Langsung ke konten utama

Fahmi Syariff: Dalam Mimpi pun Saya Berteater



DENDAM telah mengubah hidupnya. Ia ingat betul momen-momen ketika berdiri di pintu kelas dan guru pembimbing drama di SMA-nya, Emil Agus Kalalo tak mengacuhkannya. Ia tak digubris hingga latihan terakhir dan pementasan yang penuh tepuk tangan berlalu tanpa dirinya di atas panggung. (Foto: Jumain Sulaiman/Fajar)





---------------------------------

Fahmi Syariff, Tokoh Teater Sulsel:

Dalam Mimpi pun Saya Berteater


Laporan: Amiruddin, Makassar
Minggu, 17 April 2011
http://www.fajar.co.id/read-20110417082105-dalam-mimpi-pun-saya-berteater

SORE itu di tahun 1964, seperti sore-sore sebelumnya, siswa kelas II SMAN 198 Bulukumba itu akan berdiri di pintu kelas tempat latihan drama yang akan dipentaskan di acara perpisahan kakak kelasnya. Tanpa bersuara, ia mengarahkan pandangan ke guru pembimbing, Emil Agus Kalalo yang menjadi penulis naskah dan sutradara di sekolahnya. Sesekali juga pandangannya diarahkan ke kakak kelasnya yang sedang berlatih. 

Begitu yang ia lakukan setiap hari. Sore selalu memberinya harapan. Mungkin suatu waktu akan ditegur Emil, guru civicsnya itu. Bisa jadi diajak bergabung untuk bermain teater. Tapi nyatanya tidak. Ia tak digubris hingga latihan terakhir dan pementasan yang penuh tepuk tangan berlalu tanpa dirinya di atas panggung.

Fahmi Syariff, tokoh teater Sulsel ingat betul momen-momen menyakitkan itu. Ia tahu semua alur kisah itu. Sebab siswa itu adalah dirinya. Dia lah yang saban sore berdiri di pintu kelas. Sabtu siang, 16 April, Fahmi menuturkan kisahnya itu ke saya. Masih ada ronah emosi dan dendam lewat tekanan suaranya ketika saya mencoba mengorek awal jalan panjangnya sebagai seorang tokoh teater.

"Itu menarik. Ketika itu saya dendam. Tapi dendam positif. Saya dendam kepada guru saya. Tiap sore saya di pintu kelas berdiri, bukan untuk menonton. Hati saya selalu berharap dipanggil main juga. Tapi sampai selesai latihan, sampai selesai pertunjukan, sampai selesai pementasan, saya tidak pernah ditegur. Saya bilang, 'baiklah, saya juga bisa, bapak kira saya tidak bisa'," ujar Fahmi saat saya menemuinya di kediaman Budayawan Sulsel, Rahman Arge di Jl Ade Irma Nasution.

Peristiwa itu ternyata punya makna. Merasa tak dianggap Fahmi lalu menulis naskah sendiri. Judulnya Dendam dan Korban, sebuah lakon yang menceritakan kisah cinta segi tiga yang berisi atraksi badik yang berujung simbahan darah.

Naskah selesai, ia berlatih bersama temannya yang ternyata juga mau ikut tampil di perpisahan kakak kelasnya tapi bernasib sama dengannya. Mereka juga tidak pernah diajak guru.

Sebulan lebih, setiap sore mereka berlatih berpindah-pindah tempat hingga akhirnya tampil di Gedung Wanita Bulukumba. "Saya yang menulis naskah, tapi saya hanya pemeran pembantu. Yang main ketika itu termasuk anggota DPRD Bulukumba yang mantan Wakil Bupati Bulukumba, Andi Syahrir Sahib. Saat itu, prinsip saya, bagus tidaknya biarkan penonton menilai. Belakangan saya sadari drama tersebut pengaruh dari drama Ayahku Pulang karya almarhum Usmar Ismail. Sebelum menulis naksah, saya memang sempat menontonnya," kata Fahmi.

Itu awal kiprah putra pasangan Syariff Saleh dan Hamidah Daeng Puji ini. Setelah itu, ia mulai banyak main teater. Saat duduk di kelas III, pria kelahiran 23 Mei 1947 di Bulukumba

ini memainkan drama berjudul Mereka Mulai Menyerang yang ditulis Rahman Arge di acara perpisahan yang memang rutin digelar di sekolah-sekolah setiap penamatan siswa. Drama ini berkisah soal perjuangan pemuda bergerilya mempertahankan kemerdekaan.

Saat itu tahun 1966. Ia memerankan tokoh utama bernama Amir. Usai tampil, sutradaranya, Andi Syafruddin Gani dan Muhammad Arman Yunus memujinya.

"Katanya saya ada bakat bermain teater," beber Fahmi.

Ketika itu, Fahmi memang sudah bergabung di Ikatan Seniman Budayawan Muhammadiyah (ISBM) Bulukumba. Ia juga sempat main dalam drama Timadhar karya Mayor (TNI) Yunan Helmy Nasution, memerankan tokoh pembantu, Aswad.

"Tahun 1967 saya masuk Fakultas Sastra Unhas. Tahun 1970 saya sudah dipanggil main oleh para pemain teater senior di Makassar termasuk almarhum Saleh Mallombasi. Saya ikut di teater Makassar, Dewan Kesenian Makassar. Ketika itu Rahman Arge sebagai sutradara dan pimpinan produksinya Arsal Alhabsi. Kami main drama berjudul Montserrat karya Emmanuel Robles," ujar Fahmi.

Mungkin itu menjadi penampilan besar pertama Fahmi. Pasalnya dia harus berlatih enam bulan termasuk TC (training centre) sebulan. Mereka pementasan 7-12 Agustus 1970 di Gedung Dewan Kesenian Makassar Jl. Irian 69. Fahmi membeberkan, setelah main dia menerima honor Rp8 ribu yang langsung ia belikan celana saddle king.

"Itu celana ketat. Warnanya merah tua. Kita terima honor mentas di Kebun Binatang. Ketika itu juga semua pemain laki-laki dapat surat izin gondrong dari Kapolda Sulselra," kenang Fahmi.

Dua tahun sebelum pementasan itu, Fahmi juga telah mendirikan grup teater sendiri, Latamaosandi. Ia mendirikan grup ini di Fakultas Sastra Unhas bersama Jacob Marala, Ichsan Amar, Husni Husen Nud, serta Philips Tangdilintin. Ia juga membentuk Yuvana Santika bersama Manan Ibrahim (1969), Poseidon Arts Group bersama almarhum Sandy Karim dan Amir Sinrang (1975), Pola Artistik bersama pemuda Gantarang (1977), Kosaster bersama Shaifuddin Bahrum (1985), serta Teater Titik-Titik bersama A. Ansar Agus dan Salahuddin Alam (1995).

"Dalam proses main teater, saya pernah menjadi pemain terbaik di tahun 1971 saat Festival Teater Pertama DKM. Kemudian tahun 1977, saya pemain pembantu terbaik di Festival DKM," katanya.

Dalam masa itu, kritik sinetronnya, Obsesi dalam Bahasa Gambar yang Naratif terpilih sebagai Pemenang II Sayembara Kritik Sinetron TVRI (1991). Ia juga penerima Hadiah Seni dari Departemen Pendidikan dan kebudayaan (1993), Anugerah Seni dari DKSS (1999), dan Celebes Award dari Gubernur Sulsel (2002) dalam bidang penulisan, pemeranan, dan penyutradaraan teater.

Tak hanya main teater, Fahmi juga menulis drama. Ia menulis 10 drama. Termasuk drama Baja Putih (1972), Datu Museng dan Maipa Deapati (1975), Karaeng Bontoala (1976), Kerikil-Kerikil (1977), Arung Palakka (1988), Nuansa-Nuansa Alma Mater (1991), Karaeng Pattingalloang (1992), Para Karaeng (1994), dan Manusia-Manusia Perbatasan (1995).

"Ada juga yang telah dibukukan. Itu Trilogi Drama berjudul Teropong dan Meriam. Isinya Karaeng Pattingalloang, Arung Palakka, dan Para Karaeng. Itu atas bantuan Radi A Gany saat masih menjabat rektor Unhas. Banyak naskah drama saya siap diterbitkan jadi buku. Misalnya Manusia Perbatasan, Datu Museng, dan Karaeng Bontoala. Tapi untuk menerbitkannya itu butuh dana," katanya.

Kini usia Fahmi sudah 64 tahun. Saat berbincang dengan saya, ia mengenakan pakaian biru-biru. Baju kemeja biru dan celana jeans. Ia sangat bersemangat bercerita soal teater. Sambil berbicara, tangannya ikut bergerak. Dan ia menyampaikan kegelisahannya soal dunia teater dan drama di kota ini.

"Saya tidak mau mengatakan kita ketiadaan, tapi kekurangan penulis naskah drama, kekurangan sutradara, kekurangan pemeran, pemain dan aktor. Kita juga kekurangan unsur lain seperti penataan artistik. Itu realitas akhir-akhir ini di Makassar. Ini salah satunya disebabkan ketiadaan tempat pementasan," kata pria yang meraih gelar S1-nya setelah kuliah 17 tahun di Unhas.

Tapi menurut dosen Telaah Drama dan Teater di Fakultas Sastra Unhas ini sesungguhnya bukan gedung atau tempat yang menjadi persoalan. Masalah teater itu menurutnya masalah kemauan. Mungkin banyak yang mampu tapi kemauannya yang kurang.

"Saya ketua I DKM, kami siap saja mengajar. Tetapi siapa yang mau misalnya? Sebab ini akan sangat berbeda sekali dengan tahun 70-an dan 80a-n. Dulu, pernah ada festival yang diikuti 27 grup selama setengah bulan. Saat itu banyak grup yang bertumbuh di Makassar. Grup itu kini entah kemana," kata Fahmi yang sempat beberapa kali mencicipi panggung Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

Fahmi berharap, kelak suasana tahun 70-an dan 80-an bisa kembali. Momen dimana pementasan teater ramai sekali. Ia sendiri menegaskan akan terus berteater. Bahkan kini ia sementara latihan untuk pementasan teater "Eksekusi dan Keniscayaan". Itu untuk peresmian Madrasah Muhammadiyah di Makale. Ia berperan sebagai Tuan Guru Muda.

Rencana pementasannya Mei


"Saya terus berteater karena saya mempelajari kehidupan di sini. Saya bisa mempelajari kearifan, kebijaksanaan, kemungkaran, serta kemunafikan. Saya dapatkan itu dari membaca naskah dan membaca ulasan orang tentang naskah itu. Bagi saya, teater itu sangat penting. Bahkan terus terang, dalam mimpi pun tetap ada tetater dalam hidup saya. Dan kini, saya sangat gelisah dengan dunia teater," katanya yang sempat meninggalkan kuliahnya 10 tahun di Unhas untuk berteater. (amiruddin@fajar.co.id) 

[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/]

Komentar

La Malike mengatakan…
salah satu dosen yg sangat sy banggakan dikampusku, selain PA, dia juga jadi sumber inspirasiku, thanks pak Fachmisyariff atas ilmu2nya :)
inha mengatakan…
suatu kebanggaan memiliki dosen yang sangat hebat n tidak lain berasal dari daerah sendiri...
luphh u pak fahmi sarif...
tetap jadi dosen kebanggaan kami....
dan tetap tersenyum...
Munji@Lisan Pencerita mengatakan…
like forefer dosen skaligus sutradara perdana pada saat sy bermain teater, dari Manusia - Manusia Perbatasan sampai Datu Museng dan Maipa Deapati. Trimahkasih banyak Pak.pelajaran darimu banyak membuat dirku berubah.baik aplikasi dari diri sendri sampai ke masyarakat di kampungku di Pangkep.
Anonim mengatakan…
jelas, tegas. Hanya itu kesan saya untuk dosen saya yang saya hormati ini.
Asnawin Aminuddin mengatakan…
baru-baru sy bertemu dengan beliau di Makassar... orangnya sangat sederhana, bersahaja... sy malah lupa kalau orang yg ada di hadapan sy dan langsung mengulurkan tangannya untuk berjabat-tangan, ternyata kakanda, ayahanda Fahmi Syarif... maafkan saya...

Postingan populer dari blog ini

Kisah Ikan Duyung di Bulukumba

IKAN DUYUNG. Jumaning (60), membersihkan tubuh ikan duyung yang ditemuinya di tepi pantai saat mencuci bentang (tali rumput laut) di pesisir pantai di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Selasa, 19 April 2011. Banyak warga yang berkunjung ke rumah Jumaning karena penasaran ingin melihat ikan duyung tersebut. (Foto: Kompas/k23-11) -------------------------- Kisah Ikan Duyung di Bulukumba Meski Dibacok, Ikan Duyung Tetap Hidup Harian Kompas (Kompas.com) K23-11 | yuli | Rabu, 20 April 2011 http://regional.kompas.com/read/2011/04/20/04143456/Meski.Dibacok.Ikan.Duyung.Tetap.Hidup BULUKUMBA, KOMPAS.com — Warga pesisir di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, digemparkan dengan seekor ikan duyung yang tiba-tiba muncul, Selasa (19/4/2011). Para nelayan pun kemudian berniat memotong ikan tersebut untuk mengambil dagingnya. Namun, entah mengapa ikan duyung yang tubuhnya sudah terluka akibat sabetan parang itu terus berenang hing

Pahlawan Nasional dan Andi Sultan Daeng Radja

Andi Sultan Daeng Radja bersama tujuh orang lainnya telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui Surat Keputusan Presiden RI (Susilo Bambang Yudhoyono) Nomor 085/TK/Tahun 2006 tanggal 3 November 2006. Andi Sultan Daeng Radja secara diam-diam mengikuti Kongres Pemuda Indonesia, pada 28 Oktober 1928. Bersama Dr Ratulangi dan Andi Pangerang Pettarani, dirinya diutus sebagai wakil Sulawesi mengikuti rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di Jakarta.

Kecamatan, Kelurahan, Desa, dan Kode Pos di Kabupaten Bulukumba

BUNDARAN PHINISI. Kabupaten Bulukumba yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, terdiri atas 10 kecamatan dan 126 desa/kelurahan. Berikut daftar nama-nama kecamatan, desa dan kelurahan, serta kode pos masing-masing desa/kelurahan di Kabupaten Bulukumba. (Foto: Asnawin) ----------------------------- Kecamatan, Kelurahan, Desa, dan Kode Pos di Kabupaten Bulukumba Berikut ini adalah daftar nama-nama Kecamatan, Kelurahan / Desa, dan nomor kode pos (postcode / zip code) pada masing-masing kelurahan / desa, di Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan, Republik Indonesia. Kabupaten : Bulukumba 1. Kecamatan Bonto Bahari - 1. Kelurahan/Desa Ara ----------------- (Kodepos : 92571) - 2. Kelurahan/Desa Benjala ------------- (Kodepos : 92571) - 3. Kelurahan/Desa Bira ----------------- (Kodepos : 92571) - 4. Kelurahan/Desa Darubiah ------------ (Kodepos : 92571) - 5. Kelurahan/Desa Lembanna ----------- (Kodepos : 92571) - 6. Kelurahan/Desa Sapolohe -