
PASAR CEKKENG. Beginilah suasana Pasar Cekkeng, di daerah pantai Kampung Ela-ela, Kecamatan Ujungbulu, Kabupaten Bulukumba, Minggu, 20 Maret 2011. Puluhan tahun silam di Pasar Cekkeng, hanya beberapa orang yang berjualan sambil jongkok (cekkeng), dimulai pada subuh hari dan berakhir paling lambat pukul 07.00 wita. (Foto: Asnawin)
Pasar Cekkeng Bulukumba
Oleh: Asnawin
Seorang perempuan tua memakai kebaya dan kerudung berjalan menembus pagi buta dan melawan hawa dingin subuh hari. Di atas kepalanya, ada sebuah bakul yang cukup besar berisi beberapa sisir pisang mentah. Kedua tangannya juga memegang masing-masing dua sisir pisang berukuran sedang.
Di belakangnya, seorang bocah perempuan yang tidak lain cucu dari si perempuan tua itu, berjalan mengikuti sambil membawa masing-masing satu sisir pisang di tangan kiri dan di tangan kanannya.
Kedua perempuan tua dan muda itu berjalan kaki dari Kampung Tabbuttu' menuju pesisir pantai Kampung Ela-ela, di Kecamatan Ujungbulu, Kabupaten Bulukumba. Mereka berdua kemudian berhenti di sebuah pertigaan jalan. Saat itu, matahari belum terbit. Mungkin masih satu jam lagi baru terbit.
Di pertigaan jalan itu sudah ada dua perempuan. Seorang perempuan tua dan seorang lagi perempuan setengah baya. Keduanya berjongkok (dalam bahasa Bugis setempat disebut cekkeng) di atas tanah di tepi jalan raya sambil mengatur barang dagangannya.
Si perempuan tua bersama si bocah yang baru tiba, kemudian mengucapkan salam dan berbasa-basi, tetapi tetap sambil melakukan aktivitas, mulai dari meletakkan pisang di atas tanah, menurunkan bakul dari kepalanya, hingga mengatur barang jualannya.
Tak lama kemudian, beberapa penjual yang semuanya perempuan, juga berdatangan dan mereka semua jongkok berjejer di tepi jalan sambil menunggu pembeli. Barang dagangan mereka umumnya berupa kue-kue dan pisang mentah untuk sarapan, tetapi ada juga yang menjual sayur-sayuran dan gula merah yang dibungkus daun pisang.
Jumlah penjual hanya belasan orang. Pembeli yang datang juga tidak banyak dan umumnya mereka baru pulang dari masjid melaksanakan salat subuh berjamaah. Tawar-menawar antara pembeli dan penjual biasanya tidak lama, karena harga kue, pisang mentah, sayur-sayuran, dan gula merah yang ditawarkan oleh penjual sangat standar.
Aktivitas jual beli di pasar itu hanya berlangsung sekitar satu setengah jam. Dimulai sekitar pukul 05.00 Wita dan berakhir sekitar pukul 06.30 Wita. Si bocah perempuan yang mengikuti neneknya menjual pisang mentah itu bahkan masih harus ke sekolah dan belum terlambat mengikuti pelajaran pertama.
Begitulah suasana pasar subuh di pesisir pantai Kampung Ela-ela, Kecamatan Ujungbulu, Kabupaten Bulukumba, puluhan tahun silam.
Pasar subuh itu oleh masyarakat setempat diberi nama Pasar Cekkeng (masyarakat Bugis setempat menyebutnya dengan lafaz Pasa' Cekkeng). Kata cekkeng (yang berarti jongkok) dipakai karena para penjual di pasar subuh itu umumnya hanya berjongkok saat menjajakan jualannya.
''Saya tidak bisa melupakan masa-masa itu,'' kata si bocah perempuan yang kini telah berusia lebih dari 30 tahun dan meminta namanya tidak disebutkan, kepada penulis ketika berbincang-bincang beberapa waktu lalu.
Pisang mentah ketika itu cukup laris, karena masyarakat Bulukumba pada puluhan tahun silam sangat senang menggoreng pisang pada pagi hari untuk dijadikan sebagai sarapan sebagai pasangan dari teh atau kopi hangat sebelum ke kantor, ke sekolah, atau sebelum melakukan aktivitas.
Makan pisang goreng hangat boleh dikatakan merupakan tradisi bagi masyarakat Bulukumba, terutama bagi masyarakat Bulukumba timur. Setiap hari mereka menggoreng pisang untuk dijadikan penganan dan dimakan dalam keadaan hangat, baik untuk dimakan bersama anggota keluarga, maupun untuk disajikan kepada tamu.
