Langsung ke konten utama

Dari dunia kajang, penjaga hutan... (bag-1)

BAU gunung mulai terasa. Jalan mulai berliku, mendaki menuruni lekuk bukit, tak lama setelah mobil meninggalkan Bulukumba kota kabupaten di kaki Pulau Sulawesi. Lalu jalan itu menikungi jembatan sempit. Di bawahnya air bening mengalir gemericik di sela batu-batu besar. Inilah perjalananku ke Kajang. Kajang, masyarakat yang lebih dikenal sebagai mitos ketimbang keadaan sebenamya.





------------------------------------------------------ 

Kunjungan ke Kawasan Adat Kajang, Bulukumba (bag-1):

Dari dunia kajang, penjaga hutan...


(Artikel ini sebenarnya sudah lama, tepatnya dimuat oleh Majalah Tempo, pada 28 Mei 1988 - http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1988/05/28/SEL/mbm.19880528.SEL25046.id.html -, tetapi karena banyak pelajaran yang bisa dipetik di dalamnya, maka kami memuat ulang di blog ini secara utuh)

BAU gunung mulai terasa. Jalan mulai berliku, mendaki menuruni lekuk bukit, tak lama setelah mobil meninggalkan Bulukumba kota kabupaten di kaki Pulau Sulawesi. Lalu jalan itu menikungi jembatan sempit. Di bawahnya air bening mengalir gemericik di sela batu-batu besar. Inilah perjalananku ke Kajang.

Kajang, masyarakat yang lebih dikenal sebagai mitos ketimbang keadaan sebenamya. Konon, mereka selalu berpakaian hitam-hitam, menyembunyikan rumahnya di balik lebatnya hutan, mempunyai kekuatan mistik hingga orang luar yang datang ke sana, tanpa izin mereka dan tanpa mereka kehendaki kedatangannya, hanya akan melihat hutan.

Bau gunung begitu terasa. Pokok kayu melindapkan jalanan. Semalam aku telah mendapatkan cerita tentang suku Kajang, yang mengingatkanku pada suku Badui di Jawa Barat.

Dan kini, di perbatasan wilayah Kecamatan Kajang, mataku tertatap iring-iringan empat gadis dan seorang perjaka berpakaian hitam-hitam, membawa payung hitam, berjalan bersama tanpa berbicara. Inilah pengantin Kajang. Mereka seolah mengangguk, mengulum senyum untukku.

Sekitar 200 km jauhnya dari Ujungpandang, 60 km dari Bulukumba, hutan Sobbu menghampar lebat. Lewat jalan tanah di pinggir hutan, mobil masuk hingga Kampung Balagana.

"Sampai di sini saja," kata pengantar.
"Sampai di sini?"
"Ya, seterusnya jalan kaki."

Baju hitam dan sarung hitam, kebun kopi, rumah panggung, alat-alat tenun, pohon langsat dengan buahnya yang bergerombol-gerombol, berpadu membentuk kesenyapan desa. Teduh. Desir bambu, lenguh sapi, cericit burung, suara serangga dan kokok ayam - di tengah hari sekalipun.

Ya, inilah Kajang, tempat adat yang sering dimitoskan dan ditakuti itu. Di sini, di Desa Tana Towa (artinya tanah tua) dengan ibu kota, konon, di Kampung Balagana, adat Kajang berpusat.

Tak seluruh wilayah desa menjadi permukiman adat. Hanya lima dari dua belas kampung di desa itu adalah kampung adat. Dan itu berarti daerah tertutup, daerah ilalang embaya yang sakral. Daerah tempat adat ditaati dari pagi hingga malam. Sebuah daerah tepi hutan Sobbu, membentang sekitar 2 km, dipenggal-penggal oleh empat sungai kecil. Dusun Benteng, tempat kediaman Amma Towa atau pemuka adat mereka, titik pusatnya.

Ketika matahari lingsir ke barat, seorang kerabat desa mengantarkanku memasuki Dusun Sobbu, menemui Galla Putto. Ia salah seorang tokoh adat di situ.

"Mobil dan motor tidak boleh masuk," kata pengantarku, sambil menunjuk anak sungai sebagai batas. Sudah terasa, sedikit saja bau kota yang tercium di sini, di dusun yang bertabirkan rimba di sisi selatannya, dan bernaung pada tajuk pepohonan dan rumpun bambu. Satu-satunya yang menunjukkan bahwa desa ini berada di abad ke-20 adalah pakaian anak-anak dan lelaki muda, serta iringan anak sekolah - mereka seperti anak-anak dan remaja desa tetangga.

Oh, ya, zaman "modern" juga terasa jejaknya di sini lewat jeriken plastik, yang mulai banyak dipakai buat mengambil air dari sumber. Jeriken yang cara membawanya ditumpukan pada kepala, bukannya ditenteng. Seorang bocah menatapku heran, sambil menopangkan gayung air dari buah maja di pundaknya. Dua gadis muda tersipu, menutupi bibir dengan sarung yang dikenakannya. Seorang ibu - mungkin nenek - memikul bejana-bejana tembaga, diam menunduk menghadap ke samping dan tanpa ekspresi saat ia mau berhenti di depan kamera.

Para wanita yang pulang dari sumber-sumber air hanya mengenakan topeh le'leng (sarung hitam) dengan cara khas Kajang: ujung atas sarung diikatkan di bagian atas salah satu pundak.

Melangkahi palang kayu yang menjadi pintu pagar batunya, sampailah kami di rumah Galla Putto. Seekor anjing tertidur di tangga rumah panggung. Galla Putto, dalam pakaian hitam-hitam, keluar menyambut sambil mengikatkan destarnya yang hitam pula.

Ingatanku melayang kepada kata bekas camat Kajang, A.M. Zulkarnaen Adam; "Kalau nanti ke sana, perhatikan rumahnya. Dapur ada di bagian depan, tiang rumahnya langsung ditanam dalam tanah (tidak memakai batu landasan), dan lumbung padi berada di atap rumah."

Begitu memang yang kusaksikan. Paku tak dipakai di sini. Sebagai gantinya, pasak kayu. Grendel pintu pun dari kayu, diikat dengan tali ke atas hingga bisa dijangkau dari luar. Tak banyak barang dalam rumah. Kursi diharamkan. Radio dan televisi jangan pula ditanyakan. Selain umumnya memang tak mampu membeli, konon, mereka memang tetap tak mau terusik ketenangannya oleh produk teknologi. Itu soalnya bila mereka juga menampik masuknya mobil dan motor - benda-benda yang mereka namakan bala-bala arolo dan jarang-jarang bassi (rumah-rumah berjalan dan kuda besi).

"Kalau ada warga yang ingin punya radio atau duduk di kursi?"
"Silakan tinggal di luar Benteng," jawab Galla Putto.
"Kalau mereka menolak keluar?" Galla Putto terdiam.
Matanya menerawang jauh ke luar jendela. Ia lalu mengumbar senyum, menyuruh istrinya menuangkan langsat sekeranjang penuh sebagai suguhan, dan ia ikut makan buah itu dengan cepat.

Orang Kajang memang beda dengan masyarakat sekelilingnya. Mereka bukan Bugis, bukan pula Makassar kendati bumi yang ditempatinya merupakan bagian Provinsi Sulawesi Selatan.

Mereka tidak berbicara dengan kedua bahasa itu. Mereka halus, dan hanya berbahasa Konjo. Bahasa itu agaknya berakar pada bahasa Makassar. Tak ada sebutan puang buat menghormat, seperti pada masyarakat Bugis dan Makassar. Tak ada kata keras keluar dari mulut mereka. Mereka lebih suka berkias kata, berhenti sejenak, menyungging senyum dan membiarkan lawan bicara mereka-reka sendiri yang telah didengarnya. Entah sejak kapan begitu.

Soal asal-muasal, mereka tak peduli. "Sejak dulu kami sudah di sini," kata Puto Bekkang, kini pengetua adat sementara.

Tak ada raja penguasa di situ. Raja Gowa, Bone, atau Luwu pun tidak. Mereka hanya mengenal pengetua adat yang tak diwariskan. Yakni Amma Towa, yang mereka nilai setingkat raja, bahkan dipandang lebih istimewa karena dia juga dianggap sanro (dukun) oleh tiga kerajaan yang mengelilingi Kajang. Di situ Amma Towa yang berarti "Bapak Tua" sering disebut Amma saja. Dialah pemimpin adat tertinggi dengan berbagai kelebihannya, dan dibantu struktur adat yang rumit. Dan inilah adat yang rumit itu: Adat Kajang adalah tradisi lisan. Tak ada ketentuan adat tertulis, tak ada karya sastra pada lontar macam La Galigo, besar Bugis. Segala nilai adat hanya disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi.

Amma Towa tahu persis seluruh isi adat itu. "Sementara ada lontar dari Gowa, dari Kajang ada pesan-pesan," kata Zulkamaen.

Dalam istilah setempat, dari dulu selalu dikatakan: Lontara Ri Gowa, Pasang Ri Kajang. Pasang, atau pesan-pesan, selalu disampaikan oleh Amma Towa kepada masyarakatnya, kepada pemerintah, juga kepada orang yang tengah mempelajari nilai adat mereka.

Adat Kajang adalah kehalusan budi. Tidak ada dusta, tidak ada sombong, pun tidak ada marah meledak biarpun ada ulah yang tak berkenan di hati mereka. Hanya dengan diam, tersenyum dan menegur halus, Amma Towa menghadapi tamunya - sekalipun diketahuinya tamu itu bemiat buruk. Dan tamu itu, tanpa kecuali, selalu mereka suguh dengan yang kebetulan ada padanya. Sedikit saja tergambar pemyataan sikap kepada tamu yang tak mereka sukai, yakni menyuguhkan penganan yang sudah agak asam.

Adat Kajang adalah merendah di hadapan Tuhan. Orang-orang Kajang sangat jarang menyebut Tuhan. Mereka akan mengatakan Torie A'rana, artinya Yang Maha Berkehendak, yang maksudnya ya itu tadi, Tuhan. Alasan mereka kalau berulang-ulang nama Tuhan, lalu apa beda harkat Dia dengan manusia biasa. Bahkan menyebut-nyebut Tuhan atau Allah dinilainya takabur.

Mereka pun seperti berpantang menyebut nama Muhammad, namun memakai sebutan Surro Tomatappana Tori'e A'rana. Yakni, "Yang Diutus Yang Maha Berkehendak". Allah? Muhammad? Ya, di luar soal melaksanakan syariat, sebenarnya orang Kajang penganut Islam. Ajaran yang kabarnya dibawa masuk ke Kajang oleh Datuk Tiro - seorang Minang murid pesantren Gresik, tercatat dalam sejarah sebagai salah satu pembawa Islam ke Sulawesi Selatan.

Adat Kajang adalah kebersahajaan. Tak ada kemegahan, tak ada kegemerlapan. Warna hitam pilihan-mereka buat pakaian-warna yang tak dipakai sebagai wama kerajaan-kerajaan tetangganya, warna yang mengesankan sederhana.

Makan pun sampai sekarang mereka hanya berpiringkan tempurung kelapa atau anyaman pandan, bergelaskan buah maja. Walaupun kini satu dua orang mulai memberanikan diri memakai piring atau gelas yang dulu hanya disediakan buat tamu.

Hiburan? Tak ada dalam benak mereka, kecuali saat-saat pesta perkawinan. Mereka memang menyebut daerah ini sebagai ilalang embaya, sebagai Tana Kamase-masea, atau tanah bersahaja.

"Adat tidak memberi kesempatan bagi kami untuk kaya," kata Sulle, bujangan berusia 23 tahun dari Tana Towa.

Adat Kajang adalah kemandirian. Mereka tak hendak bergantung pada siapa pun. Mereka bercocok tanam seperti yang, mungkin, dilakukan pendahulunya sekian ratus tahun lalu. Tanpa pupuk, tanpa obat, tanpa bibit unggul. Mereka juga menanam kapas yang lalu dipintal jadi benang. Benang dicelup hitam dengan bahan akar-akaran, ditenun sendiri buat baju, sarung, atau destar. Kapas pun dicampur dengan kemiri, ditumbuk halus, lalu dipilin dijadikan lilin khas Kajang. Mereka tidak tergantung produk-produk pabrik. Dan utang adalah perbuatan yang tak mereka sarankan. Bencana, sakit, belum merupakan urusan pemerintah dan dokter. Tapi tugas bagi dukun-dukun.

Adat Kajang adalah rasa toleran. Mereka rela membiarkan segala tingkah para tamu, sepanjang tak mengusik adat. Mereka mempersilakan tamunya salat, walaupun mereka sendiri tak melakukannya. Mereka tak menampik sekolah ketika pemerintah membangunnya. Walaupun Amma tetap tidak menyekolahkan anak-anaknya sendiri.

"Nanti anak-anak akan pintar, tapi pintar salah-salah," ujar Amma suatu waktu.

Ia tak ingin anaknya bertambah pengetahuannya, namun karena pengaruh dari luar lalu mengabaikan nilai luhur tradisi tentang kemanusiaan dan lingkungan yang berpuluh tahun mereka pertahankan.

Suatu waktu ketika orang luar minta izin hendak membangun masjid di situ, Amma setuju. Cuma ia berpesan; "Jangan membangun kalau nanti tak ada yang memakai. Kalau sudah dibangun, janganlah jamaah berbuat yang tidak-tidak. Nanti akan lebih berat dosanya." Lalu berdirilah masjid berlantaikan tanah, hanya dialasi oleh belahan batang bambu.

Adat Kajang adalah kearifan. Ketika diadakan pemilihan kepala Desa Tana Towa, untuk pertama kalinya Amma Towa mau meninggalkan ilalang embaya untuk ikut memilih. Ternyata, Amma Towa tak memilih calon siapa pun.

"Kalau saya memilih seorang calon, nanti semua akan mengikuti saya. Biarlah mereka memilih sendiri-sendiri."

Adat Kajang adalah mistis. Dua orang yang berbeda berkata kepadaku pernah melihat "dengan mata kepalaku sendiri", seorang Kajang mengangkat batu tanpa menyentuhnya. Tarian adat mereka merupakan adegan saling tusuk keris sungguh-sungguh, tanpa pemah terjadi korban.

Umar Kayam, budayawan yang menulis buku Semangat Indonesia: Suatu Pejalanan Budaya (195) pun pernah terheran-heran sewaktu berkunjung ke Kajang pada 1976.

Ia, ceritanya, diajak camat Kajang mencari restu Amma Towa. "Ketika saya dijamu makan nasi, yang dihidangkan kelihatannya sangat sedikit. Tapi setelah saya makan, kok nasinya tak habis-habis. Padahal, perut terasa sudah sangat kenyang," tutur Umar.

Lantaran mistis pula orang Kalang amat ditakuti sewaktu Sulawesi masih ricuh di tahun 1950-an.

Adat Kajang adalah keterikatan pada pemerintah. Amma dan perangkatnya hanya membatasi diri mengurus soal adat. Dalam kehidupan di luar luar adat, mereka mengikut pada 'karaeng' yang diangkat raja Gowa.

Kini tak ada lagi karaeng, maka Camat Kajang mereka perlakukan sebagai karaeng. Setelah seseorang dilantik menjadi camat untuk Kecamatan Kajang oleh bupati setempat, orang-orang Kajang akan mengadakan upacara pemberkatan, pisaungi namanya. Pada upacara itu camat atau karaeng disumpah agar selalu gattang (tegas), lambussu (jujur), pesonna (tabah), guru (mendidik), dan adil.

Bagi mereka, seperti dituturkan Zulkarnaen, "Karaeng adalah pokok kayu tempat kita berteduh waktu hujan dan panas. Kalau pokok kayu miring ke kiri, kita ikut ke kiri. Kalau miring ke kanan, kita ikut ke kanan." Mungkin lantaran itu, sejak pemilu 1971 mereka seratus persen memilih Golkar.

Mereka punya pegangan: assallukiriajoa, anynyulluki riadaha (tunduk pada pemerintah, taat pada adat).

Betapapun halus dan penurut, mereka pun bisa keras - meski namanya Kajang, mereka toh juga manusia. Pada 1954, orang-orang Kajang bergerak bersama dalam Gerakan Dompe menggempur gerombolan yang malang melintang di pedesaan Sulawesi Selatan. Waktu itu DI/TII tengah bertempur melawan tentara pemerintah. Keduanya sama-sama brutal: merampok, menjarah harta penduduk, dan bahkan mengambil anak gadis orang. Karaeng Kajang, tempat mereka bergantung, sudah pergi mengungsi, mereka pun mengambil sikap. Semboyan dipancangkan: "Berdiri di tanah lapang, berpegang pada batang cinagori, perdu kukuh tempat penambat kuda." Adapun maknanya, pertahankan adat. Tak ada tempat bergantung, tak ada tempat berlindung, mereka pun membantai musuh-musuhnya tanpa ada yang berani melawan.

"Bapak ikut?"
"Semua ikut," kata Puto Bekkang.
Tapi ia menolak menceritakan pengalamannya membantai lawan. Kini, Kajang dalam wajah lembutnya lagi. Dan sebenarnya mereka pun terus berubah, seperti hendak mengejar ketinggalan waktu. Jeriken plastik itu, misalnya. Lalu minyak tanah, piring, dan sejumlah bahan lain yang sebelumnya tak dikenal di situ, mulai dipakai.

Amma Towa Puto Cacong, penjaga adat yang paling kukuh, memang sudah meninggal, dan sementara ini belum ada penggantinya. Dan masuk ke wilayah Kajang pun kini tak harus melalui prosedur rumit, yakni harus lewat perantara. Walaupun harus tetap lewat jalur pemerintah.

Bupati Bulukumba, A Kube Dauda, menyatakan keterikatan warga Kajang pada tradisi salah satunya adalah mempertahankan hutan memang luar biasa. Tapi banyak pula yang harus diubah. Terutama soal penolakan mereka pada teknologi.

Budayawan Umar Kayam pun setuju terhadap upaya untuk memajukan masyarakat Kajang. "Tapi kalau cuma asal-asalan saja, malah mencelakakan mereka."
Lalu sarannya, "Biarkan mereka berkembang dan berubah dengan sendirinya."

Seorang simpatisan masyarakat Kajang mengkritik sikap para pejabat yang cenderung ingin mengubah warga di situ agar menjadi seperti mereka. Orang-orang itu mulai mendesak agar mobil masuk ke wilayah ilalang embaya,

"Mumpung Amma Towa terakhir, Puto Cacong, sudah wafat Februari lalu dan belum ada penggantinya."

Mereka pun berkeinginan membabati hutan, yang selama ini dipertahankan mati-matian oleh adat Kajang, untuk diubah menjadi kebun cengkeh.

"Kalau kemajuan yang hendak diperkenalkan macam begitu," tutur orang tadi, "tak usahlah."

Menjelang pulang, kutanya Puto Bekkang, "Bagaimana kalau warga sepakat agar mobil boleh masuk sampai di sini?"
"Tidak. Tetap saja ada batasnya."
"Tak takut adat hilang kalau anak-anak bersekolah?"
"Kami bahkan menyuruh anak-anak ke sekolah. Yang kami larang hanya mengubah adat."
"Kalau semua setuju adat diubah?"
Dua tahun lalu Amma Towa menyatakan bahwa adat pasangri kajang berasal dari Torie A'ranna, Torie A'ranna pula yang menjaganya.
"Sedang menurut Puto Bekkang sendiri, kalau adat diubah, berarti kami harus mati." Sekarang, mereka masih ingin dan bangga hidup di balik dan menjadi penjaga lebatnya rimba Sobbu.


[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Ikan Duyung di Bulukumba

IKAN DUYUNG. Jumaning (60), membersihkan tubuh ikan duyung yang ditemuinya di tepi pantai saat mencuci bentang (tali rumput laut) di pesisir pantai di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Selasa, 19 April 2011. Banyak warga yang berkunjung ke rumah Jumaning karena penasaran ingin melihat ikan duyung tersebut. (Foto: Kompas/k23-11) -------------------------- Kisah Ikan Duyung di Bulukumba Meski Dibacok, Ikan Duyung Tetap Hidup Harian Kompas (Kompas.com) K23-11 | yuli | Rabu, 20 April 2011 http://regional.kompas.com/read/2011/04/20/04143456/Meski.Dibacok.Ikan.Duyung.Tetap.Hidup BULUKUMBA, KOMPAS.com — Warga pesisir di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, digemparkan dengan seekor ikan duyung yang tiba-tiba muncul, Selasa (19/4/2011). Para nelayan pun kemudian berniat memotong ikan tersebut untuk mengambil dagingnya. Namun, entah mengapa ikan duyung yang tubuhnya sudah terluka akibat sabetan parang itu terus berenang hing

Pahlawan Nasional dan Andi Sultan Daeng Radja

Andi Sultan Daeng Radja bersama tujuh orang lainnya telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui Surat Keputusan Presiden RI (Susilo Bambang Yudhoyono) Nomor 085/TK/Tahun 2006 tanggal 3 November 2006. Andi Sultan Daeng Radja secara diam-diam mengikuti Kongres Pemuda Indonesia, pada 28 Oktober 1928. Bersama Dr Ratulangi dan Andi Pangerang Pettarani, dirinya diutus sebagai wakil Sulawesi mengikuti rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di Jakarta.

Kecamatan, Kelurahan, Desa, dan Kode Pos di Kabupaten Bulukumba

BUNDARAN PHINISI. Kabupaten Bulukumba yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, terdiri atas 10 kecamatan dan 126 desa/kelurahan. Berikut daftar nama-nama kecamatan, desa dan kelurahan, serta kode pos masing-masing desa/kelurahan di Kabupaten Bulukumba. (Foto: Asnawin) ----------------------------- Kecamatan, Kelurahan, Desa, dan Kode Pos di Kabupaten Bulukumba Berikut ini adalah daftar nama-nama Kecamatan, Kelurahan / Desa, dan nomor kode pos (postcode / zip code) pada masing-masing kelurahan / desa, di Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan, Republik Indonesia. Kabupaten : Bulukumba 1. Kecamatan Bonto Bahari - 1. Kelurahan/Desa Ara ----------------- (Kodepos : 92571) - 2. Kelurahan/Desa Benjala ------------- (Kodepos : 92571) - 3. Kelurahan/Desa Bira ----------------- (Kodepos : 92571) - 4. Kelurahan/Desa Darubiah ------------ (Kodepos : 92571) - 5. Kelurahan/Desa Lembanna ----------- (Kodepos : 92571) - 6. Kelurahan/Desa Sapolohe -