Rabu, 05 Januari 2011
15 Tahun Lalu di Bulukumba
Sejarah kadang-kadang dilupakan, diabaikan, dan terlupakan, apalagi kalau sejarah itu hanya menyangkut kehidupan pribadi. Sejarah bangsa Indonesia banyak yang terlupakan dan kini mungkin tidak banyak lagi pelajar dan mahasiswa yang berminat mempelajari sejarah. Kuno, kata mereka.
15 Tahun Lalu di Bulukumba
Oleh: Asnawin
Sejarah kadang-kadang dilupakan, diabaikan, dan terlupakan, apalagi kalau sejarah itu hanya menyangkut kehidupan pribadi. Sejarah bangsa Indonesia banyak yang terlupakan dan kini mungkin tidak banyak lagi pelajar dan mahasiswa yang berminat mempelajari sejarah. Kuno, kata mereka.
Kuno belum tentu usang. Kuno belum tentu tidak berguna. Barang-barang kuno justru kadang-kadang lebih mahal harganya dibandingkan barang-barang baru. Jadi sejarah itu belum tentu kuno. Kalau dikatakan kuno pun pasti masih ada manfaatnya.
Dalam tulisan ini, saya tidak bermaksud berbicara tentang sejarah bangsa Indonesia, tetapi saya ingin mengenang peristiwa 15 tahun lalu di Bulukumba. Peristiwa itu juga bukan peristiwa yang menyangkut pemerintah dan atau masyarakat Bulukumba, melainkan sejarah hidup pribadi saya sebagai orang Bulukumba.
Peristiwa itu adalah peristiwa pesta pernikahan saya pada 5 Januari 1996. Ini mungkin tidak terlalu berguna bagi orang lain, tetapi pasti akan sangat bermanfaat bagi saya bersama isteri dan anak-anak kami, serta mungkin juga ada manfaatnya bagi cucu-cucu kami kelak.
Menurut para pakar sejarah, setidaknya ada empat manfaat mempelajari sejarah, yaitu manfaat edukatif (pendidikan), manfaat inspiratif (inspirasi, imajinasi), manfaat rekreatif (rekreasi, kenangan), serta manfaat instruktif (instruksi, tindakan).
Berangkat dari empat manfaat itu, saya akan mencoba memutar ulang peristiwa pernikahan kami 15 tahun lalu itu dan mengaitkannya dengan manfaat atau hikmah yang bisa kami ambil.
Sebagai laki-laki normal, saya tentu ingin menikah, apalagi usia saya waktu itu sudah hampir 30 tahun dan saya sudah punya pekerjaan tetap. Saya adalah anak kelima dari 12 bersaudara. Tiga kaka saya sudah menikah dan mereka telah memberi enam cucu kepada kedua orangtua kami.
Maka saya pun menyampaikan niat dan keinginan itu kepada kedua orangtua saya. Saya menangkap dari jawaban dan bahasa tubuh, kedua orangtua saya sebenarnya masih terlalu sayang kepada saya sehingga belum rela melepas saya, tetapi setelah kami berdiskusi akhirnya keduanya bisa menerima.
Mereka kemudian bertanya, siapa calon menantu mereka. Saya menyebutkan nama dan menjelaskan secarasingkat, tetapi mereka ternyata tidak bisa langsung bisa menerimanya, terutama karena usia kami agak jauh berbeda. Saya lebih tua sekitar 10 tahun. Kami kembali mambahas masalah tersebut dan akhirnya keduanya bisa menerima, karena calon menantu mereka memakai jilbab dan pernah sekolah di pesantren, berasal dari keluarga baik-baik dan dari golongan menengah, serta cukup cantik.
Singkat cerita, pernikahan kami pun dilangsungkan pada 5 Januari 1996. Mengikuti kebiasaan masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya, pesta pernikahan dilakukan dua kali. Pesta pertama di rumah mempelai wanita (5 Januari 1996), dan pesta kedua di rumah mempelai laki-laki (6 Januari 1996).
Pesta berlangsung meriah dan dihadiri para keluarga dan kerabat, termasuk beberapa pejabat dan tokoh masyarakat, antara lain Bupati Bulukumba Andi Patabai Pabokori, Rektor UNM Prof Dr Sjahruddin Kaseng, dan Rektor Unismuh Makassar/mantan Ketua Muhammadiyah Sulsel KH Djamaluddin Amien.
Ada peristiwa yang sulit kami lupakan pada 6 Januari 1996. Pagi menjelang siang, nenek kami, Dekkalala Daeng Pute', yang biasa kami panggil ''Etta Nenek'', dikeluarkan dari rumah sakit. Sebenarnya beliau masih sakit dan belum diperbolehkan oleh dokter untuk pulang ke rumah, tetapi nenek kami tetap meminta dipulangkan. Nenek kami ini adalah ibu kandung dari ayah kami, Aminuddin Gudang Daeng Taba.
Pada malam hari sekitar pukul 21.30 Wita, setelah tidak ada lagi undangan yang datang dan acara foto-foto keluarga sudah selesai, kami, kedua mempelati pun masuk ke rumah. Baru saja kami ganti baju, tiba-tiba kami semua dipanggil ke rumah sebelah, ke rumah Etta Nenek, karena Etta Nenek sudah sekarat.
Kami semua menangis dan satu per satu menyalami dan memeluk beliau sambil meminta maaf. Beliau tidak bisa lagi membuka matanya, tetapi masih bisa bicara. Beliau bahkan masih sempat mengingatkan saya agar menjaga dan menyayangi isteri saya baik-baik.
''Jagai isterinu, jangko suka marai. Baek-baekko na .... (Jagalah isteri kamu, jangan selalu memarahi dia. Kalian berbaik-baik ya...),'' katanya kepada saya dengan suara pelan, tetapi kami semua mendengarnya sambil menangis.
Sekitar 20 menit kemudian, nenek kami pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Kami semua menangis karena sedih dengan kepergiannya. Saya merasa paling sedih dan terharu, karena saya merasa seolah-olah nenek kami sengaja menunda kematiannya setelah pesta pernikahan kami selesai. Terima kasih Etta Nenek. Segala puji bagimu Ya Allah, karena Engkau masih memperkenankan nenek kami bersama-sama dengan kami hingga pesta pernikahan kami selesai.
Etta nenek kemudian dimakamkan pada 7 Januari 1996 di kompleks pekuburan Dato Tiro, Kecamatan Bontotiro, Kabupaten Bulukumba.
Selama tiga malam berturut-turut, kami mengadakan pengajian takziah di rumah Etta Nenek. Setelah itu, barulah dilangsungkan acara kunjungan keluarga dari keluarga mempelai laki-laki ke rumah keluarga mempelai wanita. Dalam acara itu juga dilakukan ritual upacara ''masuk kamar'', yaitu mempelai laki-laki yang ditemani salah seorang perempuan dari pihak keluarganya, dipersilakan masuk ke kamar mempelai wanita dengan terlebih dahulu memenuhi beberapa persyaratan, antara lain harus melewati barisan keluarga tuan rumah yang berjejer di depan pintu kamar dan harus memenuhi permintaan mereka.
Mempelai laki-laki pun masuk kamar ditemani salah seorang keluarganya, yang dalam hal ini diwakili nenek kandung saya yang biasa kami panggil Nenek Malang. Beliau adalah ibu kandung dari ibu kandung saya (Hj. St. Hasnah Bali Daeng Bau').
Setelah masuk kamar, pintu langsung ditutup rapat dari luar. Di dalam kamar sudah ada mempelai wanita menunggu dengan memakai pakaian adat yang dipadu dengan busana muslimah. Nenek Malang menyuruh kami berwudhu dan kemudian beliau menuntun kami membaca doa yang intinya meminta kepada Allah SWT agar kami segera dikarunia anak dan pernikahan kami langgeng.
Setelah itu kami keluar dan disambut dengan suka cita oleh kedua pihak keluarga, karena selama berlangsungnya ritual acara masuk kamar hingga selesainya ritual acara di dalam kamar mempelai wanita, pihak keluarga mempelai laki-laki tetap setia menunggu di ruang tamu dan di ruang keluarga.
Begitulah sebagian kenangan pernikahan kami 15 tahun lalu di Bulukumba. Dalam rentang waktu 15 tahun biduk rumah tangga kami, tentu saja banyak yang telah terjadi, baik suka, maupun duka. Kami kini sudah dikarunia lima anak.
Nenek Malang, ibu kandung dari ibu kandung kami, meninggal dunia ketika kami telah dikarunia tiga anak. Salah seorang adik kandung saya, Asran Faisal, meninggal dunia pada November 2008. Ibu kandung kami, Hj. St. Hasnah Bali Daeng Bau', meninggal dunia pada Maret 2010.
Begitulah kenangan hidup kami 15 tahun lalu di Bulukumba dan beberapa peristiwa yang terjadi dalam rentang waktu lima belas tahun hingga kini.
[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
-
IKAN DUYUNG. Jumaning (60), membersihkan tubuh ikan duyung yang ditemuinya di tepi pantai saat mencuci bentang (tali rumput laut) di pesi...
-
Andi Sultan Daeng Radja bersama tujuh orang lainnya telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui Surat Keputusan Presiden RI (Sus...
-
BUNDARAN PHINISI. Kabupaten Bulukumba yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, terdiri atas 10 kecamatan dan 126 ...
3 komentar:
Kisah yang sangat sulit dilupakan.
Bang Asnawin asli Hila-Hila Bontotiro ya? Maaf cuma mau tanya. Soalnya almarhum ayah kami, Muhammad Nawawi Patinrori, asli Hila-Hila Bontotiro.
Iye', tettaku juga orang Hila-hila. Namanya H. Aminuddin Gudang Daeng Bone. Nanti sy tanya, siapa tahu beliau kenal dengan tetta ta dan siapa tahu lagi, kita masih ada hubungan keluarga, karena isteri sy jg orang Bontotiro..... trims
Kami merindukanmu, semoga arwahmu diterima dan mendapat tempat yg mulia di sisi-Nya... aamiinn...
http://asnawin-aminuddin.blogspot.com/2011/10/15-tahun-lalu-di-bulukumba.html
Posting Komentar