PASAR CEKKENG. Suasana Pasar Cekkeng, di daerah pantai Kampung Ela-ela, Kecamatan Ujungbulu, Kabupaten Bulukumba, saat saya rekam pada hari Minggu, 20 Maret 2011, jauh berbeda dibandingkan suasana Pasar Cekkeng puluhan tahun silam. (Foto: Asnawin)
Dua Kali Pindah
Penulis juga setiap hari melewati Pasar Cekkeng saat berangkat ke sekolah di SD Negeri 10 Ela-ela, antara tahun 1974 sampai dengan tahun 1980. Penulis tidak tahu kapan Pasar Cekkeng itu mulai ada, karena pada tahun 1974 ketika penulis masuk sekolah di SD, Pasar Cekkeng itu sudah ada.
Beberapa orang tua yang menetap di sekitar Kampung Ela-ela juga tidak bisa memastikan kapan orang-orang mulai berjualan di tepi jalan pada subuh hari di tempat itu. Yang pasti, tempatnya sudah dua kali berpindah.
Awalnya, para penjual menggelar jualannya di pertigaan jalan Dato Tiro dan jalan menuju pesisir pantai yang melewati SD Inpres 172 Ela-ela. Kemudian berpindah sekitar 300 meter ke belokan jalan pesisir pantai yang juga masih sejajar dengan jalanan di depan SD Inpres 172 Ela-ela.
Di era pemerintahan Bupati Bulukumba, Patabai Pabokori, pasarnya dipermanenkan dan diberi tempat khusus agak ke dalam di tanah tumbuh di pesisir pantai Kapung Ela-ela. Pasar Cekkeng yang dulunya hanya tempat berjualan kue-kue untuk sarapan itu, kini telah berubah menjadi Pasar Tradisional Cekkeng, Kecamatan Ujungbulu, Kabupaten Bulukumba.
PASAR CEKKENG. Sebuah tembok berukuran tinggi satu setengah meter dan lebar tiga meter bertuliskan Pasar Tradisional Cekkeng, Kecamatan Ujungbulu, kini berdiri kokoh di Pasar Cekkeng, Kampung Ela-ela, Bulukumba. (Foto: Asnawin)
Pasar Tradisional
Kini, Pasar Cekkeng itu telah berubah menjadi pasar tradisional. Sebuah tembok berukuran tinggi satu setengah meter dan lebar tiga meter bertuliskan Pasar Tradisional Cekkeng, Kecamatan Ujungbulu, kini berdiri kokoh di Pasar Cekkeng, Kampung Ela-ela, Bulukumba.
Kini bukan hanya kue-kue yang dijual di Pasar Cekkeng, melainkan hampir semua kebutuhan rumah tangga, mulai dari kue-kue, sayur-sayuran, buah-buahan, ikan, ayam, dan daging mentah, hingga beras, panci, dan perabot rumah tangga lainnya.
Memang masih bisa ditemui penjual yang menjajakan jualannya sambil berjongkok, tetapi jumlahnya hanya beberapa orang, karena kini sudah banyak lapak, bahkan di bagian dalam sudah ada tempat berjualan yang semi permanen.
JONGKOK. Memang masih bisa ditemui penjual yang menjajak jualannya sambil berjongkok, tetapi jumlahnya hanya beberapa orang, karena kini sudah banyak lapak, bahkan di bagian dalam sudah ada tempat berjualan yang semi permanen. (Foto: Asnawin)
Penulis sempat tersenyum ketika melihat masih ada penjual yang menjajakan jualannya sambil berjongkok, Minggu, 20 Maret 2011, karena terkenang dengan suasana puluhan tahun silam. Suasananya kini sudah jauh berbeda. Kini pasar tradisional itu tampak agak jorok dan tidak beraturan.
ATUR JUALAN. Seorang perempuan tampak mengatur barang-barang jualannya di tepi jalanan masuk menuju Pasar Tradisional Cekkeng, Kecamatan Ujungbulu, Kabupaten Bulukumba, Minggu, 20 Maret 2011. (Foto: Asnawin)
Masjid Al-Ikhlas
Selain sudah semi permanen, Pasar Cekkeng kini juga sudah memiliki masjid. Melihat ukurannya, sebenarnya tidak cocok disebut masjid, karena hanya mampu menampung puluhan orang untuk berjamaah, sehingga sebenarnya lebih cocok disebut mushallah. Masjid ini tentu saja sangat membantu para pedagang, karena sebagian pedagang sudah datang ke tempat itu sejak sekitar pukul 03.00 dinihari.
''Saya biasanya datang jam empat subuh,'' ungkap Haji Nani, salah seorang penjual ayam potong.
MASJID Al-IKHLAS. Selain sudah semi permanen, Pasar Cekkeng kini juga sudah memiliki masjid. Masjid ini tentu saja sangat membantu para pedagang, karena sebagian pedagang sudah datang ke tempat itu sejak sekitar pukul 03.00 dinihari. (Foto: Asnawin)
[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]
1 komentar:
http://tenryjail.blogspot.com/2011/08/pasar-cekkeng.html?showComment=1364173566251#c637210027611529219
Posting Komentar