Saat menerima undangan via telepon, Kamis pekan lalu, 10 Maret 2011, untuk menghadiri pertemuan Forum Pembaca Kompas yang akan diadakan di Hotel Santika Makassar, Minggu, 13 Maret 2011, saya belum tahu diundang dalam kapasitas sebagai apa. Pada saat registrasi di Hotel Santika Makassar, barulah saya tahu bahwa saya diundang dalam kapasitas sebagai penulis. (Foto: Asnawin)
-----------------------
Catatan dari Pertemuan Forum Pembaca Kompas di Makassar
Oleh: Asnawin
Saat menerima undangan via telepon, Kamis pekan lalu, 10 Maret 2011, untuk menghadiri pertemuan Forum Pembaca Kompas yang akan diadakan di Hotel Santika Makassar, Minggu, 13 Maret 2011, saya belum tahu diundang dalam kapasitas sebagai apa.
Pada saat registrasi di Hotel Santika Makassar, Minggu, 13 Maret 2011, barulah saya tahu bahwa saya diundang dalam kapasitas sebagai penulis. Saat itulah saya tahu bahwa panitia juga mengundang anggota Forum Pembaca Kompas Makassar dan para penulis untuk menghadiri acara bertajuk Forum Pembaca Kompas Kompas Audience Engagement (FPK-KAE).
Dalam acara yang didahului dengan door prize dan serah terima Forum Pembaca Kompas (FPK)-9 kepada FPK-10 Makassar, dilakukan dialog yang menampilkan tiga pembicara dari Kompas, yakni St Sularto, Abun Sanda, dan Dedy Pristiwanto. Dialog dipandu Titus Kitot.
Dalam sesi tanya jawab, saya langsung tampil sebagai penanya dan penanggap pertama. Saya katakan Kompas terlalu sering memuat tulisan dari orang yang sama, sehingga ada kejenuhan dari pembaca dan juga terkesan kurang adil.
Saya juga mengatakan bahwa saya beberapa kali menemukan berita yang dimuat di harian Kompas tidak lengkap unsur 5W+1H, terutama berita-berita wawancara.
”Kadang-kadang ada berita Kompas yang tidak menyebutkan kapan dan dimana wawancara dilakukan,” kata saya.
Beberapa peserta lain juga mengemukakan tulisan yang mereka kirim ke Kompas jarang dimuat, bahkan tidak sedikit di antara peserta mengaku tulisannya belum pernah dimuat di harian Kompas.
Peserta juga mengeritik Kompas yang terlalu sering memuat tulisan opini dari beberapa orang yang sama dan umumnya berasal dari Jakarta dan pulau Jawa, sementara penulis dari luar Jawa, terutama dari kawasan timur Indonesia jarang dimuat tulisannya.
Mereka juga meminta penjelasan dan kiat-kiat agar tulisan opini mereka dapat dimuat di Kompas, serta mengusulkan agar Kompas mengadakan pelatihan khusus bagi penulis.
Dari sisi pelayanan, para anggota FPK Makassar mengaku cukup puas, tetapi ada juga yang mengaku koran mereka kerap terlambat diantar ke rumah atau kerap diantar dua edisi berturut-turut pada hari berikutnya, sehingga mereka merasa dirugikan, karena mereka berharap bisa membaca harian Kompas pada pagi hari sebelum beraktivitas.
Mengenai isi dan rubrik yang disajikan Kompas, para peserta umumnya juga mengaku cukup puas, tetapi mereka berharap ada ruangan atau halaman khusus berita-berita Makassar dan sekitarnya, serta menambah porsi berita-berita pendidikan.
Mantan Sekda Provinsi Sulsel HM Parawansa yang mengaku berlangganan Kompas sejak tahun 1971, mengeritik Kompas karena dianggap kurang ”berani” seperti koran lain.
Esais Asdar Muis RMS juga mengeritik Kompas karena memakai kata ”mirip” ketika dan bukan memakai ”diduga” terhadap Gayus Tambunan ketika tertangkap kamera sedang menonton pertandingan tenis di Bali, padahal statusnya waktu itu adalah tahanan.
Asdar Muis juga mengeritik foto-foto yang ditampilkan pada halaman satu, karena menganggap jarang sekali ada foto yang benar-benar berkualitas dari sisi jurnalistik.
Peserta lain mengatakan, Kompas pernah mendapat penghargaan sebagai pengguna bahasa yang baik, tapi kelihatannya ada penurunan dalam beberapa tahun terakhir dari segi kualitas bahasa.
Dosen Unhas, Prof Nurhayati Abbas, yang mengaku membaca kompas sejak akhir tahun 1966, mengusulkan agar Kompas menambah artikel mengenai lingkungan hidup.
Menanggapi pertanyaan, kritikan, dan usulan peserta pertemuan, Wakil Pemimpin Umum Kompas, St Sularso, mengatakan, Kompas sama sekali tidak melihat siapa dan dari daerah mana orang yang mengirim tulisan ke Kompas, jadi tidak unsur pilih kasih dan sebagainya.
”Kompas setiap hari menerima 70 sampai 80 tulisan, tapi yang dimuat hanya 5-6 tulisan,” ungkapnya.
Dia menambahkan, dalam hal isi pemberitaan, Kompas tidak lagi cover booth side, tapi cover all side. Tentang pemberitaan Kompas yang dinilai ”kurang berani”, Sularso mengatakan Kompas bukan kurang berani, melainkan selalu berhati-hati.
”Kami dalam posisi selalu hati-hati,” ungkapnya sambil tersenyum.
Abun Sanda yang pernah menjadi wartawan harian Fajar di Makassar dan kini menangani manajemen bisnis Kompas, mengaku pernah bertugas selama 22 tahun di bagian redaksi Kompas.
”Saya sering lihat kerja teman-teman di desk opini. Saya juga sering diskusi dengan penulis-penulis ternama dan mereka mengaku setiap hari membaca artikel opini Kompas. Tulisan yang bagus itu bahasanya sederhana, tapi gagasannya luar biasa. Gagasan itu sangat penting. Kadang-kadang tulisannya bagus, bahasanya sangat bagus, tapi tidak jelas apa idenya. Orang-orang besar sudah tidak lagi berpikir soal gaya menulis, yang penting idenya,” tutur Abun.
Dia mengungkapkan bahwa manajemen bisnis Kompas kini mencoba menawarkan sistem berlangganan selama 15 tahun ke depan dengan imbalan emas 15 gram.
Makassar, 14 Maret 2011
Catatan:
- Artikel ini memang tidak ada hubungannya dengan Kabupaten Bulukumba, jadi saya memuatnya di blog ini sebagai pendiri dan pengelola blog, serta sebagai orang yang lahir dan besar di Bulukumba
- Artikel ini juga saya muat di Kompasiana.com (http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2011/03/14/catatan-dari-pertemuan-forum-pembaca-kompas-di-makassar/)
[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar