Tampilkan postingan dengan label feature. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label feature. Tampilkan semua postingan

Jumat, 27 Desember 2013

Belajar Melestarikan Alam Dari Kearifan Lokal Masyarakat Suku Kajang, Bulukumba



Di tengah maraknya eksploitasi hutan yang tidak bijak, hal menarik melihat praktek masyarakat sebagai kearifan lokal suku Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, masih memberikan secercah harapan akan suatu lingkungan yang lestari. Meskipun tanpa pengetahuan formal, mereka tahu bagaimana cara berinteraksi dengan lingkungan hidup. Lingkungan diperlakukannya tidak sebagai hal yang patut dieksploitasi, melainkan sebagai pendamping hidup dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Kamis, 07 Maret 2013

Sehat ala Kopi Tradisional Sanrego asal Bulukumba (2-Selesai)


PRODUK KEBANGGAAN. Pemilik sekaligus produsen kopi Sanrego, Amrullah Husain berharap suatu hari nanti, kopi hasil racikannya menjadi produk kebanggaan masyarakat "Butta Panrita Lopi" Bulukumba. Kayu Sanrego telah diteliti beberapa pakar finokimia beberapa perguruan tinggi di Indonesia Timur. Kayu itu dianggap mengandung alkolid, sitosterol, glikosida yang berfungsi dapat menghambat perkembangan bakteri dalam tubuh manusia. (Foto: Parman/Radar Bulukumba)

Sehat ala Kopi Tradisional Sanrego Produksi Bulukumba (1)


Kini kopi tradisional asli Bulukumba muncul dengan ciri khas tersendiri, Sanrego. Selain nikmat, kopi itu juga memberi khasiat bagi tubuh, khususnya kesehatan. Bahkan kopi yang berbahan dasar kayu tradisional bernama sanrego dipercaya mampu meningkatkan semangat kerja, menghilangkan rasa capek dan pegal saat dan setelah beraktivitas. Tidak hanya itu, yang terpenting menambah vitalitas bagi kaum pria.

Sabtu, 18 Juni 2011

Ketika Kajang Berdamai dengan Modernitas

Lentera menjadi penerang utama saat anak-anak mengikuti kegiatan belajar secara nonformal di kawasan komunitas adat Kajang Dalam di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Kamis (4/5/2011). (Foto: KOMPAS/WAWAN H PRABOWO)

Jumat, 29 April 2011

Upah Pekerja Pinisi Tak Semegah Kapalnya

SAWI. Seorang sawi (buruh) yang sedang mengerjakan labung kapal pinisi, di Tanah Beru, Kecamatan Bonto Bahari, Bulukumba, Sulawesi Selatan Di tanah yang dikenal dengan Panrita Lopi ini telah lahir karya-karya besar perahu pinisi dari tangan sawi, atau disebut dengan perajin perahu. (Foto: Kompas.com/K23-11) Jumat (29/4/2011).

Sabtu, 09 April 2011

Pengrajin Suvenir Perahu Phinisi Butuh Bantuan Pemasaran

MINIATUR PERAHU PHINISI. Kurnia, seorang pengrajin suvenir perahu phinisi putera Bulukumba, sejak dua tahun terakhir sudah mengadukan nasibnya hingga ke Pulau Tanadoang Kepulauan Selayar yang saat ini ber-home base di Dusun Borong Borong, Desa Bontolempangan, Kecamatan Buki, Kabupaten Kepulauan Selayar. (Foto: http://mylistore.wordpress.com/wood-craft/)

Senin, 04 April 2011

Kisah Perempuan Tegar dari Bulukumba

Setelah ada kesusahan pasti ada kemudahan. Kalimat ini sangat cocok mewakili kisah hidup Jusmini, perempuan paruh bayah yang tinggal di Desa Seppang, Kecamatan Ujung Loe, Kabupaten Bulukumba. Jusmini adalah sosok yang mewakili karakter perempuan tegar di kampungnya. (Foto: www.p2kp.org)

Senin, 21 Maret 2011

Butuh Setengah Tahun Menyelesaikan Satu Perahu Phinisi

PERAHU PINISI. Membuat perahu phinisi tidak sama dengan membuat perahu tradisional lain. Selain butuh waktu lama, pembuatan sebuah phinisi juga sarat dengan ritual dan filosopi. Bahkan kadang-kadang ada ritualitas. Pengerjaan sebuah pinisi membutuhkan waktu berbulan-bulan. (Foto: ARMAN/FAJAR)

Rabu, 23 Februari 2011

Mau Lihat Pinisi? Datanglah ke Paotere

Pinisi merupakan kapal tradisional suku Bugis dan suku Makassar. Kini, pinisi berfungsi sebagai kapal muatan barang. Saat saya menjelajahi Pelabuhan Paotere, Makassar, beberapa pekerja sibuk memindahkan muatan dari kapal. Kapal yang kecil memuat hasil perkebunan, seperti bawang merah dan jagung. Sementara kapal besar membawa muatan seperti batu bara, pupuk, dan semen. (Foto: Kompas/Ni Luh Made Pertiwi F)

Senin, 21 Februari 2011

Kisah Inspiratif Merayakan Kehidupan


Illustrasi foto Suku Kajang, Bulukumba. Topo, tetua adat komunitas Ammatoa di kawasan Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan, mengerjakan aksi prolingkungannya atas dasar tradisi. Dialah figur yang menerapkan filsafat kenalilah lingkunganmu untuk hidup lebih arif dan tak destruktif. Dia mencoba sintas, survive, dengan menanam, mengolah tanah, dan beternak. (foto: melayuonline.com)


--------------------------------

Kisah Inspiratif Merayakan Kehidupan

Oleh: Mulyo Sunyoto
Editor: Jodhi Yudono
Harian Kompas, Jakarta
Minggu, 20 Februari 2011
http://oase.kompas.com/read/2011/02/20/00202449/Kisah.Inspiratif.Merayakan.Kehidupan

Indonesia boleh dibagi secara artifisial menjadi dua dunia. Katakanlah dunia politis dan sosiologis. Kalau Anda membaca koran halaman politik hari-hari ini, yang tersaji tentang Indonesia tak lain dunia yang warna dominannya adalah kelam kelabu. Sebaliknya, Indonesia yang bewarna utama cerah cemerlang, terbentang di ranah sosiologis.

Sebuah buku yang diterbitkan Antara Publishing, berjudul Kisah-kisah Inspiratif Anak Bangsa, Kumpulan Tulisan LKBN ANTARA 2000-2010, dengan penyunting Maria D. Andriana, berisi 50 karangan hasil reportase sang wartawan, boleh dibilang menjadi saksi bahwa Indonesia masih menyimpan optimisme dan dunia penuh harapan dimiliki warga yang tersebar di seantero Nusantara.

Oleh penyunting, buku ini dibagi menjadi empat bagian utama: kisah tentang ketegaran warga, tokoh yang bisa menjadi inspirasi bagi orang lain, kekuatan bangkit dari bencana dan kisah tentang warisan budaya. Sebagian feature yang dimuat dalam buku ini merupakan karya terbaik yang diperlombakan dalam sayembara yang diadakan setiap tahun oleh lembaga kantor berita yang kini berstatus badan usaha milik negara itu.

Kisah-kisah yang tersaji, dari segi kedalaman, tentu bisa dimaklumi jika terkesan sebatas sketsa. Itu disebabkan oleh ruang terbatas yang disediakan dalam rubrik karangan khas di Antara, yang rata-rata tak bisa lebih dari 1.200 kata. Makanya, bagi yang pernah terpukau oleh kisah lima keluarga karangan Oscar Lewis, tak perlulah melakukan komparasi di level kedalaman isi kisah.

Terlepas dari sifatnya yang sekadar berkabar, 50 kisah dalam buku ini bisa dipakai untuk membaca situasi kemasyarakatan di Tanah Air, daya dan kedigdayaan orang-orang yang hidup tanpa menunggu bantuan dari pemerintah. Salah satu figur yang bisa dicatat di sini adalah Pastor Samuel Oton Sidin yang  tergerak untuk memulihkan lahan kritis di Pontianak.

Yang mengagumkan dari usaha sang pastor bukan kesuksesannya dalam mengolah lahan kritis menjadi lahan yang bertumbuh aneka tanaman, melainkan ketegarannya untuk terus bekerja ketika usahanya kurang mendapat perhatian dari warga sekitar. Sang pastor yang visioner ini tidak melihat hasil kekiniannya, tetapi prospek jangka panjangnya. Dia yakin, jerih payahnya akan dinikmati anak-anak masa depan.

Kalau Pastor Samuel bekerja atas dasar kerusakan yang ditimbulkan deforestasi, Topo, tetua adat komunitas Ammatoa di kawasan Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan, mengerjakan aksi prolingkungannya atas dasar tradisi.

Dialah figur yang menerapkan filsafat kenalilah lingkunganmu untuk hidup lebih arif dan tak destruktif. Dia mencoba sintas, survive, dengan menanam, mengolah tanah dan beternak.

Memang tak semua kebutuhan hidupnya dipenuhi oleh alam sekitarnya, tetapi setidaknya dia melakukan perlawanan terhadap intrusi produk manufaktur. Dia masih mengikat tidak dengan tali rafia, tetapi  tali yang dibuatnya sendiri dari pelepah pisang. Atap dari rumbai masih bertahan di rumahnya yang sebagian besar materinya didapat dari alam sekitar.

Jika Samuel dan Topo bergerak di ranah darat untuk menyelamatkan lingkungan, Nicodemus Manu mewarnai hidupnya dengan menjaga kelestarian terumbu karang di ranah laut Pulau Flores.  Profesi utama Nico sebagai Kepala Konservasi Sumber Daya Alam di Taman Wisata Alam Laut Riung, Pulau Flores. Tapi kecintaannya pada alam itulah yang membuat Nico gigih bekerja untuk menyelamatkan terumbu karang dan biota di laut. Dengan kecintaan semacam itu, Nico tak perlu menggugat, sedikitnya bertanya, apakah gaji yang diterimanya sepadan dengan pengorbanan yang dilakukannya dan risiko yang dihadapinya dalam menjalankan tugasnya.

Kisah inspiratif tentu tak cuma di wilayah nun jauh dari pusat kekuasaan. Kisah penjaga pintu air Manggarai, Jakarta, yang sering didamprat warga juga menjadi salah satu isi buku yang terbit Desember 2010. Gus Haryanto (43) ini menunaikan pekerjaannya, yang di musim hujan, dengan mengorbankan waktu normalnya bersama keluarga. Ketika ketinggian debit Sungai Ciliwung sudah di angka yang mengkhawatirkan, piket 24 jam adalah keniscayaan bagi pria Purworejo, Jawa Tengah, ini.

Kisah inspiratf yang berakhir dengan kesuksesan material terjadi pada diri Asril Das (55), yang memulai usahanya sebagai tukang cukur keliling di Kotobaru, Kabupaten Solok, Sumbar.

Asril Das adalah salah satu prototipe perantau Minang, yang dengan etos kerja kerasnya, jatuh bangun, dan berhasil melewati banyak rintangan sebelum akhirnya menjadi sorang hartawan, dengan sukses di bidang percetakan, penerbitan, dan perhotelan.

Tentu masih ada 45 kisah inspiratif lain, di berbagai bidang kehidupan, yang dikemas buku yang diberi pengantar oleh Direktur Utama Perum LKBN Antara Ahmad Mukhlis Yusuf itu. Mukhlis mengawali pengantarnya dengan mengutip sajak WS Rendra. Pesan sajak itu berbunyi: Kita menyandang tugas demi kehormatan seorang manusia. Ya kehormatan manusia.

Ke-50 kisah inspiratif dalam buku ini adalah kisah manusia terhormat, yang menjaga kehormatannya itu dengan cara mereka masing-masing, tetapi memiliki satu titik temu, atau benang merah yang bernama keutamaan atau kebajikan dalam merayakan kehidupan.

Sumber : ANTARA

[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]

Minggu, 28 November 2010

Menjenguk Rifaldi, Balita Penderita Hydrocephalus (2-Selesai)


PEDULI SESAMA -- Salah seorang kru Redaksi Radar Bulukumba (Grup Fajar) Akhiruddin saat meyerahkan bantuan ke orangtua bayi penderita Hydrocephalus di rumahnya, Sabtu, 27 November 2010. Harapan orangtua Rifaldi untuk melihat puteranya lepas dari penderitaan mulai tampak. Rifaldi kini mulai mendapat uluran tangan untuk biaya operasi pengangkatan cairan di kepalanya.

----------------------------------------------
Menjenguk Rifaldi, Balita Penderita Hydrocephalus (2-Selesai)
Dapat Jamkesda Setelah Wabup Turun Tangan

Harian Fajar, Makassar
Minggu, 28 November 2010
http://news.fajar.co.id/read/110711/127/menengok-rifaldi-balita-penderita-hydrocephalus-2selesai

PERASAAN putus asa orangtua Rifaldi perlahan mulai terhapus. Mereka kini punya harapan untuk mendekap putra kelimanya itu seperti empat anaknya yang lain. Rifaldi kini punya harapan untuk lepas dari penyakit yang dideritanya sejak tiga belas bulan silam. Kondisi bayi dari keluarga miskin ini yang disebarkan melalui media massa ternyata mengundang banyak simpati. Tidak hanya pemerintah setempat, para dermawan lainnya pun mulai mengulurkan tangannya untuk membantu biaya operasi Rifaldi.

Bantuan yang diterima ini pun tidak disia-siakan. Mariani bersama suaminya pun memutuskan untuk kembali membawa anaknya ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sulthan daeng Radja, Sabtu, 27 November kemarin. Meskipun bantuan yang dia terima belum seberapa, namun ini tidak membuat dia mengurungkan niatnya lagi untuk mewujudkan impian agar anaknya segera dioperasi. Dia sangat percaya akan mendapatkan perhatian pemerintah sambil berharap masih ada orang yang rela menyisihkan sebagian hartanya untuk disumbangkan kepadanya.

Tekad ini ternyata tidak sia-sia karena tidak lama setelah tiba di ruang Unit Gawat Darurat (UGD) rumah sakit ini, Wakil Bupati Bulukumba, Syamsuddin yang yang mengetahui informasi ini pun tiba. Mantan sekkab Bantaeng ini pun langsung menanyakan soal fasilitas jaminan kesehatan (jamkesda) yang dimiliki anak ini. Nyaris anak ini kembali kesulitan karena belum mendapat fasilitas jamkesmas.

Beruntung, Syamsuddin berhasil meyakinkan pihak rumah sakit untuk membereskan persoalan ini. Bahkan bocah ini rencananya akan bermalam dulu satu malam di rumah sakit ini sambil menunggu penyelesaian administrasinya. Namun Syamsuddin meminta agar anak ini segera dirujuk ke Makassar untuk mendapatkan pelayanan lebih baik. 

"Rujuk saja ke Makassar, tidak perlu lagi tunggu besok, soal biaya itu persoalan di belakang, saya siap bertanggungjawab," ucap Syamsuddin.

Asa Mariani semakin besar saat tim dari dompet peduli Radar Bulukumba (Fajar Grup) pun tiba untuk menyerahkan bantuan. Dana yang berhasil dikumpulkan selama tiga hari ini pun diserahkan langsung Pemimpin Redaksi (pemred) Radar Bulukumba, Syamsul Bakir Hamid. Melihat ini, ibu Rifaldi semakin yakin tidak lama lagi anaknya akan dioperasi. Apalagi dia juga baru saja mendengar kabar akan kembali menerima bantuan dari Yayasan Kemanusiaan Fajar (YKF) jelang anaknya dioperasi di Makassar.

Tidak lama setelah itu, seorang pria masuk di ruang tempat Rifaldi mendaparkan perawatan sementara. Pria itu pun dengan tegas menyatakan bahwa mobil ambulanc yang akan membawa Rifaldi dirujuk ke Makassar sudah siap. Bergegas Mariani berdiri dan menggendong buah hatinya yang sedang melawan sakit ini. Tapi langkahnya kembali tertahan saat pria itu menyebut ongkos ambulans sekira Rp 900 ribu belum beres.

Mendengar ini, wajah Mariani kembali lesu termasuk para wartawan yang hendak meliput keberangkatan Rifaldi. Orang-orang yang datang melihat kondisi Rifaldi tampak tercengang bercampur bingung. Tetapi Wabub Syamsuddin memperlihatkan kepeduliannya yang langsung keluar menuju sebuah meja untuk membereskan pembayaran biaya ambulans ini. Barulah orang-orang kembalu legas termasuk orang tua Rifaldi.

Dia pun melanjutkan langkahnya ke luar menuju ambilans yang sudah terparkir tepat di depan ruang UGD. Tanpa berpikir panjang dia masuk ke mobil ini sambil menggendong anaknya. Tidak ada lagi yang ada dalam pikiran Mariani selain membayangkan meja operasi dan melihat anaknya kembali normal.

Hanya ayah Rifaldi yang terlihat sibuk mengangkat setengah karung beras dan sebuah kompor masak. Meskipun akhirnya dia batal membawa perlengkapan ini lantaran ditegur salah salah seorang yang menyatakan tidak dibenarkan memasak di rumah sakit. Dia kemudian meletakkan kompor tersebut tetapi berasnya tetap dia naikkan ke Ambulans.

Sebelum beranjak meninggalkan rumah sakit, dengan sangat dalam berpamitan dan mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada orang yang telah membantunya. 

"Mudah-mudahan ada balasannya, saya sangat senang karena anak saya akhirnya ada harapan hidup. Saya tidak menyangka akhinya bisa merujuk anak saya," ucapnya sambil matanya berkaca-kaca bersamaan dengan itu mobil ambulans itu mulai bergerak meninggalkan rumah sakit ini. (*)


[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]

Menjenguk Rifaldi, Balita Penderita Hydrocephalus (1)


BUTUH BANTUAN. Mariani hanya bisa meratapi nasib anaknya, Rifaldi yang sedang berjuang melawan penyakit. Berawal dari benjolan kecil saat masih berusia dua bulan, Rifaldi kini mengalami pembesaran ukuran kepala yang tidak biasa. Ia kini sedang melawan sakit. Padahal, pada usianya kini, seharusnya ia bisa bermain dengan ceria.



--------------------------------------------
Menjenguk Rifaldi, Balita Penderita Hydrocephalus (1)
Biaya Operasi Mahal, Orang Tua Pasrah



Harian Fajar, Makassar
Sabtu, 27 November 2010
http://news.fajar.co.id/read/110650/127/menjenguk-rifaldi-balita-penderita-hydrocephalus-1

MARIANI tidak pernah menyangka putra kelimanya, Rifaldi yang lahir normal akan menderita penyakit hydrocephalus. Bocah malang berusia 15 bulan itu terbaring lesu di kamar berukuran 3x4 meter. Buah hati pasangan Amran dan Mariani itu bernama Rifaldi. Ia lahir 27 Juli 2009.

Berawal dari benjolan kecil saat masih berusia dua bulan, Rifaldi kini mengalami pembesaran ukuran kepala yang tidak biasa. Ia kini sedang melawan sakit. Padahal, pada usianya kini, seharusnya ia bisa bermain dengan ceria.

Tapi itu sulit dia lakukan. Karena dia harus menanggung beban penderitaan akibat kelainan pada kepalanya. Bersama orang tua dan empat kakaknya, dia terpaksa menjalani hidup dengan kondisi kepalanya yang terus membesar.

Keluarga miskin ini hidup di sebuah kampung yang jauh dari keramaian. Untuk mencapai kampung ini dibutuhkan waktu sejam melewati jalan yang rusak dan berbatu. Penduduk yang ada di kampung ini pun sudah banyak yang tahu bahwa ada anak malang di kampung ini. Sebuah puskesdes yang berada sekira satu kilometer dari rumahnya juga tidak bisa berbuat banyak karena keterbatasan fasilitas.

Kondisi Rifaldi saat ini sangat memprihatinkan. Matanya tertutup tetapi bukan berarti dia sedang tidur. Ukuran kepalanya yang mengalami pembesaran tiga kali lipat dari ukuran badannya membuat kelopak matanya terdorong. Ini membuat bocah ini sulit untuk membuka matanya dengan normal. Dia juga kesulitan bergerak karena berat badannya tidak mampu mengimbangi berat kepalanya.

Dia mengalami kelainan produksi cairan yang berlebih pada kepalanya. Ini bisa dibuktikan dengan kondisi kepalanya yang tidak mengeras. Justru kepalanya lembek dan terasa seperti bahan karet yang terisi jika disentuh. Tanda-tanda kelainan ini sebenarnya sudah ada saat Rifaldi masih berusia dua bulan. Saat itu benjolan kecil sudah mulai muncul pada bagian jidatnya. Tetapi orang tua Rifaldi hanya menganggap biasa.

Kelainan ini baru diperiksakan ke dokter dua bulan kemudian atau saat Rifaldi berusia empat bulan. Orang tua Rifaldi mulai panik karena benjolan kecil itu semakin membesar sehingga dia memutuskan membawa anaknya ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sulthan Daeng Radja Bulukumba. Saat itu dokter memvonis dia menderita kelainan cairan pada otak atau disebut dengan istilah hydrocephalus.

Hanya saja, saat itu dokter di rumah sakit tersebut mengaku tidak sanggup dengan alasan anak ini perlu penanganan khusus. Orang tua Rifaldi disarankan untuk merujuk anak ini ke Makassar untuk mengikuti operasi pengangkaran cairan yang berlebih tersebut. Namun karena keterbatasan biaya, orang tua Rifaldi mengurungkan niatnya dan memilih membawa anaknya pulang ke rumahnya.

Dia kemudian mencoba menggunakan pengobatan alternatif dengan pengobatan tradisional atau dengan memanggil dukun. Tetapi upaya ini juga tidak berhasil sehingga saat ini orang tua Rifaldi memilih pasrah sambil menunggu ada orang yang mau mengulurkan tangannya untuk membantu biaya operasi anaknya. Sebenarnya tidak terlalu besar biaya yang dibutuhkan untuk operasi. Ibu Rifaldi hanya diminta menyiapkan Rp 5 juta tetapi bagi keluarga miskin yang hanya berprofesi sebagai petani biasa ini jumlah tersebut sangat besar dan sulit dia dapatkan.

"Saat itu saya cuma punya uang tiga juta saja. Itu pun saya sudah berusaha cari di sana-sini untuk mengumpulkan uang. Tapi saya diminta siapkan lima juta ditambah dengan biaya ambulans sekira Rp 900 ribu. Saya tidak sanggup," ucap dia sambil mengelus kepala putranya saat di temui di rumahnya di Dusun Pattalassang, Desa Orogading, Kecamatan Kindang, sekira 35 kilometer dari pusat Kota Bulukumba, Selasa, 23 November.

Orang tua Rifaldi hanya bisa menengadahkan tangannya meminta uluran tangan pemerintah atau pihak lain yang mau membantunya. Saat ini Mariani mengaku tidak bisa berbuat apa-apa dengan keterbatasan keuangan keluarganya.

Bahkan Mariani makin bingung karena kondisi anaknya yang makin lemah. Badannya juga semakin kecil sementara kepalanya makin membesar. Sehari-hari dia juga tidak pernah membelikan obat anaknya karena tidak punya biaya. Dia hanya bisa menyuguhkan bubur setiap kali anaknya menangis pertanda lapar. Rifaldi juga sudah berhenti menyusui sejak tiga bulan lalu. Mariani pun setiap malam disibukkan untuk mengurusi anaknya yang selalu meringis kesakitan.

Kepala Desa Orogading, Lukman mengatakan, dirinya sangat prihatin dengan kondisi yang dialami warganya. Tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena untuk berobat butuh biaya besar karena harus dirujuk ke Makassar. Dia pun berharap nanti ada bantuan dari pemerintah kabupaten kepada anak malang ini. Dia pun berencana menyampaikan kondisi warganya ini kepada Pemkab Bulukumba.

"Selama ini saya baru mengajak dia ke Rumah Sakit Bulukumba. Saya belum pernah mencoba mencari donatur lain untuk membatu dia,” katanya. (bersambung)


[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]

Minggu, 14 November 2010

Gubernur Sulsel Puto Salama' dan Kapolda Sulselbar Puto Panganro


Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo diberi gelar Puto Salama'. (Foto: M Nasir/Humas Pemprov Sulsel)


Kapolda Sulselbar Irjen Pol Johny Wainal Usman diberi gelar Puto Panganro. (Foto: M Nasir/Humas Pemprov Sulsel)



Gubernur Sulsel Puto Salama' dan Kapolda Sulselbar Puto Panganro

Harian Ujungpandang Ekspres, Makassar
Kamis, 11-11-2010
http://www.ujungpandangekspres.com/view.php?id=56185

Hutan bagi warga Tana Toa, Kajang, merupakan hal yang sangat vital. Karena itu, ada aturan-aturan adat yang Ammatoa terapkan untuk melindungi kelestarian hutan.

Usai melantik Bupati dan Wakil Bupati Bulukumba Zainuddin Hasan-Syamsuddin, Selasa, 9 November 2010, Gubernur Sulsel H Syahrul Yasin Limpo dan rombongan langsung menuju ke Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. Turut serta dalam rombongan, Kapolda Sulselbar Irjen Pol Johny Wainal Usman dan Wakil Bupati Bulukumba H Syamsuddin.

Setiap orang luar yang akan masuk ke Desa Tana Toa tidak bisa langsung masuk begitu saja. Ada prosesi adat yang harus dilalui. Pasalnya, warga Tana Toa yang selalu mengenakan pakaian berwarna hitam, dikenal sangat teguh memegang adat istiadat. Bahkan, alat-alat transportasi seperti sepeda motor atau mobil dilarang memasuki Desa Tana Toa. Sehingga, gubernur dan rombongan harus berjalan kaki sekira 500 meter sampai di balai pertemuan.

Tiba di Desa Tana Toa, Kajang, Gubernur dan rombongan langsung disambut secara adat oleh Kepala Desa Tana Toa, Suttang dan pemangku adat, Puto Palasa. Sarung adat berwarna biru tua dipakaikan kepada Gubernur dan rombongan. Tak lupa, passapu atau ikat kepala sebagai penghargaan turut dipasangkan. Sedangkan, pemangku adat wanita mempersembahkan bakul berisi buah pinang dan beberapa lembar daun sirih.

Usai disambut secara adat, gubernur dan rombongan langsung menanam pohon di sekitar hutan Tana Toa. Penanaman pohon dilakukan sebagai salah satu bentuk penghargaan gubernur dan rombongan terhadap peranan dan fungsi hutan bagi masyarakat Tana Toa. Sekira 1.000 pohon disumbangkan kepada mereka.

Dalam dialog antara Syahrul beserta rombongan dengan para pemangku adat Tana Toa, nama Syahrul diganti menjadi Puto Salama'. Puto merupakan gelar tertinggi di masyarakat adat Kajang, sedangkan Salama' artinya membawa keselamatan bagi seluruh rakyat Sulsel.

Sedangkan Kapolda Sulselbar Irjen Pol Johny Wainal Usman diberi nama Puto Panganro. Yang artinya, pelindung bagi masyarakat Sulsel.

Syahrul mengatakan, ia datang ke Kajang bukan hanya sebagai gubernur. Tapi, juga sebagai keturunan Raja Gowa. Dimana, Kajang dan Kerajaan Gowa merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bahkan, dalam sejarah Gowa yang ditulis dengan aksara lontara Ammatoa beberapa kali disebut.

“Adat yang dipegang teguh Ammatoa harus tetap dijaga kelestariannya karena merupakan salah satu kekayaan budaya Sulsel,” ujarnya.

Ajaran-ajaran Ammatoa juga harus tetap dilaksanakan. Seperti menjaga kelestarian hutan, cinta kepada pepohonan dan alam demi kelangsungan hidup masyarakat Tana Toa.

“Meskipun adat dipegang teguh, pendidikan anak-anak kita saya harapkan tidak dilupakan. Karena, pendidikan akan menjadi penentu masa depan mereka nantinya,” pesan Syahrul.

Sementara, pemangku adat Tana Toa, Puto Palasa, dengan menggunakan bahasa Konjo, menjelaskan, Tana Toa masih sangat ketat dalam mempertahankan adat dan budayanya. Sehingga, Ammatoa melarang segala sesuatu yang berbau modern masuk ke Tana Toa. Seperti listrik, alat-alat elektronik dan alat transportasi modern seperti mobil dan sepeda motor.

“Tanah di sini sangat sederhana. Hutan dianggap sumber kehidupan yang mampu melindungi mata air karena itu harus dilindungi,” tuturnya.

Puto Palasa menuturkan, ada empat hal yang tidak boleh dilakukan terhadap hutan di Tana Toa. Antara lain, mengambil kayu, rotan, mengganggu marga satwa dan lebah.

“Soal pendidikan, meskipun memegang adat, kami juga sangat peduli pendidikan anak-anak kami,” pungkasnya. (*aka-dul/E) (Dewi Yuliani)


[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]

Kamis, 14 Oktober 2010

Pantai-pantai Terbaik Versi Ropaz




Pantai Tanjung Bira sangat indah dan memukau dengan pasir putihnya yang lembut seperti tepung terigu. Di lokasi, para pengunjung dapat berenang, berjemur, diving, dan snorkling. Para pengunjung juga dapat menyaksikan matahari terbit dan terbenam di satu posisi yang sama, serta dapat menikmati keindahan dua pulau yang ada di depan pantai ini, yaitu Pulau Liukang dan Pulau Kambing.

Kamis, 30 September 2010

SUKU KAJANG, AMMATOA...Bulukumba, Sulsel




SUKU KAJANG, AMMATOA...Bulukumba, Sulsel



Oleh: Nizma Fadila
http://nizmafadila.multiply.com/journal/item/7/SUKU_KAJJANG_AMMATOA...Bulukumba_Sulsel
3 Agustus 2009

Perjalanan menikmati keindahan kabupaten Bulukumba, tidak hanya pantainya yang jernih, pasir putih yang lembut, tapi ada lagi keunikan budaya yang dimilikinya, SUKU AMMATOA...

Suku ini biasa disebut dengan suku Kajang...banyak sekali kemiripan budayanya dengan suku Baduy, Banten.



Keunggulan dari Bulukumba adalah, tempat pembuatan kapal Phinisi, kapal-kapal yang dibuat dari Kayu Besi kokoh dengan bentuk menyerupai kapal Christopher Columbus dari Inggris.



Ini tampak rumah penduduk ammatoa, sangat sederhana dan seragam karena mereka menjunjung tinggi nilai kesederhanaan. Jadi tidak ada di antaranya yang memiliki bentuk dan susunan rumah yang berbeda. Setiap rumah hanya memiliki satu kamar tidur, dan ceritanya hanya penganten barulah yang tidur di kamar tersebut, masing-masing rumah biasanya tidak lebih dari 2 kepala keluarga. Jadi, jika sang adik dari penganten baru menikah, si kakak harus segera meninggalkan rumah, karena selain tidak kebagian kamar mereka juga dituntut untuk mandiri. Sang orangtua mengalah tidur di luar, besarnya kasih sayang orang tua yah ???... hmmm...



Di rumah ini tidak ada perabotan rumah tangga, seperti kursi, tempat tidur, dsb, yang ada hanya lemari... isi rumah juga kosong, karena biasanya mereka tidur dan berkumpul di sana.

Sekalipun listrik sudah masuk di wilayah perbatasan kampung ammatoa, tapi mereka tidak menggunakan listrik.

Dilihat dari gambar di samping, pintu kamar hanya dari kain, meski demikian sederhana, mereka juga menggemari keindahan, terbukti dari terpasangnya berbagai poster artis di temboknya. Sekalipun mereka tidak mengenal siapa mereka karena tidak ada TV maupun radio di sekitarnya



Bentuk jendela di setiap rumah penduduk ammatoa sama, terbuat dari kayu dan bernako. Unik dan benar-benar sederhana...biar dibilang masih primitif, tapi mereka bersolek juga lho...lihat ada beberapa alat kosmetik dan kecantikan di atas jendela mereka.



Ini adalah tampak depan rumah Ammatoa dari dalam rumah, pintu masuk sejajar lurus menghadap tangga dan pintu rumah. mereka tidak punya teras rumah untuk duduk, melainkan untuk dapur dan merajut/ menganyam kain hitam mereka.

Philosopi kenapa dapur ada di muka rumah adalah karena mereka harus berbagi dengan sesamanya, keramahan mereka dinilai dari kesenangannya dalam berbagi apa yang mereka miliki di dapur dan disantap bersama-sama.



Teras di sayap kiri digunakan untuk menenun kain hitam, kain kehormatan mereka sendiri. Di sinilah kemiripannya dengan suku Baduy, Banten. Mereka juga tidak menggunakan sendal / sepatu kemana pun mereka pergi, tetapi mereka masih diperbolehkan untuk menggunkan kendaraan transportasi yang mereka bisa, tapi kebanyakan dari mereka memilih untuk berjalan kaki.

Mereka distrukturkan termasuk dalam dusun, sehingga kepala desa tetap dari masyarakat luar Ammatoa, dengan itu segala keputusan diambil secara musyawarah, antara kepala suku Ammatoa dengan kepala dusun serta kepala desa.

Satu hal yang terkenal dari Ammatoa adalah kepercayaan mistisnya yang sangat kental, sehingga harus hati-hati jika ingin masuk ke wilayah mereka.

Yang pasti, harus izin ke kepala Desa sekalian minjem baju hitam yang disewakan di kepala desa.

Unik, seru, dan mengesankan...

Sistem sosial politik serta budaya nya masih banyak lagi yang bisa dieksplore, sayang saat itu saya tiba jam 4 sore jadi tidak bisa banyak mengeksplore, tetapi ketika berdiskusi dengan kepala sekolah disana, banyak yang bisa kita dapatkan.

Ayo...kita lestarikan budaya Indonesia dengan VISIT INDONESIA...gak usah ke luar negeri dulu sebelum kamu tahu dan rasakan keindahan budaya dan alam Indonesia....kalo bukan dari kita, siapa lagi ????....

Keterangan:
- Tulisan yang dimuat pada 3 Agustus 2009 pada blog http://nizmafadila.multiply.com/journal/item/7/SUKU_KAJJANG_AMMATOA...Bulukumba_Sulsel, saya copy paste pada hari Jumat, 1 Oktober 2010.
- Saya melakukan beberapa perbaikan kata, tetapi tidak mengubah substansi, misalnya kata KAJJANG, saya ubah menjadi KAJANG.
- Tulisan ini saya anggap menarik dan memiliki nilai positif, sehingga saya meminta izin kepada penulisnya untuk memuat ulang tulisan dan foto-fotonya di blog ini.



[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]

Songkabala ala Azikin Solthan

Songkabala ala Azikin Solthan



Harian Tribun Timur, Makassar
Sabtu, 18 September 2010
http://www.tribun-timur.com/read/artikel/128330/Songkabala-ala-Azikin-Solthan

BULUKUMBA, TRIBUN-TIMUR.COM - Caretaker Bupati Bulukumba, Azikin Solthan, aktif melakukan komunikasi dengan pegawai dan warga sejak dilantik, 6 September lalu.

Ia menjalin silaturahmi dengan jajaran pejabat pemkab, muspida, tokoh masyarakat, dan wartawan.

Pada beberapa kesempatan, mantan Bupati Bantaeng dua periode itu, membagi kiat sukses berkarier di bidang pemerintahan kepada pegawai setempat.

Azikin yang juga Kepala Inspektorat Sulsel mengatakan, untuk mencapai kesuksesan dan langgeng mendapat kepercayaan dari pimpinan, maka jangan boros menggunakan kewenangan. Sebab jika boros, maka akan cepat berakhir.

Kiat lainnya untuk sukses di pemerintahan, kata Azikin, pegawai harus bisa melakukan songkabala atau ilmu tolak bala. Tapi versi Azikin, songkabala dimaksud adalah bekerja sesuai aturan.

"Itumi songkabala-nya PNS," katanya.

[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]

Senin, 27 September 2010

Arie Dirgantara, Benteng Kokoh Dari Gerakan Kota Penyair




Arie Dirgantara, Benteng Kokoh Dari Gerakan Kota Penyair

Dikutip dari http://www.kavalera.co.cc/2009/10/benteng-terkuat-kota-penyair-bernama.html, pada 28 September 2010

Penyair dan teaterawan muda berambut gondrong kelahiran Bulukumba, 5 November 1984, Arie M. Dirgantara kembali menjadi tamu dalam program sastra dan budaya "Ekspresi" di RCA 102, 5 FM, edisi hari ini, Minggu 25 Oktober. Tidak kurang dari lima bongkah puisi dia bacakan secara ekspresif di studio RCA setelah saya interview beberapa menit untuk menguliti pikiran-pikiran liarnya yang paling anyar. Arie juga suka memakai nama samaran "Sang Kelam" dan telah menulis puisi sejak mengenal aksara di masa kecil. Arie adalah adik kandung dari cerpenis Anis K. Al Asyari.

Saya melihat Arie masih sebagai salah satu benteng terkokoh dalam gerakan Bulukumba Kota Penyair di mana dia menjadi salah seorang deklarator pada Maret 2009. Sampai hari ini tetap giat menggeliat di berbagai organisasi dan komunitas seni. Rajin melata di panggung-panggung teater melalui Sanggar Merah Putih Makassar. Pendiri Komunitas Mahasiswa dan Pemuda Kreatif (Kompak) Batukaropa Bulukumba. Berlompatan dengan energik kesana kemari melalui Selatan-Selatan Institut dan P31 Cultural Insitute bersama penyair Andhika Mapasomba. Kini masih menjabat ketua umum Komunitas Rumpun Seni Budaya Kanre Ana' (organisasi penggemar acara-acara seni di RCA).

Membaca puisi-puisinya adalah seolah sedang membaca metafora tentang sunyi-sunyi yang dia rekam bersama jejak-jejak yang seringkali tak terendus oleh angin. Dia mengendusnya dengan caranya sendiri. Sangat khas. Di bawah ini salah satu puisinya yang diberi judul cukup sederhana. Tapi isinya mungkin tak dapat diendus oleh siapapun termasuk angin. Judul-judul puisinya kadang "menipu" bagi penikmat puisi polos.

Puisi Buat Sang Terkasih

aku bersamamu, hampir setiap waktu ini kita lewatkan
membelai angin, menidurkan kerinduan kita
semestinya, memang cinta adalah keinginan
keinginan atas semua yang sedang berlaku antara kau aku dan semesta
mencintaimu, bukan berarti menjadikan kau adalah pilihan
atau menjadikanmu hak atasku dan bagian dalam kisahku
tapi mencintaimu adalah kesetaraan istimewa terhadap penalaran hidup
saling berbagi, membelai dan mengecup kening

sebab aku tahu setelah mencintaimu akan ada luka
luka yang menjadikan semuanya indah

aku tuliskan puisi ini buatmu
saat-saat hatiku seperti sangat kecil
dan kau memilikinya utuh.


sang kelam cendana 2009

[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]

Minggu, 02 Agustus 2009

Tunrung Pakkanjara, Sumpah Kesetiaan Masyarakat Gantarang bagi Bupati, A.M. Sukri (2-Selesai)

Tunrung Pakkanjara, Sumpah Kesetiaan Masyarakat Gantarang bagi Bupati, A.M. Sukri (2-Selesai)

Kesetiaan Sejati Tidak Diucapkan, tapi Dilakukan


Harian Fajar (www.fajar.co.id)
13 Sep 2005

ARU Saoraja yang menandakan pelepasan masyarakat Gantarang bagi A.M. Sukri Sappewali menjadi Bupati Bulukumba pada 6 September 2005, pukul 10.00-12.00 di halaman saorajae di Ponre, Bulukumba, menantang aru, sumpah kesetiaan macam itu.
Itulah sebabnya saat Pimpinan Tubarani (Muhajir H Rasyid) yang memimpin 55 Tubarani (Pola Artistik Gantarang) mengawali sumpah kesetiaannya di depan Bupati Bulukumba, Tumarilaleng (Robert Mitchel Pelealu) menghentikannya, lalu mattabe' (minta izin) pada bupati untuk bicara.

Dan, setelah Tumarilaleng mendapat isyarat dari bupati, dia melanjutkan ucapannya: "Jangan kaget. Sumpah kesetiaan, mangngaru (bersumpah setia) sekarang ini tak ada artinya. Sebuah omong kosong. Yang Mulia telah menegaskan, kesetiaan sejati tidak diucapkan, tapi dilakukan, dibuktikan."

Sebagai bahan pertimbangan, di dalam Aru Saoraja diketengahkan dialog antara Arumpone (M. Alwy Gazali) dengan Kajao La Liddong (Safri M. Saleh) dalam gaya flash back (kilas balik) di atas panggung setinggi dua meter lebih. Dalam dialog tersebut, ada dua hal yang diangkat.
Pertama, tanrana namaraja tanae (tanda makmurnya negeri), yaitu: narekko malempu'i namacca arung mangkau'e (apabila raja yang memerintah jujur dan cerdas), dan tessisala-salae rilalempanuwa (tak ada konflik dalam negeri).

Kedua, tanra cinna-matena tana marajae (tanda-tanda runtuhnya kerajaan), yaitu: 1) kebrutalan, 2) jika raja yang memerintah tidak mau lagi diingatkan, 3) jika tidak ada lagi orang cerdas di dalam negeri, 4) jika hakim dan jaksa sudah makan sogok, 5) jika terjadi kesewenang-wenangan dalam negeri, dan 6) jika raja yang memerintah tidak lagi mengasihi rakyatnya.

Disebut pertimbangan oleh Tumarilaleng, karena: "Yang Mulia tidak akan memaksa kalian untuk mematuhinya atau tidak, karena kita adalah manusia yang sudah bisa berpikir. Kalau kita anggap baik, kita patuhi; tapi kalau kita anggap jelek, kita tinggalkan,"

Menjelang berakhirnya Aru Saoraja, sesuatu yang sangat mencekam terjadi. Kalau Aru Saoraja dikategorikan pertunjukan, maka setelah Tumarilaleng menekankan ajakan:

"Kita utamakan kesatupaduan, mulai dari keluarga, tetangga, ke seluruh warga, dan seterusnya sampai ke seluruh negeri, Insya Allah, Tuhan merahmati orang yang menyenangi kedamaian," pertunjukan telah berakhir. Tapi tidak. Aru Saoraja bukan pertunjukan, meskipun dalam proses penampilannya mendapat arahan dari aktor Syam Asrib dan sutradara Jacob Marala.

Suasana mencekam yang saya maksudkan adalah seusai kalimat ajakan tersebut di atas, A.M. Sukri Sappewali dalam kostum lengkap sebagai bupati, bangkit dari kursinya, dan berbicara dalam bahasa Indonesia dan bahasa Bugis, yang akhirnya begini: Tomatowa malebbi'kku, selessurekku, anri-anrikku, parinngerrangiya' narekko takkalupawa (Para orang tuaku yang mulia, Saudara-saudaraku, Adik-adikku. Ingatkanlah saya, jika saya terlupa).

Salam terakhirnya langsung disambut, lalu dilanjutkan dengan lantunan Subhanallah, Walhamdulillah, Walailaha IllaLah, Wallahu Akbar, yang kemudian berpadu dengan jenis pukulan gendang tunrung se're, tunrung tallu, tunrung panngallakkang, dan tunrung pakanjara'. Langit menguak, para rakyat menguak memberi jalan pada manusia A.M. Sukri Sappewali untuk melangkah, melangkah, dan terus melangkah ke depan.

Aru Saoraja bukan pertunjukan, tapi peristiwa budaya. Matahari terik, aspal meleleh, tantangan yang menggairahkan untuk dicengkeramai. Insya Allah.

Sumber : Fahmi Syariff, Penulis: aktivis Dewan Kesenian Makassar (DKM) dan dosen Fak. Sastra Unhas.

Tunrung Pakkanjara, Sumpah Kesetiaan Masyarakat Gantarang bagi Bupati, A.M. Sukri (1)

Tunrung Pakkanjara, Sumpah Kesetiaan Masyarakat Gantarang bagi Bupati, A.M. Sukri (1)

Aru Saoraja: Sebuah Reinterpretasi


Harian Fajar (www.fajar.co.id)
12 Sep 2005

KERIUHAN manusia yang memadati halaman saoraja (istana) sederhana itu, mendadak lebur oleh tunrung pakanjara' (sejenis pukulan gendang Makassar) dari atas panggung setinggi manusia yang dibangun khusus sekitar 2 meter dari tangga saoraja.
Tunrung pakanjara' yang bersumber dari 20 gendang tambah perangkat musik tradisional Makassar lainnya itu, dimainkan oleh Sanggar Katangka, Sungguminasa, pimpinan Kalimuddin Tombong.

Seorang laki-laki (didampingi istri) dalam pakaian putih-murni dan topi yang baru saja melewati ambang pintu saorajae, melangkah ke luar, ke anak tangga teratas. Dia mengangguk senyum menyambut ajakan seorang laki-laki yang berpakaian tradisional Bugis. Pasangan suami-istri itu lalu turun menapaki anak tangga demi anak tangga. Di anak tangga terbawah keduanya disambut oleh empat sahabatnya sejak kecil, langsung ditadah dengan lellu' (tudung istana) yang dipersiapkan sejak tadi.

Seorang lagi laki-laki, juga dengan istri dan dalam pakaian putih-murni dan topi, menyusul. Di belakangnya lagi melangkah tiga anak laki-laki yang masing-masing berusia SLA, SMP, dan SD.
Mereka langsung ke sebuah panggung kecil. Enam perempuan dalam kostum tradisional Makassar menyusulnya.

Ketika kedua pasangan suami-istri dan 3 anak laki-laki itu sudah di atas panggung kecil, lalu berbalik, pukulan gendang berubah, dan kini dari kelompok Makassar Art. Keenam perempuan yang menyusulnya tadi itu jongkok mengawali tari Pakurru' Sumanga' (ciptaan koreografer Ida Joesoef Madjid). Lagu Ati Raja (ciptaan musisi Baba' Wak Rowa', 1800-an) lewat Awaluddin dari Makassar Art yang awalnya mendayu, makin lama makin jelas, dan kemudian merambat ke relung hati terdalam.

Akhirnya, antara ketiga unsur (sastra lewat syair, musik lewat nada dan irama, tari lewat gerak) yang audio visual itu, terjadi perpaduan yang cair, sehingga yang terkomunikasi adalah kadar ritual, serah diri pada Kemahakuasaan Tuhan.

Pakurru' Sumanga' yang merupakan eksposisi penampilan beranjak ke tanjakan. Lima puluh enam laki-laki dari satu arah, masuk dengan langkah-langkah panjang, tegap, langsung jongkok di depan panggung. Sebuah monolog melancar dari laki-laki terdepan: Tabe', ta'ddampengenngi atatta, riolo ale'bbireta, ritudangeng matanreta (Permisi, ampunkan hamba, di depan kemuliaanmu, di atas singgasanamu).

Tangan kiri ke-56 laki-laki yang dari tadi melekat di pinggang kiri, mereka dorong ke depan, sehingga hulu keris mereka mencuat. Pelan tangan kanan mencabut keris, ujungnya pelan dirapatkan di hidung, di kening, kemudian dengan tangkas diacungkan lurus ke atas bersamaan dengan dongakan kepala dan lantunan vokal: a!

Monolog kembali terdengar: "Puakku (Sembahanku), kini, dan untuk selamanya..." Keris yang teracung ke atas pelan diturunkan mengarah ke depan: "Terimalah aru, pernyataan sumpah kesetiaan kami..." Dengan tangkas keris dihunjamkan ke bawah menyentuh bumi, lagi-lagi disertai vokal: a!

Namun, hanya satu-satunya vokal itulah yang terdengar, karena dipatahkan oleh satu patah kata bernada rendah, tidak keras tapi padat dari Tumarilaleng (Robert Mitchel Pelealu): "Hentikan." Gendang meledak satu kali, pui'-pui' melengking satu kali. Selanjutnya, beku. Kebekuan selama beberapa tarikan napas itu, kemudian pelan cair oleh lanjutan suara bernada rendah tadi. Mengapa?

Berangja' kunipate'ba', pangkulu'ja' kunisoweyang (Saya hanya parang yang ditetakkan, kapak yang diayunkan); itulah antara lain isi aru, pernyataan sumpah kesetiaan yang sekian lama ini diucapkan oleh kalangan abdi bagi tempatnya mengabdi. Tapi masih bisakah pernyataan sumpah kesetiaan macam itu diterima pada saat sekarang ini? Masihkah seorang abdi sekadar parang yang ditetakkan, menetak siapa saja sesuai keinginan yang menetakkannya? Masihkah seorang abdi hanya kapak yang diayunkan, meskipun arah kapak itu terayun ke dirinya?

Sumber : Fahmi Syariff, Aktivis DKM dan dosen Fak. Sastra Unhas.