Dua buah sepeda kami diparkir sebagai latar depan taman kota Bulukumba yang di tengah-tengahnya ada tugu perahu phinisi. Ini adalah salah satu landmark Kota Bulukumba. Setelah mengabadikan taman tersebut, kami melanjutkan perjalanan menuju Tanjung Bira dan memotret beberapa momen menarik. (Foto: Abang Acid)
------------------------------------
Kenangan Perjalanan ke Bira, Bulukumba (bagian-1)
DAY 3 - BANTAENG TO BIRA
Oleh : Ahmad Ramli Zakaria
Foto-foto: Abang Acid
Saturday, January 24, 2009
http://cyclingtales.blogspot.com/2009/01/day-3-bantaeng-to-bira.html
(Pengantar: Tulisan dan foto2 ini saya rekam dari http://cyclingtales.blogspot.com/ yang diposting oleh ARZ alias Ahmad Ramli Zakaria. Pria yang bekerja sebagai konsultan dan menetap di Subang Jaya, Selangor, Malaysia, ini mengaku penggemar tur sepeda dan Indonesia merupakan salah satu destinasi atau tempat yang paling digemarinya. Selain di Sulawesi, ARZ juga sudah melakukan tur ke daerah Minangkabau, Jogjakarta - Cilacap, Jogja - Merapi - Borobudur, serta melancong ke Flores - Bali pada 2010. ''Sulawesi Selatan membawa banyak kenangan manis bagi saya dan merupakan tur yang terlama bagi saya,'' katanya kepada penulis melalui komentar di blognya, http://cyclingtales.blogspot.com/2009/01/day-5-just-bira.html. Tulisannya sebenarnya bersambung beberapa kali yang dibuat dari hasil perjalanannya ke beberapa kabupaten di Sulawesi selama 14 hari. Saya telah meminta izin kepada beliau melalui komentar di blognya untuk mengambil dua bagian tulisannya-dalam bahasa Inggris-yang kemudian saya terjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia ke blog ini. Tulisan bagian pertama ini adalah perjalanan hari ketiga, sedangkan tulisan bagian kedua adalah perjalanan hari keempat. -Asnawin)
Pada hari ketiga tur kami di Sulawesi, kami melanjutkan perjalanan dari Bantaeng ke Bira, Bulukumba. Jaraknya kurang lebih 70 kilometer. Kami berharap dapat tiba di pantai Tanjung Bira dan menyaksikan pemandangan yang indah.
Hotel Alam Jaya di Bantaeng tempat kami menginap semalam tidak menyiapkan sarapan, sehingga kami berangkat lebih awal, bersepeda sebelum matahari terbit. Jarak dari kota Bantaeng ke ibukota Bulukumba kurang lebih 30 kilometer.
Perjalanan relatif lancar. Yang kami tahu dan lihat, kota Bulukumba jauh lebih besar dibanding kota Bantaeng. Kami tiba di pusat kota Bulukumba saat matahari mulai naik dan mengabadikan sebuah taman kota yang di tengah-tengahnya ada tugu perahu phinisi. Kami tidak tahu apa nama taman tersebut, tetapi taman itu mungkin merupakan landmark kota Bulukumba.
Setelah melewati kota Bulukumba, kami pun memasuki Kecamatan Bontobahari. Di sini kami menemukan sebuah kantor balai nikah. Rekan kami, Abang Acid kemudian mengabadikan tulisan yang tertera di bagian luar kantor tersebut. Bangunan ini cukup menonjol di kota ini.
Saya belum pernah melihat bangunan seperti itu dalam beberapa tur kami, termasuk di Malaysia dan juga di daerah lain di Indonesia. Mungkin ini hanya ditemukan di Sulawesi. Tetapi, saya tidak punya kepentingan untuk mengetahui hal tersebut lebih lanjut.
Kami kamudian melanjutkan perjalanan setelah melakukan beberapa pemotretan, tetapi sejauh ini kami belum menemukan warung makan, sampai kemudian kami melihat sebuah warung yang di luarnya tertulis Mie Bakso.
Rasanya lucu juga, karena saya sudah mengunjungi beberapa kota di Indonesia, tetapi saya belum pernah mencicipi makanan yang bernama mie bakso. Apa boleh buat, kali ini kami tidak punya pilihan. Rekan kami Abang Acid tampak menikmati mie bakso ini, tetapi entah mengapa saya tidak bisa menikmatinya seperti Abang Acid. Saya juga tidak cukup berani untuk menambah selera makan saya dengan menambah kecap atau sambel.
Setelah makan bakso, kami kemudian melanjutkan perjalanan melewati daerah pantai. Kami beberapa kali singgap untuk mengabadikan gambar perahu yang catnya cukup terang di siang hari.
Dalam perjalanan menuju Bira, kami melihat ada penjual mangga di tepi jalan dan kami pun singgah untuk beristirahat sejenak sambil menghilangkan dahaga. Kami diberitahu bahwa ada jalan yang lebih dekat menuju Bira, tetapi kami lebih memilih jalan utama untuk dapat lebih menikmati perjalanan ini, meskipun jaraknya cukup jauh.
Abang Acid mengambil gambar saya, bersepeda di antara sejumlah kendaraan. Di depan saya ada sebuah angkutan kota yang oleh masyarakat setempat disebut pete'-pete'. Di sini kami harus berhati-hati, karena angkutan kota itu bisa saja tiba-tiba berhenti setiap saat ke tepi jalan untuk menurunkan dan atau mengambil penumpang. Inilah salah satu seninya berpeda di antara seliweran kendaraan yang lalu lalang di jalan raya.
Ketika melanjutkan perjalanan, kami tiba di sebuah tempat yang pemandangannya cukup unik, sehingga kami memutuskan berhenti untuk mengambil gambar dan untuk mengamati kegiatan.
Di sisi jalan banyak batu bertumpuk dan banyak pekerja yang memecahkan batu secara manual dengan tangan mereka dengan menggunakan palu. Sungguh pemandangan yang luar biasa.
Yang menarik, pekerjaan memecah batu ini bukan hanya dilakukan oleh laki-laki dewasa, melainkan juga wanita dan anak-anak. Melihat tumpukan batu yang ada, kami memperkirakan mereka butuh waktu cukup lama untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Inilah pekerjaan mereka untuk menyambung hidup.
Apakah ini tempat penampungan sementara atau tempat orang yang disebut rumah? Kami tidak bertanya. Dan ini adalah jenis kenangan yang sering tergores panjang dalam diriku, dan selamanya bersyukur atas apa yang saya miliki.
Kami kemudian melanjutkan perjalanan dan tiba di sebuah pertigaan jalan yang di tengah-tengahnya ada tugu perahu phinisi. Kami pun berfoto secara bergantian di tugu tersebut. Dari tempat ini masih ada sekitar 15 kilometer jauhnya dari pantai Tanjung Bira.
Sekitar 5 km dari Bira, ada sekitar 1 km jalan yang kami lalui dengan menurun, di mana di sisi kiri kami dan kadang-kadang di depan kami sesuai arah belokan jalan, terlihat laut yang biru. Kami tak perlu capek-capek mengayuh sepeda karena jalanannya menurun. Mendekati pelabuhan Bira, kami dapat menyaksikan kapal phinisi yang cukup besar dan nyata di depan kami.
Setelah tiba di Bira, kami pun mulai mencari penginapan. Kami ingin menginap di hotel atau penginapan yang menghadap ke laut. Kami kemudian mendapatkan informasi tentang sebuah penginapan kecil yang menghadap ke laut.
Kami memilih salah satu hotel yang cukup bagus dan menghadap langsung ke laut. Kami ingin menginap selama dua malam di tempat ini untuk menikmati suasana di Bira dan mengetahui keadaan di sekitarnya, termasuk kondisi atau suasana di perkampungan setempat.
Kami pun mengucapkan ''Selamat Datang di Bira''. Kami akan berendam di suasana malam, makan malam di teras, dan menyaksikan matahari terbit esok hari.
[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]
2 komentar:
Sdr Asnawin,
Saya cukup senang dengan terjemahan yang sdr sudah lakukan. Sememangnya saya punyai pengalaman yang cukup selesa masa tur saya ke SULSEL. Penduduk setempat dimana juga saya singgah, amat baik sekali. 14 hari rasanya tidak mencukupi. Masih banyak tempat yang tidak dapat kami kunjungi.
Pak ARZ, terima kasih atas kunjungan dan komentarnya di blog ini. Mudah-mudahan masih ada kesempatan lagi untuk berkunjung ke Sulawesi Selatan dan khususnya ke Bulukumba.
Posting Komentar