KEBANGGAAN SULSEL. Aspar Paturusi, pria kelahiran Bulukumba, 10 April 1943, salah satu seniman kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan. Ia adalah satu dari segelintir seniman teater daerah yang bisa dengan penuh percaya diri tampil sepanggung dengan sejumlah nama besar di pentas drama nasional.
------------------------
Mengenal Aspar Paturusi (2):
''Kami main di mana saja. Di gedung oke, di perkampungan ayo''
http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/aspar.html
Bagi Aspar, berkesenian sungguh nikmat, dan karena itu ia terus menjalaninya selama 40-an tahun lebih, atau dua per tiga dari usianya sekarang yang hampir 70 tahun. Karier yang panjang itu tidak memberinya harta berlimpah, seperti bisa diharapkan pada sukses hidup seorang bankir atau wirausaha, meski benar bahwa namanya dikenal luas di kalangan sastrawan dan dramawan di Indonesia.
Ia satu dari segelintir seniman teater daerah yang bisa dengan penuh percaya diri tampil sepanggung dengan sejumlah nama besar dari pentas drama nasional. Aspar pernah bergabung dengan Teater Kecil-nya Arifin C Noer. Bersama Teater Saja-nya Ikranagara, ia bermain di Taipei di tahun 1984, Singapura dan Malaysia di tahun 1985.
Sudah tentu harus disebut bahwa ia salah satu seniman kebanggaan warga Sulawesi Selatan, daerah asalnya, khususnya Makassar, satu hal yang bahkan diformalkan dengan penghargaan yang ia terima pada tahun 1978 sebagai Warga Kota Berprestasi.
“Apa yang saya punya? Uang di tangan datang dan pergi begitu saja,” tuturnya,
Selain bermain teater ia juga seorang penulis, karyanya Apa Kuasa Hujan, berisi 134 judul puisi yang ia tulis sejak tahun 1971 sampai tahun 2002. Ia lama menunggu untuk bisa menerbitkan karyanya sebagai buku, walau begitu, ia malah menikmatinya.
“Tak ada yang cuma-cuma, tak ada yang instan. Semua membutuhkan proses dan waktunya bisa sangat panjang,” katanya.
Sempat menjadi pengasuh siaran sastra di RRI Makassar dan pengasuh rubrik budaya majalah Mimbar Indonesia, HB Jassin, di tahun 1960.
Rasa percaya dirinya tumbuh ketika ia menjuarai lomba baca puisi yang mendorongnya untuk berani menyutradarai teman-temannya, bahkan menulis naskah drama sendiri, di samping memainkan lakon dari pengarang ternama.
Bersama perkumpulannya, Sanggar Harimau atau Ikatan Seniman Budayawan Muhamadiyah Sulawesi Selatan, ia membawakan Timadhar karya Yunan Helmy Nasution atau Fadjar Sidiq gubahan Emilia Sanoza maupun Yang Konsekuen dari B Sularto di gedung pertunjukan di kota, atau menyuruk ke kampung-kampung di pedalaman.
“Kami main di mana saja. Di gedung oke, di perkampungan ayo. Kalau tidak ada listrik, kami gunakan lampu petromaks sebagai penerang. Begitulah suasana Makassar tempo dulu,” tutur Aspar.
Rekannya sesama sutradara dari kelompok lain, seperti Rahman Arge, juga terus bergiat di dunia kesenian. Beberapa lain menjadi cendekiawan, seperti Mochtar Pabottingi. Mereka semua ini mengalami apa yang kini ia anggap sebagai kenangan manis: kebersamaan, dengan hasrat berkesenian yang menggebu meski tidak ada fasilitas yang cukup.
“Tak ada uang transpor seperti orang bermain teater sekarang di Jakarta. Tak ada makan, kecuali ketela goreng atau kami minum sarabba, minuman jahe hangat. Paling juga rokok yang terus mengepul,” kenang Aspar sambil terkekeh.
Ia ingin menggarisbawahi bahwa sejak awal ia sudah melihat tidak ada penghasilan yang bisa diharap dari dunia teater. Ia menyelesaikan sekolahnya di Universitas Hasanuddin sampai tingkat sarjana muda, tetapi yang menjadi pegangannya adalah bakat dan pengalaman di bidang seni. Dan itu berarti ia sudah memilihnya sebaga jalan hidup.
Tahun 1987 ia memboyong keluarganya ke Jakarta.
“Saya suntuk. Mungkin Makassar tidak cukup lagi dan katakanlah saya perlu suasana baru,'' ujarnya.
Setahun kemudian, Aspar bermain untuk film layar lebar yang terilhami kisah nyata ini di dalam judul Tragedi Bintaro arahan sutradara Buce Malawau, sebuah film yang dianggap cukup baik. Aspar juga terlibat di dalam sejumlah produksi sinetron. Ia aktor terbaik peraih Piala Vidya lewat Anak Hilang yang digarap Slamet Rahardjo.
Ia juga bermain di dalam produksi TVRI yang dibantu lembaga John Hopkins, Alang-Alang garapan Teguh Karya yang masih diingat orang sampai kini. Sebutlah beberapa sinetron seperti Bengkel Bang Jun arahan Chaerul Umam. Namun, ia sempat merasa konyolnya ketika ia bermain dalam sinetron Pelangi Harapan produksi dari Multivision. Ternyata ia bermain sebagai hantu.
Ia sulit menjawab apakah ia menyesal hijrah ke Jakarta. Satu hal yang jelas jelas, katanya, ia tidak produktif lagi menulis naskah drama. Di Makassar, melihat banyak temannya yang menganggur, ia tergugah menulis agar bisa berpentas bersama. Di Jakarta kebutuhan semacam itu tidak muncul. Sejumlah naskah dramanya dan ia sutradarai sendiri antara lain Samnidara yang berpentas di TIM tahun 1982, Perahu Nuh II pentas di TIM tahun 1985 dan Festival Istiqlal tahun 1995, serta Jihadunnafsi yang dipentaskan di Makassar tahun 1986 dan TIM tahun 1991.
Kegiatan seninya beriring dengan kesenangannya berorganisasi. Ia Ketua Ikatan Seniman Budayawan Muhammadiyah (ISBM) Sulawesi Selatan periode 1962-1968. Ia juga ikut mendirikan Dewan Kesenian Makassar dan menjadi pengurus selama 18 tahun. Menjadi Ketua Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) Sulawesi Selatan dan kemudian Wakil Ketua Umum PB Parfi, anggota Dewan Kesenian Jakarta, dan menjadi ketua komite teater tiga periode 1990-2001.
Menikah dua kali, yang pertama dengan Fatima yang memberinya lima anak dan tujuh cucu. Yang kedua dengan Sulasmywati yang memberinya dua anak.
Karya Sajak : Sukma Laut (1985), Ombak Makassar (1999), Ombak Losari (1992), Tonggak III (1985), Apa Kuasa Hujan (2003), Arus (1976), Pulau (1977).
Naskah Drama : Samnidara (1982), Perahu Nuh II (1985), Jihadunnafsi (1991).
Buku : Apa Kuasa Hujan
Filmografi : Latando di Tanah Toraja (1971), Sanrego (1971), Tragedi Bintaro (1988), Tutur Tinular (1989), Saat Kukatakan Cinta (1991), Fatahillah (1996), Ketika Cinta Bertasbih (2009), Ketika Cinta Bertasbih 2 (2009)
Sinetron : Anak Hilang (1992), Bengkel Bang Jun (1993), Saur Sepuh (1993), Alang-Alang (1994), Dua Rembulan (1994), Masih Ada Kapal ke Padang (1995), Simponi Dua Hati (1996), Penari (1997), Pelangi Harapan
Penghargaan : Pemenang Sayembara Mengarang Roman DKJ (1974), Meraih Piala Vidya sebagai Aktor Terbaik dalam sinetron Anak Hilang
[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar