SANTAI. Aspar Paturusi di kediamannya Jalan Sawo Kecik, Tebet, Jakarta. Pria kelahiran Bulukumba, 10 April 1943, pernah menjadi aktor terbaik dalam Festival Sinetron Indonesia. Kini Aspar gemar berselancar di situs jaringan pertemanan Facebook. (Foto: Fajar/Alief Sappewali)
--------------------------
Mengenal Aspar Paturusi (1)
Aspar Paturusi, Tetap Produktif di Usia Senja
Laporan : ALIEF SAPPEWALI, Jakarta
Harian Fajar, Makassar
Minggu, 30 Januari 2011
http://www.fajar.co.id/read-20110130102948-aspar-paturusi-tetap-produktif-di-usia-senja
Pria itu duduk menghadap sebuah laptop berukuran 14 inci yang terkoneksi dengan jaringan internet. Mengenakan kaus putih dan celana pendek selutut berwarna hitam. Rambutnya sudah mulai memutih. Bisa jadi karena usianya yang terus merambat tua.
Di layar komputer, terpampang situs jaringan pertemanan Facebook. Situs yang amat populer itu memang bukan hanya digemari anak muda. Orang-orang yang berusia senja pun memanfaatkannya. Tentu untuk kegiatan yang produktif. Menyalurkan ide dan gagasan.
Begitu pula Aspar Paturusi, pria itu. Facebook dimanfaatkan untuk menyalurkan ide-idenya. Menyampaikan kritikannya terhadap pemerintah. Mengajak masyarakat, khususnya teman-temannya di Facebook untuk merenung terhadap berbagai kondisi sosial yang terjadi saat ini.
"Saya sebenarnya gaptek (gagap teknologi, red). Kalau untuk sekadar membuka Facebook bisa. Tetapi untuk memposting catatan, saya butuh bantuan anak saya," kata pria kelahiran Kabupaten Bulukumba, Sulsel itu membuka pembicaraan.
Siang itu, Aspar hanya ditemani istrinya Sulasmiwati. Saat FAJAR datang, Aspar sedang membuka catatan-catatannya di Facebook. Sementara Sulasmiwati, mantan caleg Partai Amanat Nasional (PAN) Dapil Sulsel I sedang menonton televisi.
"Silakan diminum dulu," kata Sulasmiwati sambil menyodorkan segelas jus buah kepada FAJAR yang menyambangi rumahnya di Jalan Sawo Kecik, Tebet.
Aspar Paturusi dikenal sebagai seniman. Selain banyak menciptakan puisi, dia juga termasuk aktor papan atas. Dia pernah dinobatkan sebagai aktor terbaik pada Festival Sinetron Indonesia tahun 1992. Jauh sebelumnya, Aspar sudah berkecimpung dalam perfilman nasional.
Puluhan judul film dan sinetron pernah dibintanginya. Termasuk film yang terbilang favorit, Ketika Cinta Bertasbih. Ayah tujuh orang anak ini bermain di film layar lebar dan sinetron Ketika Cinta Bertasbih yang ditayangkan salah satu stasiun televisi nasional, Ramadan lalu.
Wajah Aspar juga sudah tidak asing lagi bagi pencinta film Tutur Tinular yang diputar sekira tahun 1990. Dia juga menjadi pemeran dalam film Si Buta dari Gua Hantu. Aspar juga ikut main dalam sinetron Badik Titipan Ayah dan Simfoni Dua Hati.
Sebagai aktor, Aspar mesti menjaga penampilannya. Terutama kebugaran fisiknya. Itu sebabnya, olahraga rutin menjadi "santapan" wajibnya sehari-hari. Jogging, jalan kaki, dan main tenis meja adalah kunci kebugaran fisiknya.
"Saya masih bisa main tenis meja hingga 10 set lawan anak-anak muda," katanya.
Dalam mengisi waktu-waktu luangnya, Aspar banyak menciptakan puisi. Bahkan dia tergolong masih sangat produktif. Puisi-puisinya itu kemudian diposting melalui Facebook. Hingga kemarin, Aspar tercatat sudah berteman dengan 2.370 Facebookers.
Puisi-puisi yang diposting diberi kode, "Dua Puisi Untukmu”. Hingga Sabtu, 30 Januari 2011, puisi-puisi itu sudah masuk seri ke-130. Artinya, jumlah puisi yang sudah diposting mencapai 260 judul. Sebab setiap seri, terdapat dua judul puisi.
Dua puisi terakhir yang diposting, Rabu 27 Januari 2011, berjudul, "Pensiun" dan "Warung Daeng Kanang". Setiap puisi yang diposting Aspar selalu ramai dengan komentar Facebookers yang menjadi temannya. Puisi "Pensiun" misalnya sudah dikomentari sedikitnya 17 Facebookers.
Puisi-puisi Aspar merespons berbagai peristiwa terkini. Termasuk polemik "Bohong" antara tokoh agama dengan Presiden SBY baru-baru ini. Aspar menawarkan perenungan melalui puisi berjudul, "Kata Bohong".
"Maafkan aku, sahabat, puisimu tak sempat kubaca. Aku terbius oleh berita politik, hukum dan bencana. Juga aku amat heran kata bohong ramai dibicarakan. Mulai dari ruang diskusi lalu bergema ke dinding istana. Maafkan aku, sahabat, seharusnya kubaca puisimu. Sepatah kata puisi tentu lebih teduh dari kata bohong. Puisimu lebih jernih karena tak mengandung caci maki. Tak menuding-nuding atau pun teguh membela diri. Jangan marah, sahabat, tak pernah kuremehkan puisimu. Justru kini aku sangat merindukan puisi yang terbaru. Akan kuleburkan kata bohong ke baris-baris puisi. Mungkin bisa menjelma jadi kata cinta atau damai. Sungguh aku tak bohong padamu!"
Selain puisi yang diposting dengan seri, "Dua Puisi Untukmu", Aspar juga menggoreskan kegelisahan-kegelisahannya melalui puisi yang dia namakan Sketsa. Menurut Aspar, tulisannya dalam sketsa lebih mudah dipahami karena tidak menggunakan kalimat bersayap.
Seperti dalam "Dua Puisi Untukmu", dalam Sketsanya, Aspar juga menyorot kejadian-kejadian terbaru. Salah satunya soal polemik tentang gaji presiden. Dalam Sketsa seri ke-124, Aspar menuliskannya dengan judul, "Gaji."
"Kau tak mengenal gaji. Kau pun tak tahu kenaikan gaji. Kau hanya tahu menghitung utang. Menghitung belanja yang tak pernah cukup. Jangan sedih saudaraku. Jangan diam saja. Taklukkan derita sekuat tenaga. Balikkan kemiskinan jadi 'kekayaan' iman. Maka kau bakal menerima gaji. 'Gaji' rahmat dan anugerahNya. Sujudlah yang khusyuk".
Kini, puisi-puisi yang telah diposting melalui Facebook tersebut kembali dikumpulkan Aspar. Tidak semuanya puisi baru. Sebagian puisi lama yang sudah pernah dimuat di sejumlah media massa. Puisi tersebut akan diterbitkan dalam sebuah buku kumpulan puisi berjudul, "Badik".
Meski pernah bermain untuk film Badik Titipan Ayah, Aspar mengaku puisinya tersebut bukan terinspirasi oleh ide cerita dalam film televisi itu. Puisinya yang berjudul, "Badik" malah lebih dulu ada sebelum film itu digarap.
Lantas bagaimana sosok Aspar Paturusi di mata teman-temannya? Berdasarkan puisi-puisi yang telah diciptakannya, Sejarawan LIPI, Mochtar Pabottingi menggambarkan Aspar dalam seuntai kalimat yang indah.
"Aspar adalah tombak yang pantang rebah. Adalah hati yang mengasah pundak. Dahi yang kian merapat ke tanah. Tangan yang terus mengetuk-ngetuk hati kita, hatinya sendiri, dan penguasa segala hati," kata Mochtar.
Rekan Aspar lainnya, Anis Kaba, punya kesan lain. Dia mengaku mengenal Aspar Paturusi sebagai orang yang konsisten dalam berkesenian. Dia berkecimpung dalam dunia seni sejak remaja hingga menjadi kakek-kakek seperti saat ini.
Anis mengingat naskah drama pertama kali Aspar Paturusi saat masih sekolah SLTA berjudul, "Akhirnya Kembali ke Desa". Naskah drama itu kemudian dimainkan Anis Kaba dan kawan-kawan. Aspar juga menjadi sutradara drama, "Jang Konsekuen" karya B Sularto, tahun 1964.
Anis mengaku sangat terkesan dengan pribadi Aspar yang hitam putih alias tegas. Meski dalam bergaul, Aspar termasuk orang yang familiar dan mudah berteman, tetapi dia memegang prinsip tegas dalam hidupnya.
"Kalau salah, maka salah. Kalau benar, maka benar. Tidak ada toleransi, meski pun dengan teman sendiri. Saya sangat salut dengan prinsipnya itu," lanjutnya.
Prinsip itu bisa dijumpai pada puisi-puisi tajam Aspar yang antara lain dalam dua puisi berjudul, "Surat Kakek" dan "Surat Balasan Piut". Puisi berjudul, "Surat Kakek" itu berbunyi seperti ini:
"Piut, entah siapa namamu. Kakek harus percaya, nak. Hidup di eramu lebih baik. Semua aman dan tenteram. Sehat dan cerdas-cerdas. Disegani seluruh bangsa. Tujuh kali juara piala dunia. Berjuta-juta pohon rindang. Udara segar dan sejuk. Tak ada pengangguran. Lulus sekolah langsung kerja. Pejabat semua pakai otak. Tak ada yang bodoh lagi. Untuk lakukan korupsi. Enak ya, Piut. Sekalipun kakek tak saksikan. Kakek bahagia di lain kehidupan. Piut, ini impian generasi kakek. Hidup yang terhormat. Sipakatau sipakalebbi. Pesan leluhur orang Bugis, nak. Saling menghormati antar sesama. Saling memuliakan sebagai manusia. Kakek sungguh bahagia, nak. Walau kakek tak menikmatinya. Yang penting mimpi kami doa dan harapan kami dikabulkan olehNya. Alhamdulillah. Semoga Piut membaca surat ini".
Puisi tersebut kemudian dilanjutkan dengan puisi berjudul, "Surat Balasan Piut" yang ditulis 19 Juni 2010, seperti di bawah ini:
"Kakek lupa tulis nama. Piut ingin tahu nama kakekku. Nama di sini sangat penting. Semua punya nama yang mulia. Benar kek, kami hidup tenteram. Kami tak kenal kata rampok. Juga kata pengangguran. Kami saling menghormati. Dahulu kala, katanya, banyak gempa, longsor, banjir, dan hutan terbakar hal itu aneh bagi kami. Kami tak kenal longsor.
Hutan kami lebat-lebat. Air sungai jernih. Bisa diminum. Kakek yang malang. Piut terharu baca surat mimpi, harapan, dan doa kakek. Kami yang nikmati. Berjuta-juta terima kasih, kek. Piut heran dengar banyak korupsi. Juga sering beredar video porno. Tak pakai otak namanya, kek. Sungguh kacau negara bila begitu. Bodoh-bodoh pemimpinnya, kek?
Tak bermoral atau kepala batu? Kami semua cerdas, kek. Pemimpin tak mungkin macam-macam. Tak mungkin membodohi rakyat. Ya kami sehat dan rajin berolahraga. Klinik dan rumah sakit sepi. Kami selalu juara dunia semua bidang. Sepakbola masih olahraga rakyat. Berkali-kali kami rebut piala dunia. Brasil, Jerman, Argentina segani kami. Kakek tak mungkin membaca surat ini. Tetap kutulis untuk menghormatimu. Piut tulis penuh perasaan. Mengharukan negara di zaman kakek. Piut tak pernah nangis seperti ini. Kubayangkan kakek menghapus air mataku. Kek, Piut sungkem di depanmu. Tulus kucium tanganmu. Kek, tenteramlah di sana".
Hal lain yang membuat Anis salut pada Aspar adalah totalitasnya dalam menekuni seni. Aspar pernah menjadi guru berstatus PNS, tetapi dia tinggalkan. Dia lebih memilih menekuni seni yang kemudian membawanya ke layar lebar.(*)
[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar