----------------
H Ahmad Nur (Tokoh Pembuat Perahu Pinisi):
Butuh Setengah Tahun Menyelesaikan Satu Perahu
Oleh: Muhammad Arman
Harian Fajar, Makassar
Minggu, 20 Maret 2011
http://www.fajar.co.id/read-20110320070822-butuh-setengah-tahun-menyelesaikan-satu-perahu
SOSOK H Ahmad Nur tidak bisa dipisahkan dari perkembangan industri Perahu Pinisi di Bulukumba. Ahmad menjadi salah satu tokoh yang aktif dan terlibat langsung dalam pembuatan perahu tradisional khas Bulukumba tersebut. Tidak saja sebagai pemodal, tetapi juga memotivasi warga untuk membuat alat transportasi yang harganya miliaran rupiah tersebut.
Pria yang akrab disapa Petta Lolo yang ditemui penulis di kawasan Pantai Bira beberapa waktu lalu mengatakan, bentuk perahu Pinisi tradisional kebanggaan masyarakat Butta Panrita Lopi memiliki ciri tersendiri. Badan kapal yang lebih banyak ruangan terbuka menandakan karakter seorang pelaut ulung. Betapa tidak, saat ombak menerjang para pelaut bukannya bersembunyi di balik bilik, tetapi justru keluar menantang ombak.
Ruang sempit pada bagian buritan kapal pun dibuat hanya sekadar tempat bernaung sejenak. Ruang dengan tinggi tidak lebih dari satu meter tersebut hanya diisi beberapa orang saja. Ruang itu dibuat hanya sekadar untuk duduk dan berbaring para awak Pinisi. Begitu pun bahan pembuatan kapal yang seluruhnya dari kayu menandakan semangat pelaut ulung untuk menyatu dengan alam.
Ahmad Nur menyebut ombak layaknya teman berbicang saat berada di tengah samudra. Semangat kebaharian dan corak perahu Pinisi sudah menyatu dalam dirinya. Dia pun menilai perahu Pinisi adalah warisan yang tak tergantikan meski dia akui perahu ini mulai berevolusi sesuai dengan tuntutan saat ini. Namun, tidak berarti kekhasan perahu fenomenal ini dengan dua tiang dan tujuh layar serta bahannya yang dari kayu tidak akan pudar.
Kepada penulis, pria dengan ciri khas berambut panjang ini bercerita tentang kisahnya bersama perahu yang tersohor seantero jagat ini. Betapa tidak, dalam catatan sejarah perahu tradisional ini berhasil dalam misi pelayaran internasionalnya. Pinisi Nusantara tercatat tiba di Vancouver Kanada 1986 dan Pinisi Ammana Gappa yang mencapai Madagaskar pada 1991 silam.
Dengan nama besar Pinisi ini Ahmar Nur menyebutnya sebagai sebuah pencapaian Panrita Lopi sebelumnya yang patut dihargai. Perahu ini tidak sekadar tumpangan tetapi merupakan pengejawantahan dari pergumulan dengan laut itu sendiri. Itu karena para Panrita Lopi lahir setelah melalui proses panjang di laut.
Pria berusia 59 tahun ini sebelum memutuskan menjadi pembuat perahu, lebih dulu menghabiskan waktu menyapa laut. Mempelajari ganasnya samudra dari sekadar juru masak hingga kapten kapal. Dari situ, dia mengerti tentang bagaimana memperlakukan laut. Belajar bagaimana memahami gelombang laut dengan tanda-tanda alam yang mengitarinya. "Kami tidak bergelar sarjana perkapalan, tetapi secara alamiah mengetahui pasang surutnya gelombang laut," tutur dia.
Ahmad menuturkan dalam mengerjakan sebuah Pinisi membutuhkan waktu minimal tiga bulan dengan jumlah pekerja belasan orang.
"Kadang-kadang selesai setengah tahun. Tetapi ada juga yang baru bisa rampung setelah dikerja setahun," kata tokoh masyarakat Tana Beru tersebut.
Hingga kini Ahmad sudah merampungkan puluhan Pinisi. Pinisi-Pinisi yang telah dibuatnya itu sudah laku.
Menariknya, kebanyakan pembeli Pinisi itu bukan warga Sulsel tetapi pengusaha dari luar negeri. Ada Eropa dan ada juga dari negara Asia. Menurut dia, harga sebuah Pinisi berkisar antara Rp1 miliar hingga Rp 3 miliar.
Ketertarikan Ahmad Nur dalam meneruskan tradisi Pinisi berangkat karena panggilan hati. Selain tidak bisa dipungkiri, membuat perahu Pinisi sudah menjadi mata pencarian yang sangat potensial seiring dengan semakin dikenalnya maha karya ini. Apalagi, pesanan untuk membuat perahu ini tidak hanya dari pengusaha domestik tetapi juga muncul dari berbagai negara.
Soal desain perahu Pinisi, Ahmad Nur mengaku memang ada beberapa pergeseran. Meskipun ciri khas seperti dua tiang dan tujuh layar serta terbuat dari kayu masih dipertahankan, namun dengan perkembangan modernitas para tokoh pembuat perahu ini juga beradaptasi. Khususnya untuk memenuhi permintaan pasar internasional.
Bentuk Pinisi tradisional yang lebih banyak untuk kapal pengangkut barang (kargo) dengan bagian ruangan yang sempit sudah mulai ditinggalkan. Para Panrita Lopi banyak beralih pada model kapal pesiar dengan banyak ruangan. Inipun disadari para tokoh pembuat perahu Pinisi tersebut seiring dengan perkembangan zaman tidak bisa terelakkan. Meski dalam benaknya dia ragu suatu saat ciri perahu Pinisi akan semakin tergerus. (*)
[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar