 125 desa/kelurahan. Kondisi sosial budaya masyarakat Bulukumba berlatar belakang maritim dan agraris.

Setelah pemberlakuan empat perda tersebut tahun 2003 lalu, Bulukumba telah menunjukan perkembangan yang sangat pesat dimana masjid-masjid kian hidup oleh ramainya jama’ah, beberapa fasilitas perkantoran serta sekolah lebih bernuansa Islami karena dilengkapi dengan kaligrafi al-Qur’an, seluruh siswa-siswi beserta guru-guru yang beragama Islam memakai busana muslim dan muslimah.

Bahkan menurut penelitian, sebelum memberlakukan empat perda tersebut, 30 persen penduduk Bulukumba buta aksara al-Qur’an, angka kriminalitas, kenakalan remaja dan penyimpangan sosial pun sangat tinggi.

Namun setelah mencanangkan diri sebagai kabupaten yang menerapkan Syari’at Islam, angka 30 persen tersebut dapat didongkrak menjadi 100 persen bisa baca al-Qur’an, tingkat kriminalitas menurun hingga 80 persen.

Bupati Bulukumba dalam mensosialisasikan Syari’at Islam di daerahnya memprioritaskan pada enam segmen keagamaan yang terbingkai dalam “Crash Program Keagamaan”, yaitu:

(1) Pembinaan dan Pengembangan Pemuda Remaja Masjid, (2) Pembinaan dan Pengembangan Taman Kanak-Kanak al-Qur’an, (3) Pembinaan dan Pengembangan Majelis Taklim, (4) Pembinaan dan Pengembangan Perpustakaan Masjid, (5) Pembinaan dan Pengembangan Hifz al-Qur’ân, (6) Pembinaan dan Pengembangan Seni Berbusana Islami.

Selain itu, yang juga menjadi perhatian Bupati adalah pembembentukan desa percontohan muslim. Melalui desa percontohan ini diharapkan bisa menjadi pelopor pemberlakuan Syari’at Islam dalam sikap-perilaku sehari-hari, dan jadi desa pelopor zakat.

Setidaknya hingga Maret 2005 sudah terbentuk 12 desa percontohan muslim, salah satunya adalah Desa Padang, yang diresmikan sendiri oleh Bupati Bulukumba, H.A. Patabai Pabokori pada tanggal 11 Agustus 2004.

Desa Padang yang berjarak sekitar 12 km dari kota Bulukumba ini adalah desa yang sangat pro-aktif melaksanakan empat perda yang telah dikeluarkan pemerintah Kabupaten itu.

Bahkan untuk melancarkan pemberlakuan empat perda tersebut, Kepala Desa Padang, Andi Rukman Jabbar bersama jajarannya mengeluarkan peraturan desa tentang hukuman cambuk bagi pelanggaran hukum Syari’at seperti pelaku perzinaan, peminum minuman beralkohol, judi dan penganiayaan.

Dengan diberlakukannya Perdes ini sejak awal 2006, penduduk desa semakin merasa aman dan tentram, karena tidak ada lagi pemabuk, penjudi dan pencurian, bahkan kesadaran beragama masyarakat pun semakin meningkat, terlihat dari kegiatan-kegiatan keagamaan seperti majelis ta'lim yang semakin semarak. (bersambung)



Keterangan:
- Artikel / tulisan ini sebenarnya merupakan skripsi saudara Lukman (Lukman Bin Ma’sa) dengan judul : ”Penerapan Syari’at Islam Melalui Peraturan Daerah” (Studi Kasus Desa Padang Kec. Gantarang Kab Bulukumba Sulawesi Selatan), pada 11 April 2007.
- Skripsi setebal 142 halaman ini diajukan oleh Lukman (Lukman Bin Ma’sa) kepada Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah (STID) Mohammad Natsir, Jakarta, untuk memenuhi sebagian syarat mencapai gelar sarjana Ilmu Da’wah.
- Skripsi aslinya sudah saya baca melalui www.scribd.com.
- Artikel ini telah dimuat di beberapa website dan blog dunia maya, antara lain www.jurnalstidnatsir.co.cc, yang saya rekam pada Hari Sabtu, 22 Agustus 2009. Selanjutnya artikel ini saya muat secara bersambung di http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/. Terima kasih atas pengertian dan kerjasamanya. (Wassalam: Asnawin)

Rabu, 19 Agustus 2009

Menguji Peran Perda AIDS Bulukumba

Rabu, 15 Juli 2009
http://www.swarakita-manado.com

Menguji Peran Perda AIDS Bulukumba
- Catatan Buat Ranperda AIDS di Sulut


Oleh : Syaiful W Harahap

BERITA SKH “Swara Kita” (edisi 12 Juni 2009) menyebutkan Ranperda HIV/AIDS Sulut ditunda. Penundaan terjadi karena ada pasal yang mengesankan legitimasi lokalisasi pelacuran. Ini lagi-lagi menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap epidemi HIV dari aspek medis.

Sampai sekarang sudah 28 daerah di Indonesia, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten
sampai kota yang menelurkan Perda AIDS. Salah satu perda yaitu Perda Kabupaten
Bulukumba, Sulawesi Selatan, No 5 Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV/AIDS yang diundangkan tanggal 23/6-2008 merupakan perda yang ke-20 dari 28 perda yang sudah ada. Ini bisa menjadi acuan bagi ranperda AIDS Sulut.

Apakah perda ini bisa menurunkan infeksi HIV baru di Bulukumba? Pertanyaan itulah yang muncul setiap kali kita membaca Perda AIDS.

Di Tanah Papua, misalnya, ada tujuh perda penanggulangan AIDS. Tapi, apa yang terjadi di disana? Kasus HIV/AIDS menempati peringkat keempat secara nasional. Sampai Desember 2008 sudah dilaporkan 2.382 kasus AIDS dari 16.110 kasus secara nasional.

Sedangkan Sulawesi Selatan menempati peringkat ke-16 dengan 143 kasus AIDS. D
Bulukumba sampai Desember 2008 sudah dilaporkan 45 kasus HIV/AIDS, 15 di antaranya sudah meninggal. Kabupaten Bulukumba pun tidak masuk dalam daftar 105 kabupaten dan kota yang masuk dalam kategori akselerasi.

Perda ini sendiri merupakan upaya untuk menanggulangi HIV/AIDS di Bulukumba yang diatur pada pasal 4, 5, dan 6. Pada pasal 4 disebutkan “Penanggulangan HIV/AIDS dilakukan melalui: a. promosi; b. pencegahan; c. pelayanan; dan d. pengobatan.”

Hubungan Seks

Perihal promosi dijelaskan pada pasal 5 “Kegiatan promosi yang meliputi komunikasi, informasi dan edukasi dalam rangka menumbuhkan sikap dan perilaku hidup bersih, sehat dan gaya hidup yang bertanggung jawab dilaksanakan oleh Pemerintah dengan melibatkan peran serta masyarakat, dan sektor swasta.”

Pasal ini menyuburkan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) karena timbul kesan mereka tertular disebabkan oleh perilaku hidup mereka tidak bersih dan tidak bertanggung jawab. Penularan HIV tidak ada kaitannya secara langsung degan perilaku hidup sehat dan bertanggung jawab.

Penularan melalui transfusi darah sama sekali bukan salah orang yang menerima transfusi tapi penyedia layanan transfusi. Di Malaysia seorang ibu rumah tangga guru mengaji tertular HIV melalui transfusi darah di rumah sakit. Perempuan ini menggugat Kerajaan Malaysia 100 juta ringgit (sekitar Rp 250 miliar).

Begitu pula dengan ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya dan anak-anak yang tertular dari ibunya. Tidak ada kaitan langsung antara perilaku hidup sehat pada ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak itu dengan penularan HIV pada mereka.

Stigma terhadap Odha kian kental karena di pasal 13 disebutkan masyarakat bertanggung-jawab dalam pencegahan dan penanggulangan HIV dengan cara: a. berperilaku hidup sehat dan gaya hidup bertanggung-jawab; b. meningkatkan ketahanan keluarga.

Ini mengesankan Odha tertular HIV karena gaya hidupnya tidak sehat dan ketahanan
keluarganya rendah. Lagi pula tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan hidup sehat dan gaya hidup bertanggung jawab.

Selanjut pada ayat c disebutkan ’mencegah terjadinya diskriminasi terhadap ODHA, OHIDHA, dan keluarganya’. Penelitian menunjukkan diskrimnasi terhadap Odha justru banyak terjadi sarana-sarana pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit.

Sedangkan upaya pencegahan dalam perda pada pasal 6 disebukan dilakukan secara
komprehensif, integratif, partisipatif melalui: a. penyelenggaraan kewaspadaan umum dalam rangka mencegah terjadinya penularan HIV/AIDS dalam kegiatan pelayanan kesehatan; b. pemeriksaan HIV/AIDS terhadap semua darah, produk darah, cairan mani, organ dan jaringan tubuh yang didonorkan; dan c. melaksanakan pemeriksaan tes HIV/AIDS terhadap kelompok rawan dan berisiko tinggi.

Perda ini sama sekali tidak akan bisa meredam laju pertambahan infeks HIV baru di kalangan dewasa karena tidak menyentuh masalah penularan dan penyebaran HIV.

Pertama, penyebaran HIV banyak terjadi melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, dan penggunaan jarum suntik secara bersama dengan bergantian pada
penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya). Tapi, dalam perda yang diatur justru risiko penularan di pelayanan kesehatan. Tanpa perda pun pelayanan kesehatan otomatis menerapkan kewaspadaan umum.

Mata Rantai

Kedua, skrining terhadap darah donor sudah dilakukan sejak tahun 1992 berdasarkan
Keputusan Menkes RI No 622/1992 yang mewajibkan pemeriksaan HIV pada darah donor sehingga tidak perlu lagi diatur. Hal yang menarik pada perda ini adalah skrining terhadap air mani. Apakah di Bulukumba sudah ada bank sperma?

Ketiga, ‘melaksanakan pemeriksaan tes HIV/AIDS terhadap kelompok rawan dan berisiko tinggi’ tidak akan menyelesaikan masalah. Jika yang dimaksud kelompok rawan dan berisiko adalah pekerja seks komersial (PSK), maka ada fakta yang luput dari perhatian pembuat perda ini.

Yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, duda atau lajang yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, mahasisa, pelajar, petani, nelayan, dll. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk.

Mereka ini lolos dari tes HIV karena tidak ada mekanisme yang ’menjerat’ laki-laki yang perilakunya berisiko.

Terkait dengan Ranperda AIDS Sulut ditunda karena pada pasal 13 ayat 2 disebutkan ’ada kewajiban dari pemilik/pengelola yang terkesan melegitimasi lokalisasi’. Ini sebuah paradoks.

Penanggulangan epidemi HIV, khusunya terkait dengan perda-perda AIDS, justru mengekor ke Thailand yang dikabarkan berhasil menekan laju infeksi baru di kalangan laki-laki dewasa melalui program ’wajib kondom 100 pesen’ pada hubungan seks di lokasi dan lokalisasi pelacuran.

Jika Perda AIDS Sulut kelak memasukkan program ini maka kalau lokasi dan lokalisasi pelacuran tidak ada maka program itu tidak bisa dijalankan.

Tanpa ada ’lokasi atau lokaliasi pelacuran’ pun praktek pelacuran terus terjadi setiap hari di rumah, losmen, hotel melati, hotel berbintang dan di tempat-tempat lain. Praktek pelacuran yang terselubung inilah salah satu mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar-penduduk.

Maka, kalau ditilik dari aspek kesehatan masyarakat melokalisir pelacuran merupakan salah satu langkah untuk memutus ’jembatan’ penyebaran HIV ke masyarakat karena kegiatan pekerja seks terpantau dan kewajiban memakai kondom dapat diterapkan.

Malaysia lebih maju karena negeri jiran itu menerapkan skrining rutin terhadap pasien IMS (penyakit-penyakit yang ditularkan melului hubungan seks, seperti sifilis, GO, virus hepatitis B, klamidia, dll.), pengguna narkoba suntikan, perempuan hamil, polisi, narapidana, dan pasien TB.

Skrining khusus dilakukan terhadap pekerja seks, homoseksual, pelajar dan mahasiswa.
Maka, tidak mengherankan kalau kasus yang sudah terdeteksi di Malaysia mendekat angka ril.

Sedangkan di Indonesia kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil karena para ahli
memperkirakan kasus HIV/AIDS di Indonesia berkisar antara 90.000-120.000.

Menanggulangi penyebaran HIV adalah dengan memutus mata rantai penyebaran HIV yaitu dengan cara membuat pasal yang berbunyi: “Setiap penduduk Bulukumba wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, di Bulukumba atau di luar Bulukumba.”

Selanjutnya untuk memutus mata rantai penyebaran HIV ada pula pasal yang berbunyi: “Setiap penduduk Bulukumba yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, di Bulukumba atau di luar Bulukumba wajib menjalani tes HIV.”

Kalau Pemprov Sulut ingin menekan laku pertambahan kasus HIV baru maka dalam perda kelak harus ada dua pasal itu. (penulis adalah pemerhati masalah kesehatan, sekaligus kontributor SKH Swara Kitadi Jakarta)