Selasa, 04 Januari 2011

Kenangan Perjalanan ke Bira, Bulukumba (2-habis)

Pemandangan yang cukup indah saat matahari terbit (sunrise) di pantai Tanjung Bira. Perpaduan warnanya sangat indah, dengan latar depan pohon kelapa berwarna hitam, awan yang juga masih kehitam-hitaman, serta sebagian awan dan laut yang berwarna jingga disinari mentari yang baru muncul seolah-olah mengintip dari balik bumi. (foto: Abang Acid)


-------------------------------------------
Kenangan Perjalanan ke Bira, Bulukumba (2-habis)  
DAY 4 - JUST BIRA

Oleh: Ahmad Ramli Zakaria
(Penggemar tur sepeda dari Subang Jaya, Selangor, Malaysia)


 


Monday, January 26, 2009
http://cyclingtales.blogspot.com/2009/01/day-5-just-bira.html

Kami bangun pagi-pagi sekali. Kami memang telah merencanakan untuk bangun pagi lebih cepat agar bisa menikmati pemandangan indahnya matahari terbit (sunrise), matahari yang baru bangkit dari balik cakrawala. Angin lembut yang berhembus dari laut membuat pagi hari menjadi lebih segar. Kami benar-benar menikmati suasana, cuaca, hembusan angin, dan pemandangan yang indah ini.

Rekan kami, Abang Acid pun dengan cekatan memotet dengan kameranya beberapa momen yang menarik.
Biasanya waktu untuk mengabadikan momen matahari terbit dan terbenam sangat singkat, sehingga kami benar-benar memanfaatkan kesempatan yang sangat singkat itu.

Ketika kami berkunjung ke desa terdekat, beberapa nelayan tampak mempersiapkan diri pergi melaut. Mereka tampak bekerja seolah-olah sudah terpola, mungkin karena pekerjaan itu sudah rutin mereka lakukan. Bahkan keberadaan kami pun tidak menarik perhatian mereka.

Menjadi nelayan adalah pilihan hidup mereka. Penghasilan mereka dari pekerjaan sebagai nelayan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Tentu saja banyak yang menarik perhatian kami, karena banyak yang begitu unik di mata kami dan di mata orang asing, tetapi bagi masyarakat setempat, pemandangan tersebut hanyalah pemandangan biasa, karena sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Saya merasa pemandangan di sana menjadi menarik karena lingkungannya yang sederhana dan masih alami (natural).





Sebuah perahu nelayan tampak seolah-olah menunggu ''tuan''-nya. (Foto: Abang Acid)




Beberapa nelayan bersiap-siap melaut pada saat matahari baru saja muncul dari balik cakrawala. Para nelayan itu seolah-olah tidak memperdulikan kehadiran kami. (Foto: Abang Acid)




Kami kemudian kembali ke homestay tempat kami menginap. Kami sarapan bersama di teras yang menghadap ke laut yang tenang. Setelah sarapan, Abang Acid memutuskan pergi mandi-mandi di laut, sedangkan saya sendiri agak malas hari ini, sehingga saya memilih tinggal di homestay.

Kebetulan di tempat kami menginap juga ada turis Jerman, sepasang suami isteri berusia tua bersama seorang cucunya. Wanita tua yang berusia sekitar 60 tahun asal Jerman itu memilih pergi ke pantai untuk snorkling. Kurang lebih satu jam kemudian barulah ia kembali. Mungkin itu merupakan kesempatan langka atau mustahil ia lakukan di Jerman. Pada sore hari, kami melihat mereka pergi berperahu bersama cucu mereka yang bernama Adam.



Setelah sarapan dan mandi pagi, kami bersepeda ke desa terdekat. Di desa nelayan ini terdapat pelabuhan rakyat Pangrangluhu. Pelabuhan rakyat ini adalah pelabuhan bagi masyarakat, khususnya untuk mengakomodasi kapal nelayan, baik kapal besar maupun kapal kecil.




Inilah papan nama Pelabuhan Rakyat Pangrangluhu, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba. (Foto: Abang Acid)





Kami bersepeda keliling desa di atas jalanan berpasir yang di antara pagar hidup ratusan pohon kelapa dan pagar rumah penduduk setempat. (Foto: Abang Acid)


Inilah peta lokasi Bira yang menunjukkan betapa strategisnya lokasi Bira di ujung-selatan pulau Sulawesi. Bira juga sesungguhnya tempat yang sangat bagus untuk menyelam, tetapi ketenarannya kalah dari Bunaken, tempat menyelam di Manado, Sulawesi Utara. Kami dengar beberapa waktu belakangan ini ada peningkatan kunjungan wisatawan di Bira, khususnya yang berminat menyelam. Sayangnya, infrastruktur di Bira masih perlu ditingkatkan kualitasnya dan toko-toko peralatan menyelam masih kurang.




Kita berharap keaslian, keasrian, dan pesona Desa Pangrangluhu ini dapat dipertahankan, sehingga para pelancong dapat menikmati sesuatu desa yang relatif masih ''perawan.''




Inilah Pelabuhan Bira yang lautnya tenang dan jernih. Kalay feri di sini sangat mirip dengan feri di Penang, Malaysia. Pelabuhan Bira cukup dekat dari Pulau Selayar. Kapal-kapal feri bukan hanya mengangkut penumpang orang, melaikan juga kendaraan mobil dan sepeda motor. (Foto: Abang Acid)


Kami sengaja memarkir salah satu sepeda kami sebagai latar depan gambar pelabuhan Bira dengan latar belakang salah satu kapal feri yang kebetulan bersandar pada hari itu. (Foto: Abang Acid) 



Di pelabuhan Bira banyak perahu phinisi yang tampak tertambat. Pemandangan ini pun kami abadikan sebagai sebuah kenang-kenangan perjalanan kami ke Bira, Bulukumba. (Foto: Abang Acid)




Ketika berkunjung ke kampung nelayan, kami melihat banyak nelayan yang baru saja pulang dari melaut. Kami berharap pendapatannya hari ini cukup untuk memberi makan atau menghidupi keluarga mereka. Kami lalu berbincang-bincang dengan salah satu keluarga nelayan. (Foto: Abang Acid)



Mereka menawarkan kepada kami kepala muda, tetapi kami menolaknya secara sopan. Mereka lalu menceritakan bahwa bekerja sebagai nelayan cukup berat, apalagi sebagai nelayan kecil, mereka harus bersaing dengan kapal nelayan besar. (Foto: Abang Acid)




Kemudian kami mengunjungi tempat di mana terdapat sebuah perahu phinisi yang sedang dalam perbaikan. Perahu hijau ini milik seorang Belanda yang sedang dalam perbaikan. (Foto: Abang Acid)




Kami diizinkan masuk ke dalam ruangan perahu. Kami melihat adanya tanda-tanda kemewahan di kapal phinisi ini. Di perahu phinisi ini ternyata ada kamar tidur, ada ruang makan, ada kamar mandi modern, ada listrik, dan kelak juga pasti air bersih. (Foto: Abang Acid) 














Pelepasan kapal ke laut setelah diperbaiki merupakan pekerjaan yang cukup besar dan tentu saja memerlukan keterampilan dan seni yang cukup tinggi. Kami diberitahu bahwa perahu itu diangkut ke atas menggunakan katrol mekanis sederhana dan menggunakan puluhan batang pohon kelapa yang berfungsi sebagai ban yang lepas, sehingga perahu dapat diluncurkan dari laut ke darat atau sebaliknya dari darat ke laut. (Foto: Abang Acid)





Aku mengagumi otot kuat laki-laki yang sedang bekerja ini. Dengan peralatan modern, mungkin dibutuhkan biaya ribuan ringgit Malaysia untuk dapat menyelesaikan pekerjaan seperti dilakukan laki-laki ini. Anak saya, Raqim, pun pasti tak bisa melakukan pekerjaan keras seperti ini, ha..ha..ha... (Foto: Abang Acid)



Tiga bocah laki-laki ini tampak begitu senang ketika mereka kami minta tersenyum saat difoto. (Foto: Abang Acid) 



Anak-anak, dimana pun berada, selalu bermain dan bergembira, tak terkecuali di pantai. Lihatlah, mereka begitu senang bermain dan mandi-mandi di pinggir pantai. Mereka pun sangat gembira ketika kami memperlihatkan foto mereka dari tustel digital kami, sehingga tercipta interaksi dan keakraban di antara kami. (Foto: Abang Acid)





Beberapa bocah dan gadis muda juga tampak tidak memiliki beban dan bahkan mempersilakan diri mereka difoto ketika kami meminta kesediaan mereka untuk difoto. (Foto: Abang Acid)



Ini adalah mesin atau alat pemecah dan menghancur es. Sayangnya tidak ada kegiatan pemecahan es pada saat itu, sehingga kami tidak bisa menyaksikan dan memotret saat peralatan ini bekerja. Di Tumpat, Malaysia, di mana saya dibesarkan, kami juga menggunakan peralatan penghancur atau pemecah es di rumah. Kebetulan ayah saya juga seorang agen penjual ikan. Es yang akan diangkut dan dikirim ke pasar harus disimpan dalam tempat khusus yang diisi dengan es yang telah dihancurkan. Ketika itu, kami menggunakan tenaga manual untuk membunyikan mesin. Suara mesin dan suara es yang sedang digiling atau dihancurkan cukup besar, sehingga dapat membangunkan orang yang sedang tertidur nyenyak sekalipun. (Foto: Abang Acid)



Kami harus naik ke atas tebing untuk dapat mengabadikan gambar ini. Sungguh suatu pemandangan yang indah dan kami pun begitu bebas memotret berbagai pemandangan yang ada di pinggri pantai dan di laut lepas. (Foto: Abang Acid)



Sejumlah perahu tampak tertambar di pinggir pantai di sekitar pelabuhan Bira. Bulukumba. (Foto: Abang Acid)



Puas dengan waktu kita siklus-tentang, itu untuk makan siang. Kami sepakat untuk memanjakan diri kita sendiri dan melanjutkan ke Bira Beach Hotel terletak di sisi barat Bira. Sebuah makan siang yang besar, pemandangan indah lagi. (Foto: Abang Acid)






Ini adalah salah satu pemandanga indah yang kami abadikan saat makan siang di Bira Beach Hotel. Sayangnya, kami harus meninggalkan Bira besok untuk melanjutkan tur bersepeda kami keliling Sulawesi Selatan. Seperti yang saya katakan di postingan saya sebelumnya, akan sangat sulit untuk berlama-lama di sebuah tempat, karena kami harus melajutkan perjalanan dan itulah tujuan kami sesungguhnya. (Foto: Abang Acid)


GOODBYE BIRA

[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]

Tidak ada komentar: