Langsung ke konten utama

Amma towa, melihat masa depan (2-habis)

BERDUKA. Masyarakat adat Tanah Toa Kecamatan Kajang Bulukumba berduka setelah Ammatoa Puto Bekkong wafat Kamis dinihari Wita, 22 Juli 2010. (FOTO SYAMSU RIZAL/FAJAR) ------- 




----------------------------------------


Kunjungan ke Kawasan Adat Kajang, Bulukumba (2-habis): 

Amma towa, melihat masa depan


(Ini sebenarnya artikel lama, tepatnya dimuat oleh Majalah Tempo, pada edisi 28 Mei 1988 -http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1988/05/28/SEL/mbm.19880528.SEL25047.id.html-, tetapi karena banyak pelajaran yang bisa dipetik di dalamnya, maka kami memuat ulang di blog ini secara utuh)

KALAU Anda lahir di daerah Kajang, Sulawesi Selatan, tumbuh dalam rumah panggung, bertetangga dengan orang yang selalu berpakaian hitam-hitam dan memakai ikat kepala hitam yang hidup sederhana, mungkin Anda pun tergoda membuat penelitian atau skripsi tentang mereka.

Prof Dr Mattulada, kini rektor Universitas Tadulako, Palu, melakukannya. Ma'mur Djama cucu Karaeng Kajang, memilih obyek yang sama. A. Saddiq Kawu telah meneliti soal agama dan struktur sosial mereka (membandingkannya dengan masyarakat Towani Tolotang di daerah Sidrap).

Seorang ahli ilmu bangsa-bangsa dari Prancis, Christian Pelras, pun datang pada 1968. Di Buku Tamu Kepala Kecamatan Kajang, ia menulis: "Pasang nenek moyang, yang artinya begitu penting untuk zaman modern, janganlah dilupakan oleh cucunya. Mereka wajib menjaga bukti-bukti bersejarah yang disampaikan turun-temurun sampai sekarang. Itu pusaka, bukan hanya bagi mereka sendiri, tetapi bagi seluruh Indonesia, bahkan bagi seluruh umat manusia."

Kalau Anda orang luar dan datang ke sana, tentu Anda akan tergoda ingin tahu macam orang Kajang sebenarnya. Mungkin Anda tahu Badui, dengan pu'un-nya. Di Kajang ada Amma Towa, seorang pemimpin adat, seorang bapak bagi warganya. Adalah Totowa Mariolo yang mereka akui sebagai Amma Towa pertama.

Semasa Totowa Mariolo, tokoh yang tak jelas masa hidupnya, seluruh kepemimpinan adat berpusat pada dirinya. Masa itu, kata para ahli yang meneliti, adalah tahap pertama adat Kajang, yang juga dikenal sebagai adat Butta. Masyarakat berkembang, adat pun kian rumit.

Di masa-masa berikutnya, hanya seorang Amma Towa dirasa tak cukup guna mengatur masyarakat Kajang. Lalu dibentuklah susunan pembantu. Galla sebutannya. Lebih lazim disebut Adat Lima, sebab terdiri atas lima jabatan Galla yang berbeda tugas.

Ada Galla Pantama, Galla Putto, Galla Kajang, Galla Lombo, dan Galla Anjuru. Galla Pantama berperan sebagai halnya perdana menteri suatu negara. Dialah yang mengetuai sidang para Galla. Sedang Galla Putto, yang hampir selalu mendampingi Amma Towa, agaknya tepat diibaratkan sebagai menteri sekretaris negara. Untuk melancarkan pekerjaan, pada periode ini pula lahir jabatan Sanro Kajang dan Kadaha.

Ketika kemudian kebutuhan meningkat, muncul jabatan-jabatan baru yang menjadikan struktur adat bercabang dan beranting. Di antaranya adalah pengangkatan Karaeng Kajang sebagai pemimpin pemerintahan tertinggi (lihat artikel pertama). Walaupun, dalam soal adat ia tetap harus taat kepada Amma Towa. Semua ini dibakukan dalam ketentuan lisan, dalam pasanga ri Kajang.

Ini memang hanya adat. Bukan kerajaan. Tak ada jabatan yang diwariskan, biarpun berstatus Amma Towa. Sewaktu Amma Towa terakhir, Puto Cacong, meninggal Februari lalu, awan berkabung pun menggelayut di antara para warga. Tak ada lagi "bapak", tak ada lagi tiang dan peneduh buat warganya. Para wanita, tutur seorang pejabat di Bulukumba, "hanya bersarung hitam saja selama empat puluh hari empat puluh malam." Berduka.

Mereka merasa bahwa Amma Towa adalah seorang luar biasa. Dan status itu tak bisa diwariskan begitu saja kepada anaknya. Memilih pengganti, sebuah pekerjaan sulit. Sulit? Memang, kata Galla Putto Beceng, untuk menjadi Amma Towa tidak mudah.

Para peneliti telah merinci sejumlah sifat yang harus dimiliki oleh seorang Amma Towa. Ia haruslah seorang jujur - tak berdusta, tidak menipu, tak pula pernah merusakkan nama baik dirinya sendiri atau masyarakatnya. Ia juga harus adil, sabar, pisona (tulus dan pasrah pada ilahi). Lebih dari itu, Amma Towa harus menguasai pesan-pesan nenek-moyang (pasang ri Kajang) yang menjadi norma masyarakatnya. Sebab, itulah yang menjadi pegangan baginya buat memimpin. Dan yang tak kurang penting, masyarakat harus mengenalnya sebagai seorang yang memiliki kesaktian, mempunyai kemampuan berhubungan dengan yang gaib.

Untuk menunjuk orang macam begitu, musyawarah saja tak mencukupi. Hanya yang mendapat tanda-tanda dari Turie A'ranna, menurut Galla Putto, yang berhak menjadi Amma Towa. Itu bisa segera terjadi setelah kematian Amma Towa sebelumnya. Tapi juga bisa bertahun-tahun, bahkan berpuluh tahun.

Setelah Amma Towa pendahulunya wafat pada 1932, baru 34 tahun kemudian, pada 1966, Puto Cacong terpilih menjadi penggantinya. Selama kekosongan itu, tugas seorang Amma Towa dijalankan oleh pejabat yang diangkat oleh musyawarah adat.

Adapun tanda-tanda dari Torie A'ranna diperoleh dengan jalan mistis. Di antaranya dengan melepas ayam dan kerbau yang telah dimantrai ke dalam hutan. Suatu saat kelak, ayam dan kerbau itu akan kembali ke ilalang embaya (kampung dalam Desa Tana Towa). Siapa yang dihinggapi ayam itu di bahunya, atau didatangi kerbau tadi, orang itu mempunyai peluang menjadi Amma Towa. Tanpa itu, tidak.

Isyarat lain muncul dalam sebuah majelis adat. Seorang calon Amma Towa-lah ia bila tiba-tiba ada sinar muncul dari ubun-ubunnya. Atau, tutur Galla Putto Beceng, tertunjuknya Amma Towa terjadi dalam pertemuan tokoh-tokoh adat di tengah hutan. Saat itu calon-calon Amma Towa duduk bersama dan tak bisa berdiri lantaran pengaruh mantra. Jadi, siapa yang terpilih? "Kalau ada tiga calon duduk bersama, lalu ada yang bisa berdiri," kata Galla Putto Beceng, "yang berdiri itulah Amma Towa."

Lalu lewat tata cara tertentu, diangkatlah orang itu menjadi Amma Towa. Sebuah jabatan yang secara teoretis bisa diduduki siapa saja, tapi pada kenyataannya selalu diisi oleh warga Kajang yang berstatus puto.

Sejak seseorang diupacarai menjadi Amma Towa, jadilah ia pemimpin adat penuh. Ia menggerakkan masyarakatnya dengan bantuan Adat Lima. Ia menjadi tempat bertanya, tempat berguru tentang hidup dan kehidupan. Ia selalu meluruskan kesalahan warga, dengan menyampaikan pasang ri Kajang. Ia menjadi teladan. Ia selalu bermunajad pada Yang Maha Berkehendak, agar mendapat bimbingan-Nya.

Sejak diangkat, Amma Towa Puto Cacong tidak pemah meninggalkan kampung. Dan memang tidak diperkenankan. Sekali pernah dilakukannya, yakni pergi ke Kampung Balagana untuk menyaksikan pemilihan kepala desa. Lebih dari itu, hanya utusannyalah yang pergi keluar kampung, misalnya untuk menemui pejabat pemerintah. Sebaliknya, tamu selalu berdatangan. Mereka, walaupun bukan warga Kajang, sering minta restu kepada Amma Towa.

Seorang Amma Towa diyakini warganya, dan harus mampu meramal kejadian 15 tahun ke depan. Kehadiran Jepang dulu, menurut orang-orang setempat, sudah diperkirakan oleh Amma Towa dengan menyatakan: orang-orang rambut merah akan pergi, lalu datang orang kulit kuning bermata sipit. Namun, seumur jagung di sini.

Bekas Camat Kajang, A.M. Zulkarnaen Adam, mengaku mendengar langsung ramalan Amma Towa tentang peristiwa G-30-S/PKI.

Berwajah bersih, dengan tatapan mata tajam berbinar, dengan senyum senantiasa tersungging, dan hanya bicara seperlunya, Amma Towa adalah tokoh segalanya buat warga Kajang.

Jangan salah terka, Amma Towa tak berpraktek sebagai dukun. Tapi itulah, betapapun hebat seorang Amma Towa, ia dan masyarakat adat Butta masih membutuhkan karaeng sebagai pemimpin.

Sebelum kemerdekaan, mereka minta karaeng dari Kerajaan Gowa. Upacara pengesahan karaeng itu mereka lakukan sendiri. Upacara itu antara lain, karaeng dimandikan, disucikan di tempat yang bernama Tamalate, dan disumpah oleh Amma Towa: ''Tabeq Karaeng, Aqnassaminni bajua ri Kajang Angsembangi kalompoangnga ri butta kamase-masea, Mingka ammuko membara Natangnga rupa tinanangnga Iya nikuaya baju-baju Parembasoro' jintu, bola-bola palettekanji Mingka, Ri gattanna na Adaq Ri lambussuqna na karaeng Ri sabbaraqna na guru Ri pisonana na sanro Iyanjo nikuaya Appa nakajariang Tinanag, erangpole, raung kaju, tuaq aqloqloro Ikaumintu Mingka Punna tangnga rupa sikuayya Iya nikuayya baju-baju Bola-bola palettekanjintu, parembassoroqji Petta kalennu Kasameang kulantuqnu Appa nimanaq Appa nipappimanaqkan Lebbaq Talebbaq Pau-pau Kasipali.''

Yang artinya: "Izinkan karaeng/ jelaslah ini baju di Kajang/ menyandang kebesaran di tanah bersahaja/ namun, esok/ jika tanaman tak mewujud/ maka dikatalah baju-baju/ sesuatu yang mudah dilemparkan, rumah-rumah yang terpindahkan/ namun/ karena tegasnya ada-adat/ karena jujurnya ada karaeng/ karena tabahnya ada guru/ karena tulusnya ada dukun/ adapun yang dikatakan/ empat yang berhasil/ tanaman, hasil karya, daun kayu, nira mengalir/ maka engkaulah (hai, karaeng)/ namun/ bila tak berbukti semua itu/ maka yang dikatakan baju-baju/ hanyalah rumah-rumah terpindahkan/ baju-baju terlemparkan/ sayangi diri/ kasihani lututmu/ empat dipusakai/ empat dipusakakan/ keputusan/ perencanaan/ amanat/ pantangan."

Sungguh, sebuah sumpah halus. Seorang karaeng, menurut sumpah itu, harus menyejahterakan masyarakatnya. Bila ia gagal dilukiskan dengan tanaman yang tak panen atau air tak mengalir - maka, menurut Saddiq Kawu, "ia harus berhenti, mengundurkan diri, sebelum rakyat bertindak memberhentikannya, dengan memaksanya bertekuk lutut."

Namun, sejarah Kajang tak pernah mencatat ada karaeng yang dipaksa turun oleh adat Butta. Walaupun mungkin pernah berulang kali ada kegagalan pertanian mereka. Seperti pada masyarakat tradisional lain, pertanian sangat berarti buat mereka, betapapun sederhana cara cocok tanamnya. Bila tanaman tak menghasilkan, dan sumber air mengering, itu bencana buat mereka. Itu dianggapnya bukan semata fenomena alam, tapi isyarat rusaknya tatanan adat. Amma Towa akan merenung, melihat dengan mata haffnya apakah adat masih tegas, karaeng masih jujur, guru masih tabah, dan dukun tetap tulus. Bila salah satu ada yang menyimpang, itulah yang diluruskan. Kalau adat tercemar, kalau seorang pria dan wanita berzina, apa sanksinya?

"Kita tidak hadiri pestanya," jawab Puto Bekkang.
"Hanya begitu?"
Ia hanya tersenyum.

Pasang menyebut hukuman seorang istri yang menyeleweng adalah dikerangkeng dengan bambu, lalu ditenggelamkan ke laut. Tapi cukup dengan tidak dihadiri pestanya dan dikucilkan oleh masyarakatnya sudah menjadi siksaan berat bagi orang-orang Kajang. Sebab, hanya saat itulah mereka punya kesempatan berpesta - potong ayam, potong kerbau, melupakan hari-harinya yang amat bersahaja. Kesempatan itu hanya ada saat kelahiran, pemotongan rambut menjelang akilbalig, perkawinan, dan kematian. Bila waktu itu tak ada yang hadir, bisa dibayangkan merananya mereka.

Tapi tak ada yang abadi di dunia, kata orang pintar. Adat pun berubah. Anak-anak mulai masuk sekolah. Produk dunia luar pun mengintip, menarik-narik warga hitam-hitam itu. Celakanya, hal itu bukannya mendorong mereka bekerja keras, justru membuka peluang untuk mulai menodai kejujuran, ketulusan, dan kebanggaan - hal-hal yang menjadi dasar moral hidup Kajang.

Status para Galla pun kini telah menjadi semacam kepala desa. Kecuali Galla Putto, yang memang dari dulu tak mempunyai wilayah. Karaeng sudah menjadi camat. Barisan penjaga adat, warga kelas puto, tak lagi sekukuh sebelumnya.

Almarhum Amma Towa Puto Cacong pun tak menampik adanya perubahan. Ia sendiri mulai mau memakan obat-obatan pabrik, tak lagi sekadar jampi-jampi. Setahun lalu, Amma Towa berkata pada seorang tamunya bahwa ia pening. Tamu itu menawarkan tablet neuralgin. Ternyata, Amma Towa menerima dan meminumnya.

"Kalau Anak percaya obat ini akan menyembuhkan saya, saya akan meminumnya," begitu, konon ia berkata.

Bapak dari semua warga Kajang itu, orang yang dianggap paling dalam segalanya, kini sudah tiada. Para warga adat Butta sedih, berkabung. Bila adat telah tak bertiang lagi, tak berpenjaga lagi, apa pun bisa terjadi di Kajang termasuk hilangnya adat itu sendiri. Akan lunturkah warna hitam itu?


[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Ikan Duyung di Bulukumba

IKAN DUYUNG. Jumaning (60), membersihkan tubuh ikan duyung yang ditemuinya di tepi pantai saat mencuci bentang (tali rumput laut) di pesisir pantai di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Selasa, 19 April 2011. Banyak warga yang berkunjung ke rumah Jumaning karena penasaran ingin melihat ikan duyung tersebut. (Foto: Kompas/k23-11) -------------------------- Kisah Ikan Duyung di Bulukumba Meski Dibacok, Ikan Duyung Tetap Hidup Harian Kompas (Kompas.com) K23-11 | yuli | Rabu, 20 April 2011 http://regional.kompas.com/read/2011/04/20/04143456/Meski.Dibacok.Ikan.Duyung.Tetap.Hidup BULUKUMBA, KOMPAS.com — Warga pesisir di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, digemparkan dengan seekor ikan duyung yang tiba-tiba muncul, Selasa (19/4/2011). Para nelayan pun kemudian berniat memotong ikan tersebut untuk mengambil dagingnya. Namun, entah mengapa ikan duyung yang tubuhnya sudah terluka akibat sabetan parang itu terus berenang hing

Pahlawan Nasional dan Andi Sultan Daeng Radja

Andi Sultan Daeng Radja bersama tujuh orang lainnya telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui Surat Keputusan Presiden RI (Susilo Bambang Yudhoyono) Nomor 085/TK/Tahun 2006 tanggal 3 November 2006. Andi Sultan Daeng Radja secara diam-diam mengikuti Kongres Pemuda Indonesia, pada 28 Oktober 1928. Bersama Dr Ratulangi dan Andi Pangerang Pettarani, dirinya diutus sebagai wakil Sulawesi mengikuti rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di Jakarta.

Kecamatan, Kelurahan, Desa, dan Kode Pos di Kabupaten Bulukumba

BUNDARAN PHINISI. Kabupaten Bulukumba yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, terdiri atas 10 kecamatan dan 126 desa/kelurahan. Berikut daftar nama-nama kecamatan, desa dan kelurahan, serta kode pos masing-masing desa/kelurahan di Kabupaten Bulukumba. (Foto: Asnawin) ----------------------------- Kecamatan, Kelurahan, Desa, dan Kode Pos di Kabupaten Bulukumba Berikut ini adalah daftar nama-nama Kecamatan, Kelurahan / Desa, dan nomor kode pos (postcode / zip code) pada masing-masing kelurahan / desa, di Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan, Republik Indonesia. Kabupaten : Bulukumba 1. Kecamatan Bonto Bahari - 1. Kelurahan/Desa Ara ----------------- (Kodepos : 92571) - 2. Kelurahan/Desa Benjala ------------- (Kodepos : 92571) - 3. Kelurahan/Desa Bira ----------------- (Kodepos : 92571) - 4. Kelurahan/Desa Darubiah ------------ (Kodepos : 92571) - 5. Kelurahan/Desa Lembanna ----------- (Kodepos : 92571) - 6. Kelurahan/Desa Sapolohe -