Senin, 03 Oktober 2011

Bulukumba yang Selalu Memesona



Saat pertama kali menginjakkan kaki di pantai ini sekitar awal tahun lalu, saya langsung takjub dan langsung melombat ke dalam air. Kali ini, sama saja. Saya adalah orang pertama di antara rombongan yang masuk ke dalam air. Kali ini pantai terlihat sangat bersih. Katanya di tempat tersebut baru saja diadakan "Festival Phinisi." (Foto: Dok Wahyudin Opu)



Bulukumba yang Selalu Memesona

Oleh: Wahyudin Opu
(Seorang Romanisti. Penikmat musik Indonesia. Sangat berhasrat untuk mendatangi tempat yang belum didatangi)

http://whyopu.blogspot.com/2011/07/bulukumba-yang-selalu-memesona.html?showComment=1317706184284#c8541487399791153082

Memanfaatkan libur kuliah yang hampir usai, saya dan beberapa teman kampus bersepakat untuk mengunjungi Kabupaten Bulukumba. Ide jalan-jalan kali ini sebenarnya muncul secara mendadak. Berawal chating saya dengan seorang teman kampus bernama ikhsan yang memang sedang pulang kampung di Bulukumba. Saya iseng berkata bahwa saya dan teman-teman yang lain mau mengunjunginya sekalian liburan. Gayung bersambut, Si Ikhsan yang baik hati ini mengiyakan rencana yang sebenarnya belum saya konfirmasi kepada teman-teman yang lain.

Hari Jumat (22/7) saya bertemu dengan Indra, Cua dan Ridwan. Mereka inilah sebagian teman yang mau saya hasut untuk jalan-jalan ke Bulukumba. Ternyata mereka menyambut dengan antusias ajakan tersebut. Tapi masalahnya sekarang adalah dengan apa kami akan ke sana. Terlintaslah nama Fandi yang memang sudah masuk daftar orang yang ingin saya ajak untuk turut serta. Fandi memang memiliki mobil yang cukup untuk memuat enam orang. Selain itu ia memang adalah teman sepermainan kami.

Setibanya di kampus langsung saja saya sampaikan niatan jalan-jalan tersebut. Cukup lama Fandi untuk mengiyakan ajakan tersebut. Dengan rayuan keroyokan yang dilakukan oleh empat orang barulah ia setuju untuk turut serta. Kami pun sepakat untuk berangkat hari Minggu pagi. Rencananya kami akan bermalam dulu di rumahnya Ikhsan. Besok paginya baru kami akan mulai mengunjungi beberapa objek wisata di Bulukumba.

Hari Minggu (24/7) sekitar pukul delapan pagi Fandi dan Cua sudah datang menjemput saya. Di ujung gang rumah ternyata Indra juga sudah datang. Selanjutnya kami akan menjemput Arif yang belum menjawab ajakan kami. Sesampainya di rumah yang dimaksud, dia baru bangun dan menolak ajakan kami tersebut karena kakaknya dari Sorong sedang ada di Makassar. Kami pun langsung menuju ke jemputan selanjutnya, Ridwan yang sudah menunggu. Jadilah kami berlima berangkat ke Bulukumba.

Jarak Makassar-Bulukumba sekitar 150 km. Sepanjang perjalanan kesana, akan melewati empat kabupaten. Tiap kabupaten yang kami lewati pasti kami kometari. Gowa dengan tagline "Gowa Bersejarah" cukup ramai namun tata kotanya masih berantakan. Lain waktu rencananya kami akan berwisata sejarah di kabupaten tetangga Makassar ini. Kabupaten selanjutnya adalah Takalar. Kabupaten ini belum terlalu maju. pusat kotanya belum terlalu ramai. Yang indah dari daerah ini adalah sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan sawah yang sangat hijau.

Setelah itu kami melintasi Kabupaten yang terkenal sangar yaitu Jeneponto. Menurut cerita, orang Jeneponto itu pa'bambangang (emosional). Dan keadaan alam disana semakin meyakinkan saya akan hal tersebut. Jeneponto sangat panas. Tanahnya terlihat gersang. Jalanan yang kami lewati pun sebagian besar rusak dan belubang. Parahnya lagi jalanan Jeneponto adalah lintasan terpanjang menuju Bulukumba yang akan kami lalui. Sepanjang perjalanan sering sekali kami melihat kuda. memang kabupaten ini terkenal sebagai penghasil hewan kuat tersebut. Makanan khas daerah ini adalah Coto Kuda.

Kabupaten terakhir sebelum memasuki Bulukumba adalah Bantaeng. Fandi selalu kesulitan menyebut daerah ini. Di lidahnya, Bantaeng pasti menjadi Banteng. Kalau Jeneponto selalu ia kutuki sebagai neraka, Bantaeng adalah kabupaten terbaik yang kami lewati hari itu. Memang daerah ini lumayan indah. Walaupun matahari sangat terik namun udara di tempat ini cukup sejuk. Ditambah dengan daerah persawahan yang hijau dan sesekali pemandangan pesisir pantai yang ramai dengan petani rumput laut pun tersaji. Yang unik dari kabupaten ini adalah di sepanjang perjanan sangat banyak kami temui kalimat-kalimat himbauan ataupun nasehat agama.

"SUDAHKAH ANDA SHALAT?", "RIBA ITU HARAM", "PUASA ITU SEHAT", dan masih banyak lagi. Terasa lucu juga kalimat-kalimat tersebut.

Hampir pukul dua kami sampai di rumah Ikhsan di Bulukumba. Sesampainya disana kami langsung disambut dengan hangat. Orang tua dan keluarga si Ikhsan sangat baik. Kami langsung dipersilahkan masuk. Di dalam rumah, meja makan sudah penuh dengan makanan. Waduh saya sendiri merasa tidak enak. Rencana ke sana sebenarnya cuma untuk numpang barang sehari. Tapi karena perut kami sudah keroncongan, langsung saja kami santap siang saat itu juga. Kami memang tidak singgah makan di sepanjang perjalanan 150 km itu. Hahaha..

Selesai makan dan beristirahat sejenak, sore hari kami menyempatkan untuk berkeliling Bulukumba. Kami mendatangi dermaga yang ramai didatangi orang untuk memancing. Terlihat juga beberapa muda-mudi yang sedang nongkrong atau mungkin sedang pacaran. Setelah itu kami mendatandigi tugu kapal phinisiq di pusat kota. Kapal Phinisiq memang menjadi ikon Kabupaten ini.

Selesai sudah jalan-jalan hari pertama di Bulukumba. Selebihnya, waktu kami habiskan di dalam kamar di rumah si Ikhsan. Kami tidak sempat jalan-jalan malam karena harus beristirahat.

Keesokan harinya, setelah sarapan kami langsung bersiap-siap untuk tujuan utama kami ke Bulukumba, Tanjung Bira. Kami berangkat sekitar pukul setengah sembilan pagi. Tanjung Bira berjarak 50 km dari pusat keramaian Bulukumba. Perjalanan cukup menyenangkan. Satu-satunya yang tidak menyenangkan adalah sebagian jalanan yang tidak mulus. Sangat disayangkan akses menuju ke tempat yang sangat indah belum memadai. Padahal jalanan adalah salah satu fasilitas yang akan dicerita oleh seorang wisatawan yang mengunjungi suatu objek wisata.

Sekitar satu jam perjalanan kami pun sampai di Tanjung Bira. Ini kali kedua saya berkunjung ke tempat ini. Nama resmi pantai di Tanjung Bira ini adalah Pantai Pasir Putih. Tapi lebih dikenal sebagai Pantai Bira. Pantai ini adalah salah satu pantai dengan pemandangan surga yang ada di Sulawesi mungkin juga di Indonesia.

Saat pertama kali menginjakkan kaki di pantai ini sekitar awal tahun lalu, saya langsung takjub dan langsung melombat ke dalam air. Kali ini, sama saja. Saya adalah orang pertama di antara rombongan yang masuk ke dalam air. Kali ini pantai terlihat sangat bersih. Katanya di tempat tersebut baru saja diadakan "Festival Phinisiq."

Sarana di Pantai ini juga sudah cukup banyak. Sudah terdapat berbagai macam pilihan permainan seperti banana boat. Tersedia juga perlengkapan untuk aktifitas snorkeling dan diving. Banyak turis asing terlihat berlibur disitu. Beberapa dari mereka bersiap menaiki kapal untuk menyebrang ke pulau sekitar dekat Tanjung Bira. Memang akhir-akhir ini Tanjung Bira sudah mulai dilirik oleh turis mancanegara. Bahkan beberapa sudah mulai menetap disana.

Rugi rasanya kalau ke Tanjung Bira cuma berenang di pinggir pantai. Kami pun mencoba snorkeling. Setelah melalui tawar menawar harga yang alot, akhirnya kami setuju untuk membayar Rp. 200.000 untuk 6 orang. Dengan paket itu kami mendapatkan perlengkapan snorkeling plus kapal untuk mengantar kami ke daerah laut yang dalamnya sekitar 3 meter. Jadilah kami ber-snorkeling untuk pertama kalinya disiang bolong itu.

Ini pertama kalinya saya melihat pemandangan bawah laut. Dan pemandangan bawah laut Tanjung Bira sangat luar biasa. Karang, koral dan ikan sangat ramai disitu. Belum lagi hewan laut lainnya yang belum saya tahu namanya yang berwarna-warni menambah indah. Saking bersemangatnya, kacamata hitamnya Ikhsan tenggelam ke dasar laut. Juga sandal saya dan Indra sudah raib di tepi pantai saat akan menuju ke tempat snorkeling. Ya sudahlah, kehingan tadi tergantikan kok dengan pengalaman luar biasa barusan.



Pembuatan Perahu Phinisi

Puas bermain-main di Tanjung Bira, kami beristirahat sejenak untuk kemudian beranjak ke destinasi selanjutnya. Tujuan kami selanjutnya adalah Tana Beru. Tana Beru adalah pusat pembuatan kapal tradisonal Phinisiq di Bulukumba. Sebenarnya Tana Beru telah kami lewati sewaktu menuju Tanjung Bira. Tapi kami sudah mengatur jadwal untuk singgah di Tana Beru setelah ke Pantai Pasir Putih.

Bagi Kalian yang sudah menonton film dokumenter "Dua Tiang Tujuh Layar" yang diproduseri oleh trio The Trees and The Wild, pasti penasaran dan ingin mendatangi tempat pembuatan film tersebut.

Tana Beru, Bulukumba memang lokasi utama dalam pembuatan film dokumenter yang bercerita tentang kehidupan masyarakat pembuat kapal tradisional Phinisiq tersebut. Pertama kali menonton film itu saya pun langsung tertarik ingin kesana. Saya sebagai orang Bugis merasa berdosa jika tidak mengenal lebih dekat kebudayaan nenek moyang saya itu.

Jarak Tana-Beru dengan Tanjung Bira sekitar 10 km. Alhamdulillah akses jalan masuk ke setra pembuatan Phinisiq tersebut sangat baik. Sesampainya disana saya langsung takjub. Sepanjang daerah tersebut terpampang rangka-rangka kapal yang masih dalam proses pembuatan. Saya tidak tahu pasti berapa panjang area tersebut. Yang jelas, kata seorang warga disitu area ini sangat panjang dan dipenuhi dengan tempat pembuatan kapal berbahan kayu yang sangat kuat ini.

Satu kapal berukuran sedang dikerjakan oleh sekitar 3 sampai 5 orang. Lama pembuatannya memakan waktu setahun. Ketika saya bertanya tentang harga pembuatan satu kapal berukuran sedang tersebut, si tukang tak tahu. Katanya yang tahu tentang itu adalah Pak Haji, "kontraktor" pembuatan kapal tersebut. Kapal itu adalah pesanan seseorang dari Flores. Ada juga pesanan kapal yang datang dari Kalimantan. Bahkan kabarnya, orang Eropa dan Amerika juga sering memesan kapal Phinisiq berukuran besar di tempat ini.

Sayang saya tak bisa bertanya dan bercakap-cakap lebih lama dengan masyarakat disitu. Kami singgah cuma sekitar satu jam. Karena harus sampai di rumah Ikhsan sebelum malam.

Sesampainya di rumah kami langsung terbaring karena kecapean. Rencananya malam harinya kami ingin ke warkop untuk online. Tapi rencana tersebut batal karena kami memang betul-betul sudah tak kuat jalan.

Esok paginya, setelah sarapan kami langsung bersiap-siap untuk kembali ke Makassar. Bulukumba memang selalu memesona. Terimakasih Ikhsan dan keluarganya yang telah memberikan sambutan yang begitu hangat.

Eh info tambahan. Tahun depan Insya Allah saya akan KKN. saya tidak mau KKN profesi di Jakarta atau di daerah lain. Rencananya sih saya mau KKN di Bulukumba saja. Semoga bisa. hehehe..

[Terima kasih atas kunjungan dan komentar Anda di Blog Kabupaten Bulukumba - http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]

2 komentar:

Wahyudin Opu mengatakan...

Terimakasih sudah sudi men-share tulisan kacau saya :)
Bulukumba memang Oke. saya masih penasaran dgn masyarakat Kajang-nya.

Asnawin Aminuddin mengatakan...

sama2, semoga rasa penasaranta bisa terobati dan tersalurkan, tidak usah pikirkan kacau-tidaknya tulisan, tulis saja sebanyak2nya, lalu pelan2 diperbaiki, tp jangan jadi kendala atau beban.... selamat berkarya....