Jumat, 27 Desember 2013

Belajar Melestarikan Alam Dari Kearifan Lokal Masyarakat Suku Kajang, Bulukumba



Di tengah maraknya eksploitasi hutan yang tidak bijak, hal menarik melihat praktek masyarakat sebagai kearifan lokal suku Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, masih memberikan secercah harapan akan suatu lingkungan yang lestari. Meskipun tanpa pengetahuan formal, mereka tahu bagaimana cara berinteraksi dengan lingkungan hidup. Lingkungan diperlakukannya tidak sebagai hal yang patut dieksploitasi, melainkan sebagai pendamping hidup dalam kehidupan sehari-hari mereka.





-----------------

Belajar Melestarikan Alam Dari Kearifan Lokal Masyarakat Suku Kajang, Bulukumba


Oleh: Akbar Nur



Awalnya ini adalah jalan-jalan biasa untuk melihat suku kajang tapi kemudian berubah jadi wisata belajar kehidupan, kesederhanaan, dan bagaimana harusnya kita memperlakukan alam secara baik dan bijak.

Tidak ada yang bisa mengingkari kenyataan bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang sangat kaya akan keanekaragaman budaya dan sumber daya alam yang terbentang dari sabang sampai merauke. Selain itu juga bahwa Indonesia dikenal sebagai Negara yang bermulti etnik dan tentu saja masing-masing etnik tersebut memiliki ciri khas dan adat istiadat yang berbeda-beda pula.

Salah satu wujud kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia adalah hutan yang  membentang sepanjang zamrud katulistiwa. Ini menjadikan hutan Indonesia sebagai salah satu paru-paru dunia yang menopang keseimbangan dan kelangsungan hidup manusia di atas bumi.

Melihat realitas yang ada sekarang, dari tahun ke tahun salah satu paru-paru dunia itu ibarat terkena kanker ganas. Ini akibat dari pada pengelolaan hutan yang sangat tidak bijak, mengeksploitasi hutan dengan semena-mena demi kepentingan pribadi baik itu secara legal maupun illegal. Hutan tidak dipandang lagi sebagai ibu pertiwi yang harus dijaga dan dilestarikan melainkan menjadi suatu komoditi yang sangat menguntungkan bagi segelintir orang yang sangat rakus akan kekayaan.

Di tengah maraknya eksploitasi hutan yang tidak bijak, hal menarik melihat praktek masyarakat sebagai kearifan lokal suku Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, masih memberikan secercah harapan akan suatu lingkungan yang lestari. Meskipun tanpa pengetahuan formal, mereka tahu bagaimana cara berinteraksi dengan lingkungan hidup. Lingkungan diperlakukannya tidak sebagai hal yang patut dieksploitasi, melainkan sebagai pendamping hidup dalam kehidupan sehari-hari mereka. Oleh karenanya tidak mengherankan jika hutan yang berada di sekitar areal tersebut hingga hari ini masih terjaga kelestariaannya.

Daerah suku Kajang ini secara wilayah berada di kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Perjalanan dari Kota Makassar menempuh waktu kurang lebih 4 jam melewati jalur trans sulawesi Gowa-Takalar-Jeneponto-Bantaeng-Bulukumba. Teman-teman yang akan melakukan traveling atau ingin berkunjung ke daerah suku kajang sebaiknya menyiapkan pakaian serba hitam untuk menghormati tradisi setempat. Warna hitam bagi masyarakat kajang sebagai bentuk persamaan segala hal termasuk kesamaan dalam hal kesederhanaan. Warna hitam menunjukkan kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap orang di depan sang pencipta. Kesamaan dalam bentuk lahir, menyikapi keadaan lingkungan, utamanya kelestarian hutan yang harus dijaga sebagai sumber kehidupan.

Dalam melaksanakan ajarannya, masyarakat adat suku kajang berpegang pada pasang yang diturunkan oleh Turiarakna (Tuhan). Terkait dengan kearifan suku kajang dalam menjaga kelestarian hutan sampai hari ini tidak terlepas dengan prinsip tallase kamase-mase yang mereka jalankan.Tallase kamase-mase sendiri adalah suatu pasang yang mengajarkan masyarakat adat ammatoa atau suku kajang untuk berperilaku dan menjalankan hidup secara sederhana dalam kesehariannya sehingga keinginan untuk hidup berlebih-lebihan dalam mengambil hasil hutan dapat dihindari.

Hidup sederhana bagi masyarakat Kajang adalah semacam ideologi yang berfungsi sebagai pemandu dan rujukan nilai dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Secara lebih jelas tallase kamase-mase ini tercermin dalam pasang sebagai berikut:

1. Ammentengko nu kamase-mase, accidongko nu kamase-mase, a’dakkako nu kamase-mase, a’meako nu kamase-mase artinya; berdiri engkau sederhana, duduk engkau sederhana, melangkah engkau sederhana, dan berbicara engkau sederhana.

2.  Anre kalumannyang kalupepeang, rie kamase-masea, angnganre na rie, care-care na rie, pammalli juku na rie, koko na rie, bola situju-tuju. Artinya; tidak ada kekayaan yang kekal, yang ada hanya kesederhanaan, makan secukupnya, pakaian secukupnya, membeli ikan secukupnya, kebun secukupnya, rumah seadanya.

3.  Jagai lino lollong bonena, kammayatompa langika, rupa taua siagang boronga. Artinya; Peliharalah dunia beserta isinya, demikian pula langit, manusia dan hutan.

Selain ajaran tallase kamasa-mase, masyarakat adat Kajang juga memiliki mekanisme lain untuk menjaga kelestarian hutan mereka, yaitu dengan cara menetapkan kawasan hutan menjadi tiga bagian di mana setiap bagian memiliki fungsi dan makna yang berbeda bagi masyarakat adat. Ketetapan ini langsung dibuat oleh Ammatoa.

Kawasan yang pertama adalah Borong Karamaka atau hutan keramat, yaitu kawasan hutan yang terlarang untuk semua jenis kegiatan, kecuali upacara-upacara adat. Kawasan ini harus steril dari kegiatan penebangan, pengukuran luas, penanaman pohon, pemanfaatan flora dan fauna yang ada di dalamnya, ataupun kunjungan selain pelaksanaan upacara adat. Kawasan borong karamaka ini begitu sakral bagi masyarakat Kajang karena adanya keyakinan bahwa hutan ini adalah tempat tinggal para leluhur orang Kajang. Hal ini diungkapkan secara jelas dalam sebuah pasang, yaitu: “Talakullei nisambei kajua, Iyato’ minjo kaju timboa. Talakullei nitambai nanikurangi borong karamaka. Kasipalli tauwa a’lamung-lamung ri boronga, Nasaba’ se’re wattu la rie’ tau angngakui bate lamunna” (Artinya: Tidak bisa diganti kayunya, itu saja kayu yang tumbuh. Tidak bisa ditambah atau dikurangi hutan keramat itu. Orang dilarang menanam di dalam hutan sebab suatu waktu akan ada orang yang mengakui bekas tanamannya.

Kawasan yang kedua adalah Borong Batasayya atau hutan perbatasan. Hutan ini merupakan hutan yang diperbolehkan diambil kayunya sepanjang persediaan kayu masih ada dan dengan seizin dari Ammatoa selaku pemimpin adat. Jadi keputusan akhir boleh tidaknya masyarakat mengambil kayu di hutan ini tergantung dari Ammatoa. Pun kayu yang ada dalam hutan ini hanya diperbolehkan untuk membangun sarana umum, dan bagi komunitas Ammatoa yang tidak mampu membangun rumah. Selain dari tujuan itu, tidak akan diizinkan.

Namun, tidak semua kayu boleh ditebang. Hanya beberapa jenis kayu saja yang boleh ditebang, yaitu kayu Asa, Nyatoh, dan Pangi. Jumlah kayu yang ditebang pun harus sesuai dengan kebutuhan, sehingga tidak jarang kayu yang ditebang akan dikurangi oleh Ammatoa.

Syarat utama ketika orang ingin menebang pohon adalah orang yang bersangkutan wajib menanam pohon sebagai penggantinya. Kalau pohon itu sudah tumbuh dengan baik, maka penebangan pohon baru dapat dilakukan. Menebang satu jenis pohon, maka orang yang bersangkutan wajib menanam dua pohon yang sejenis di lokasi yang telah ditentukan oleh Ammatoa. Penebangan pohon itu juga hanya boleh dilakukan dengan menggunakan alat tradisional berupa kampak atau parang. Cara mengeluarkan kayu yang sudah ditebang juga harus dengan cara digotong atau dipanggul dan tidak boleh ditarik karena dapat merusak tumbuhan lain yang berada di sekitarnya.

Dan kawasan yang ketiga adalah Borong Luara’ atau hutan rakyat. Hutan ini merupakan hutan yang dapat dikelola oleh masyarakat. Meskipun kebanyakan hutan jenis ini dikuasai oleh rakyat, namun aturan-aturan adat mengenai pengelolaan hutan di kawasan ini tetap masih berlaku. Ammatoa melarang setiap praktek kesewenang-wenangan dalam memanfaatkan sumberdaya yang terdapat dalam hutan rakyat ini.

Agar ketiga kawasan hutan tersebut tetap mampu memerankan fungsinya masing-masing, Ammatoa akan memberikan sangsi kepada siapapun yang melanggar ketentuan yang telah dibuatnya itu. Sanksi yang diberikan tidaklah sama, tergantung di kawasan hutan mana orang yang bersangkutan melakukan pelanggaran. Pelanggaran yang dilakukan di hutan keramat akan mendapatkan sanksi yang paling berat.

***
@copyright
REP | 27 December 2013
http://green.kompasiana.com/penghijauan/2013/12/27/belajar-melestarikan-alam-dari-kearifan-lokal-masyarakat-suku-kajang-bulukumba-621880.html
[Terima kasih atas kunjungan dan komentar Anda di Blog Kabupaten Bulukumba]

Tidak ada komentar: