ANAK tertua dari enam bersaudara ini, semasa kecil hingga tamat SMA, bermukim di Kabupaten Bulukumba bersama kelima saudara dan orang tuanya. Ayahnya bernama Rappe Nangko Daeng Patahang, dan ibunya bernama Suleha. Dia memiliki nama kecil Beddu. (Foto: Dok Fajar)
----------------
Mengenal Dul Abdul Rahman (1):
Belajar Sastra dari Sang Ayah
Harian Fajar, Makassar
Minggu, 13 Maret 2011
http://www.fajar.co.id/read-20110312192116-belajar-sastra-dari-sang-ayah
ANAK tertua dari enam bersaudara ini, semasa kecil hingga tamat SMA, bermukim di Kabupaten Bulukumba bersama kelima saudara dan orang tuanya. Ayahnya bernama Rappe Nangko Daeng Patahang, dan ibunya bernama Suleha. Dia memiliki nama kecil Beddu.
Dul mengisahkan, sejak kecil ayahnya sering mendongeng untuknya dan adik-adiknya sehabis mengaji. Dongeng tersebut merupakan hadiah ayahnya karena telah melaksanakan salah satu ibadah Islam, mengaji. Dongeng itu ternyata adalah sastra lisan I La Galigo yang telah dihafal luar kepala oleh ayahnya.
Dia memperlihatkan rekaman gaya bercerita Sang Ayah yang merupakan asli Bone dan Bulukkumba. Kisah dongeng tersebut berbahasa Bugis asli.
"Dari kisah yang diceritakan oleh ayah saya itu, saya yakin I La Galigo adalah sastra lisan. Awalnya kisah ini sifatnya inklusif. Hanya diwariskan buat mereka yang berdarah bangsawan," bebernya.
Kenapa kitab La Galigo tidak top seperti kisah Mahabarata dan Ramayana? Itu kata Dul karena kedua kitab tersebut merupakan kitab setengah suci agama Hindu. Sedangkan Kitab I La Galigo sesungguhnya adalah kitab agama Tolotang di Sidrap. Agama ini sangat berbeda dengan Hindu, tapi sayang pemerintah kita menganggapnya sebagai bagian agama Hindu.
"Sebagai seorang budayawan, saya berharap agama ini dianggap sebagai agama tersendiri dan diakui," ujarnya.
Tolotang merupakan agama Bugis Kuno. Pendeta mereka disebut Bissu dan nabi mereka adalah Sawerigading, salah seorang tokoh I La Galigo.
"Meskipun ayah saya hanya lulusan SMP, namun beliau sangat cerdas. Dia menghafal isi kitab I La Galigo. Dan itu yang ingin saya tuliskan saat ini," ucapnya.
Alumni Sastra Inggris Unhas ini mengaku, orangtuanya tak memiliki biaya untuk menjadikannya sarjana. Karena itu, sejak kecil dia dan kelima saudaranya telah dibagikan tanah.
"Ketika saya hendak kuliah, tanah tersebut dijual untuk pendidikan. Karenanya saya kuliah dengan sungguh-sungguh. Jika saya kuliah lantas tidak mendapatkan apa-apa, sama saja saya mati konyol," tuturnya, mencoba bercanda. (sam)
[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar